Menit-menit pertama di mobil menuju mall, Indah segan mengajak Arsya bicara lebih dulu. Meski Yeni dan Galih duduk di depan, wajah tertekuk Arsya tetap menimbulkanperasaan was-was. Pria itu terlihat sangat dingin di permukaan dan suasana hatinya sedang tidak baik. Ditambah, Galih sangat lihai mengawasi setiap spion. Kursi mobil bagian tengah yang memiliki jarak cukup jauh satu sama lain membuat Indah hanya bisa menatap tangan Arsya yang terbaru jas abu-abu dan terletak elegan di atas paha pria itu. Indah cemberut sedetik karena melihat Arsya benar-benar sangat gagah dan tampan dengan jas mewah yang merupakan kesehariannya. Arsya duduk tegak menyilangkan kaki. “Ehem,” Indah berdeham dan melirik Arsya. Berharap kalau pria itu juga akan meliriknya. Rupanya Arsya tengah sibuk berjibaku dengan pikirannya sendiri. Pelan-pelan sambil melihat spion tengah, Indah menggeser tangannya. Teringat ekspresi sebal Arsya saat ajudan baru memanggilnya dengan sebutan ‘Neng’ Indah memutuskan bahwa ia
Saking jarangnya berada di rumah Arsya, Indah hanya mengenal seorang staf perempuan yang mengurus segala macam tentang pria itu. Selain itu Indah tidak mengenal siapa-siapa. Namun herannya setiap orang yang ia temui di rumah Arsya mengenalinya sebagai nyonya rumah. Dua orang pria yang entah muncul dari mana tiba-tiba saja sudah berjalan masuk ke rumah dengan kedua tangan penuh belanjaan. “Belanjaannya diletakkan di mana, Bu?” Salah seorang pria bertanya pada Indah. “Bisa diletakkan di kamar Bapak. Nanti kalau ada yang perlu dipindahkan lagi saya akan panggil bapak-bapak,” ujar Indah. Merasa nyonya rumah ternyata bukan orang yang sulit, keduanya tersenyum dengan mata berbinar-binar. “Kalau ada apa-apa bisa panggil kita berdua, Bu. Saya Deden dan dia Ipul,” ujar Deden menunjuk temannya. “Iya, terima kasih, ya.” Indah tersenyum ramah. Sedikit banyak ia bahagia karena Arsya pasti mewanti-wanti soal siapa dia di rumah itu. Keramahan lainnya didapat Indah dari Titin. Staf utama yang m
Arsya menghela napas dan mengusap pipi Indah. Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang ia impikan. Indah berada di kamarnya dengan wajah lelah dan mereka sedang bersiap-siap melepaskan lelah itu dengan menghibur satu sama lain. Pasti nyaman sekali berada dalam pelukan Indah seharian, pikirnya. Tapi mewujudkan pikiran itu tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Kamu lakukan apa yang mau kamu lakukan. Selama kamu mandi, Abang ada di ruangan kerja. Ada yang mau Abang kerjakan. Enggak lama, tapi kamu bisa mandi dengan nyaman.” Setelah mencubit pelan pipi Indah, Arsya pergi ke tumpukan paperbag yang berisi macam-macam lilin aromaterapi. Ia menenteng tiga paperbag berisi lilin. “Ayo, ikut Abang ke kamar mandi. Kamu pasti suka kalau berendam dengan garam mandi ditemani lilin ini. Abang suka kalau kamu menikmati waktu di sini. Selama ini kamu sudah cukup capek.” Arsya mengeluarkan semua lilin dan menyusunnya ke meja panjang yang terbuat dari batu pualam berwarna putih.
Tidak perlu aba-aba dua kali untuk meminta Arsya mengekplorasi bagian dadanya. Arsya selalu bersemangat di bagian itu.Indah menelan dengan susah payah ketika Arsya mengagumi, mengangkat, dan meremas gundukan lembut itu dengan tangannya yang besar dan lebar. Sepertinya, Arsya terlena oleh dadanya sejak pertama kali pria itu mendapat izin menjelajahi tubuhnya. Sentuhan Arsya perlahan dan lembut, napas Arsya terengah. Puncak dadanya dengan cepat mengeras dan semakin menonjol. Arsya terlihat semakin gemas. Arsya mengait tali lingerie di bahu Indah. Bermaksud menurunkannya ke samping tapi ternyata lingerie itu cukup ketat. Arsya kemudian bermaksud menyingkirkannya di bagian dada. Namun, ruang yang tersedia tidak cukup untuk memberikan Arsya akses ke puncak dadanya. Akhirnya Arsya menundukkan kepala dan menyesap puncak dadanya melalui lapisan atas lingerie. Indah sontak memekik. Tubuh Arsya yang besar mendesaknya dengan sangat tidak sabar di tepi ranjang. Sensasi lidah lembut Arsya yang
Arsya mengeksplorasi bagian itu dengan lembut dan napas yang semakin memburu. Dengan kenikmatan yang semakin menggila, Indah mengangkat dagunya lebih tinggi. Ia ingin dicium dan Arsya seakan mendengar permintaannya dalam hati detik itu juga. Arsya kembali melumat bibirnya. Indah mendesah penuh kenikmatan. Ditambah dengan sentuhan Arsya yang semakin menggila di bagian bawah tubuhnya. Indah menggeliat. Ibu jari Arsya menemukan satu titik di pusat kelembutannya yang semakin membuatnya menggila. Tubuhnya melenting dengan sepasang dada terangkat ke depan. Dengan erangan pelan, Arsya menunduk dan melumat puncak dadanya, menyesapnya dengan kuat, bersamaan dengan hunjaman nakal dari jemari Arsya di bagian bawah tubuhnya. Indah merasa tubuhnya bergetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Kenikmatan yang luar biasa semakin dekat dan hampir menghantamnya. Ia bergerak semakin gaduh. Indah mendesah seirama dengan ritme jari Arsya. Ia belum pernah merasakan kenikmatan luar biasa seperti itu. Ia ingi
Indah memeluk Arsya erat-erat. “Makasih karena udah membiarkan Pak Galih untuk tinggal di sini. Aku sedikit tenang karena orang daerah seperti Pak Galih ketemu atasan baik seperti Abang.” “Abang senang kalau memang hal itu juga bisa membuat Indah tenang.” Arsya ikut mengetatkan pelukannya. Mengecup kepala Indah sebelum meletakkan dagu di puncak kepala wanita itu. “Makasih,” sahut Indah, menyusurkan telapak tangannya di pipi Arsya. Ia merasakan bakal cambang yang kasar dan menggelap membentuk rahang Arsya yang tegas. Pria itu sedang melamun menatap kehampaan yang menggantung di depan mata. Membuat Ia bisa berpuas-puas memandang wajah Arsya dan menjelajahi wajah rupawan pria itu dengan telunjuknya. Menyentuh hidung Arsya yang tinggi dan menyentuh sepasang alis yang hitam dengan bentuk nyaris sempurna. Kecantikan Bu Della di masa tua menggambarkan dengan jelas bahwa wanita itu pasti sangat cantik di masa mudanya. Dan wajah rupawan itu diambil seluruhnya oleh Arsya. “Abang mikirin ap
“Mana Mayang? Kenapa nggak ikut ke sini? Apa dia nggak mau lihat Mama karena yang terakhir kali? Memangnya dia hamil berapa bulan, sih?” Bu Eta duduk di sofa dengan remote televisi berada di tangannya. “Mayang masih di kantor, Ma. Tadi sewaktu mau berangkat ke sini, aku diminta duluan. Dia masih ada kerjaan. Pasti datang, kok,” kata Panca dari depan pintu. “Mama baru bebas harusnya nggak boleh marah-marah gitu. Banyakin istirahat. Bukannya Mama yang bilang selama di tahanan nggak enak tidur, nggak enak makan.” “Memang nggak enak tidur dan nggak enak makan. Mau ngerasain di tahanan kamu?” Bu Eta menatap Panca dengan kesal. DEG Panca langsung terdiam. Pertanyaan mamanya barusan mengingatkan ia akan selembar ancaman yang diterimanya tempo hari. Ia langsung gelisah. Bagaimana nasib wanita yang ditabraknya malam itu? Apakah wanita itu selamat? Oh, tentu saja selamat. Ada seorang wanita lain yang bersama wanita itu. Wanita itu pasti segera dibawa ke rumah sakit. Atau ia harus segera men
Kurang dari delapan bulan yang lalu, Arsya terbangun setelah tertidur tak lebih dari satu jam. Ia baru pulang dari menjamu klien dari Rusia.“Aku baru tidur, Fan. Kamu kenapa? Diganggu Tio lagi? Kali ini dia ditahan di mana? Sekali-kali biarkan dia bermalam di kantor polisi. Kamu nggak punya tanggung jawab moral soal dia.” Arsya setengah emosi karena dini hari itu ia memang luar biasa lelah. Kebanyakan telepon dari Fanny di pukul segitu biasanya berkaitan dengan Tio, mantan ayah tirinya.“S-Sa …. I-ini Riri. Fanny …. Fanny kecelakaan. Meninggal. Di dekat apartemen. Tabrak lari, Sa. Fanny korban tabrak lari.”Rasanya baru semenit yang lalu ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Kenapa baru satu menit berlalu tapi dunia sudah begitu banyak berubah.“Ka-kamu siapa? Riri? Kenapa handphone Fanny ada di kamu?” Arsya bangkit mengusap wajah dan menyugar rambutnya dengan bingung.“Fanny meninggal!” seru Riri di seberang telepon.Kali itu Arsya sudah benar-benar terbangun. Ia melompat dari ra