“Bagaimana, Pak? Kita pergi sekarang?” Agen swasta yang duduk di sebelah Arsya menyadarkannya dari lamunan. “Oh, ya? Siapa nama kamu tadi?” Arsya bertanya tapi matanya masih mengikuti penampakan Indah yang pergi menuju lift. “Nama saya Mahdi, Pak. Sebelum hari ini kita sudahi, apa Bapak mengerti apa yang saya maksud soal wanita bernama Indah tadi?” Mahdi masih memandang Arsya yang masih menatap Indah. “Saya mengerti. Wanita tadi memiliki suami biadab yang tidak peduli pada keluarganya. Jadi, memang mustahil wanita bernama Indah tadi terlibat kecelakaan malam hari sementara dia sendiri sibuk dengan bayinya yang sakit.” Arsya terlihat mengembuskan napas saat Indah masuk lift, lalu ia menoleh memandang Mahdi. “Bapak mau informasi soal Panca dan wanita yang bersamanya malam itu? Saya bisa–” “Boleh. Saya juga mau informasi lengkap soal wanita tadi. Indah Utari Ismawan. Saya mau cerita lengkap tentang bagaimana wanita seperti dia menikah dengan laki-laki bernama Panca itu.” Arsya bangki
Tidak…tidak. Ia belum jatuh cinta. Ia hanya iba pada wanita muda yang terlihat begitu tenang dan keibuan malah harus terjebak dalam rumah tangga bersama suami yang salah. Ia hanya iba. Dalam sekelebat mata saja orang-orang bisa menilai kalau Indah terlalu baik untuk sosok pria seperti Panca. Indah yang kalem itu tidak cocok untuk suami yang bicaranya kasar dan sikapnya manipulatif. Apalagi Indah sedang berjuang untuk bayinya. Arsya menyadarinya. Bibit perasaan itu hanya sekeping iba. Ia iba mengetahui Indah yang hampir menjadi tertuduh pelaku tabrak lari ternyata seorang istri yang diselingkuhi suaminya. Ia iba karena Indah harus merawat bayi cacatnya sendirian. Ia iba karena mengetahui dari Bu Anum kalau Indah tidak dinafkahi lagi. Ia iba karena mendengar kalau Indah sama sekali tidak memiliki teman di kota Jakarta. Ia iba karena mengetahui bahwa ternyata Indah benar-benar hanya berdua bersama Alif; putranya yang masih merah dan mengidap banyak kelainan. Sekeping iba itu tertanam da
Dan setelah hampir delapan bulan berlalu, kesabaran Riri menunggu pembalasan Arsya ternyata berujung pada kekecewaan. Setelah berhasil menikahi Indah, Arsya malah terkesan lupa dengan apa yang dijanjikannya. Arsya seakan mengulur-ulur waktu dan terus menghindar tiap ia bertanya soal kejelasan. Kesabaran Riri sudah mencapai titik di mana ia tidak bisa berpangku tangan melihat Arsya yang terlihat semakin hari semakin terlena dan bahagia.“Menipu dari awal?” Riri membuat mimik wajah terkejut, lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. Pupil matanya berkilat karena amarah. “Apa itu bisa diartikan kalau kamu memang jatuh cinta dengan perempuan itu dari awal? Dari satu minggu setelah Fanny meninggal? Benar begitu?”Arsya menggeleng. “Tidak semua yang terjadi kamu harus tahu. Biarkan itu jadi urusanku.”“Tapi kamu terlalu cepat mengkhianati Fanny! Kamu nikahi perempuan yang pernah ditiduri pelaku tabrak lari tunanganmu. Ke mana janji yang kamu sebut-sebut bakal membalas laki-laki berengsek bernam
“Belum lama …. Abang ikutan ngantuk.” Arsya meletakkan dagu di atas kepala Indah. Matanya terpejam. Ia memang sangat lelah hari itu. Bukan lelah bekerja, tapi berdebat dengan Riri. Wanita itu selalu mampu menguras emosinya. Membuatnya benar-benar yakin kalau Riri adalah kembaran Fanny.“Belum ganti baju,” kata Indah, mengusap lengan Arsya yang masih terbungkus kemeja.“Abang mau tidur di sini. Galih pulang ke rumah buat ambil pakaian Abang. Udah malam … harusnya kamu makan, bukannya tidur.” Arsya bicara dengan mata tertutup. Lengannya masih nyaman melingkar di perut Indah.“Ya, udah. Ayo kita makan.” Indah belum bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Ia hanya bisa mencium aroma parfum dan merasakan tubuhnya sedikit berat karena pelukan Arsya.“Sebentar lagi boleh nggak? Kenapa tiduran begini jadinya nyaman banget, ya?” Arsya bergerak, tapi tidak bangkit. Ia hanya memindahkan kepalanya. Kini ia mencium bagian belakang kepala Indah. “Pakai sampo apa? Wangi banget. Tadi keramas, ya? Mand
Indah terbangun lebih dulu dari Arsya. Lagi-lagi ia bermimpi soal papanya. Kali ini papanya datang ke rumah sakit, duduk di ruang tunggu dan diam memandangnya dengan senyum tipis. Ia terbangun dengan pipi yang dingin tapi tubuh yang sangat hangat karena berada dalam pelukan Arsya dan selimut yang diletakkan Arsya di atas tubuh mereka.Ia membuka mata dan bergeser menjauhkan kepala agar bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Lampu ruang rawat memang dikatakan menjelang tidur dan hanya digantikan cahaya dari lampu yang menyala kecil di sudut ruangan. Ia tersenyum melihat wajah Arsya yang masih tertidur lelap dengan satu tangan terselip di bawah kepalanya. Malam itu busana tidur Arsya berupa kaos oblong dan celana chinos yang harusnya tidak dipakai untuk tidur. Malam tadi ia mendengar Arsya mengatakan kalau tidak mungkin mengenakan piyama di ruang rawat rumah sakit. Dan pakaian yang terlihat masih cukup mewah itu dianggap Arsya sangat pantas digunakan untuk tidur. Ia meletakkan telapak t
Indah menelan ludah. Jangan menangis … jangan menangis. Ia terus membatin. Ia juga berharap kalau Panca bisa menahan emosinya meski hal itu sangat mustahil. Panca akan terus meledak-ledak sesuai keinginannya. Sebuah perangai yang sangat sulit diubah.“Mas Panca … dengar aku baik-baik.” Indah berhenti bicara karena pelayan mendekat dan meletakkan teh ke depannya. Demi menyibukkan diri sejenak, Indah memasukkan dua sachet gula dan mengaduk tehnya. Setelah pelayan pergi ia kembali memandang Panca. “Besok Alif bakal operasi koreksi anus,” ucap Indah.“Koreksi apa?” Wajah Panca terlihat mengernyit jijik.“Aku tahu Mas Panca bukannya nggak dengar dengan apa yang barusan aku bilang. Tapi rasa jijik Mas itu nggak sesuai dengan tempatnya.” Indah mengatupkan mulut. Rahangnya terlihat berkedut karena geram. “Selama sebulan ini Alif sudah dirawat di rumah sakit untuk menaikkan berat badan karena kadar albuminnya tidak mencukupi dengan angka yang dibutuhkan untuk menutup luka operasi. Sebulan ini
“Mas Harris,” sambut Arsya. “Terima kasih sudah menyempatkan datang ke sini.” Arsya mengulurkan tangan dan langsung disambut kakak sepupunya.“Tidak sibuk kalau untuk keluarga,” kata Harris.“Family man as always,” ucap Arsya. “Chika sehat, kan? Lagi sibuk apa?”Harris mengangguk pada salah seorang perawat dan perawat itu langsung mendekati ranjang Alif dengan pakaian ganti untuk masuk ruang operasi. Setelah memastikan ketiga perawat melaksanakan tugasnya, Harris kembali memandang Arsya untuk melanjutkan pembicaraan.“Chika … sedang sibuk dengan seseorang yang membantunya membuat macam-macam kuncir rambut. Kamu tahu sendiri dari tahun lalu dia sibuk memulai persaingan di sekolahnya dengan tema siapa yang kuncirnya selalu baru dan paling kreatif. Nah, Mas rasa Chika sudah ketemu dengan … seseorang yang tepat.” Harris mengangkat bahu sambil menelengkan kepalanya.“Tapi aku rasa barusan Mas bukan mendeskripsikan Chika,” balas Arsya.Harris tertawa kecil. “Terlalu kelihatan, ya?”“Terlalu
Tak sadar Indah mengeratkan pegangan tangannya pada Arsya. Kedatangan Panca sama sekali tidak diprediksi dan harapannya bisa membuka hati pria itu pun sudah pupus. Bahkan sejak meninggalkan cafe kemarin ia sudah memasrahkan diri bahwa jika terjadi apa pun; terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Alif, Panca tidak akan melihat putranya itu sampai akhir. Tapi yang terjadi sore itu di luar dugaan. Panca menangis di depan dinding kaca di mana Alif yang baru selesai dioperasi berada.Indah terkesiap ketika Arsya membawanya mundur selangkah. Ia menoleh dan pria itu menggeleng dengan satu telunjuk di depan bibir. Ia pun mengerti kalau Arsya ingin memberi waktu untuk Panca. Tapi pengertian itu berubah ketika Arsya melepaskan genggaman tangannya dan menunjuk tempat di mana Panca berada.Indah bertanya dalam bisikan, “Aku ketemu dia? Kenapa? Aku nggak mau.” Perkataan itu dibarengi dengan gelengan kepala. Ia memang tidak mau kalau harus mendatangi Panca di tempat itu. Baginya kemarin pagi ada
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”