Indah menelan ludah. Jangan menangis … jangan menangis. Ia terus membatin. Ia juga berharap kalau Panca bisa menahan emosinya meski hal itu sangat mustahil. Panca akan terus meledak-ledak sesuai keinginannya. Sebuah perangai yang sangat sulit diubah.“Mas Panca … dengar aku baik-baik.” Indah berhenti bicara karena pelayan mendekat dan meletakkan teh ke depannya. Demi menyibukkan diri sejenak, Indah memasukkan dua sachet gula dan mengaduk tehnya. Setelah pelayan pergi ia kembali memandang Panca. “Besok Alif bakal operasi koreksi anus,” ucap Indah.“Koreksi apa?” Wajah Panca terlihat mengernyit jijik.“Aku tahu Mas Panca bukannya nggak dengar dengan apa yang barusan aku bilang. Tapi rasa jijik Mas itu nggak sesuai dengan tempatnya.” Indah mengatupkan mulut. Rahangnya terlihat berkedut karena geram. “Selama sebulan ini Alif sudah dirawat di rumah sakit untuk menaikkan berat badan karena kadar albuminnya tidak mencukupi dengan angka yang dibutuhkan untuk menutup luka operasi. Sebulan ini
“Mas Harris,” sambut Arsya. “Terima kasih sudah menyempatkan datang ke sini.” Arsya mengulurkan tangan dan langsung disambut kakak sepupunya.“Tidak sibuk kalau untuk keluarga,” kata Harris.“Family man as always,” ucap Arsya. “Chika sehat, kan? Lagi sibuk apa?”Harris mengangguk pada salah seorang perawat dan perawat itu langsung mendekati ranjang Alif dengan pakaian ganti untuk masuk ruang operasi. Setelah memastikan ketiga perawat melaksanakan tugasnya, Harris kembali memandang Arsya untuk melanjutkan pembicaraan.“Chika … sedang sibuk dengan seseorang yang membantunya membuat macam-macam kuncir rambut. Kamu tahu sendiri dari tahun lalu dia sibuk memulai persaingan di sekolahnya dengan tema siapa yang kuncirnya selalu baru dan paling kreatif. Nah, Mas rasa Chika sudah ketemu dengan … seseorang yang tepat.” Harris mengangkat bahu sambil menelengkan kepalanya.“Tapi aku rasa barusan Mas bukan mendeskripsikan Chika,” balas Arsya.Harris tertawa kecil. “Terlalu kelihatan, ya?”“Terlalu
Tak sadar Indah mengeratkan pegangan tangannya pada Arsya. Kedatangan Panca sama sekali tidak diprediksi dan harapannya bisa membuka hati pria itu pun sudah pupus. Bahkan sejak meninggalkan cafe kemarin ia sudah memasrahkan diri bahwa jika terjadi apa pun; terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Alif, Panca tidak akan melihat putranya itu sampai akhir. Tapi yang terjadi sore itu di luar dugaan. Panca menangis di depan dinding kaca di mana Alif yang baru selesai dioperasi berada.Indah terkesiap ketika Arsya membawanya mundur selangkah. Ia menoleh dan pria itu menggeleng dengan satu telunjuk di depan bibir. Ia pun mengerti kalau Arsya ingin memberi waktu untuk Panca. Tapi pengertian itu berubah ketika Arsya melepaskan genggaman tangannya dan menunjuk tempat di mana Panca berada.Indah bertanya dalam bisikan, “Aku ketemu dia? Kenapa? Aku nggak mau.” Perkataan itu dibarengi dengan gelengan kepala. Ia memang tidak mau kalau harus mendatangi Panca di tempat itu. Baginya kemarin pagi ada
“Dari mana kamu?” tanya Mayang dari depan pintu.Panca yang ditanya tak menjawab. Langkahnya lesu menuju tempat kosong di sebelah Mayang. Lalu, tanpa menjawab Mayang ia memeluk wanita itu.Mayang langsung terdiam. Kepala Panca terkulai di bahunya. Panca tidak pernah seperti itu dan hal itu sebenarnya menyenangkan jika saja keluarga mereka tidak sedang memiliki berita buruk.“Mungkin Tuhan benar-benar marah ke aku, ya Yang. Bukti yang dulu aku sebut-sebut disodorkan langsung di depan mataku. Aku memang banyak salah sama Indah dan Alif.” Panca menerawang siaran televisi yang sedang memutar berita.Mayang merasa harus meredam rasa penasarannya soal dari mana Panca malam itu. Ia harus mendengar curahan hati Panca yang selama ini jarang sekali menunjukkan kepekaan terhadap apa pun. Ia mengambil kesimpulan kalau saat itu Panca benar-benar butuh dihibur. Pelan-pelan tangannya terangkat dan membelai pipi Panca. Rasanya memang aneh sekali. Hubungan mereka yang selama ini dianggapnya selalu pa
Suara-suara di ruang rawat Alif mulai tenggelam dan menjauh dari telinga Indah. Pikirannya mulai terpusat pada surat kecil yang dikirimkan Riri padanya. Walau tidak niat menghafal sederet nomor telepon yang diberikan Riri, tapi fokusnya yang sedang terpusat dengan mudah mengingat deretan angka. Ia melirik Arsya yang tengah serius mengecek ponsel. Ke mana Galih? Siapa yang mengantar bunga itu?“Siapa yang antar bunga ini? Perawat?” Indah bertanya dengan suara pelan. Suara Yeni yang sedang berceloteh juga ikut menenggelamkan suaranya.“Kayaknya bukan perawat, Mbak. Mungkin tukang suruh-suruh di rumah sakit ini. Yang antar ke sana kemari. Kalau di kantor kayak tugasku gitu, lho, Mbak.” Ridwan menjelaskan dengan amat jelas.Indah langsung bungkam. Sedikit khawatir kalau suara Ridwan menarik perhatian Arsya. Ia mengangguk pada Ridwan untuk mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan soal bunga sudah selesai.“Ngomong-ngomong … Aa Galih mana? Di luar juga nggak ada.” Yeni menatap pintu yang tert
Sudah berapa hari ia melupakan soal Arsya yang menemaninya sebagai seorang suami sekaligus bapak sambung sebenarnya bagi Alif? Dua hari? Tiga hari? Atau hampir satu minggu? Menunggui Alif di rumah sakit membuat ia banyak lupa. Termasuk lupa waktu dan lupa terhadap kebutuhan Arsya. Selain makan malam bersama, ia lupa kalau pria itu sudah banyak diabaikan. Bisikan Arsya barusan membuat kuduknya meremang dan pikirannya berpindah-pindah. Pertanyaan Arsya juga masih menggantung di benaknya.“Kalau tiba-tiba Abang mau di sini gimana? Boleh?” Indah tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia paham sebagai pria normal dan baru memerankan suami sesungguhnya Arsya pasti menginginkan intensitas kemesraan mereka bisa lebih banyak. Di sisi lain, apa mungkin melakukan hal itu di ruang rawat? Terlebih di sana ada Alif yang sedang berbaring dengan tangan tersambung selang infus. Sebagai seorang ibu, ia merasa dirinya sangat hina karena mementingkan keinginan pribadinya saja.Ruang rawat menjadi heni
Semuanya sangat tiba-tiba dan sama sekali tidak terpikir akan terjadi secepat itu. Dalam kondisi hubungan yang membaik dan situasi kesehatan Alif, ia belum berharap banyak untuk bisa mewujudkan segala imajinasi dan fantasi dalam kepalanya.Satu dari banyak hal yang harus ia mengerti bahwa kehangatan rumah tangga yang diimpikan banyak orang bukan hanya bersumber dari kemampuan di ranjang tapi juga telinga yang hebat mendengar.Seorang Indah yang cantik dan sederhana sudah meluluhlantakkan hatinya karena kesabaran yang ditunjukkan wanita itu. Dan di dalam kamar mandi, Indah yang cantik dan sederhana membuatnya bergairah karena keberaniannya.Indah berjongkok dengan rok sebatas lutut. Hidung yang mungil dan amat ia sukai terlihat menggemaskan dari tempatnya berdiri. Jemari Indah yang lentik dan pipih panjang menggenggam kejantanannya. Lalu, hal yang paling membuat tubuhnya bergetar adalah bibir mungil Indah yang tengah menenggelamkan dirinya dalam sesapan kuat. Susah payah ia mengingatka
“Aku rasa anak dalam kandungan istri Panca sekarang juga sakit. Panca menyebut sesuatu yang berhubungan dengan jantung. Apa mungkin calon bayi mereka membawa kelainan jantung bawaan? Aku kasihan, Bang. Sejak punya Alif yang akrab dengan rumah sakit, aku semakin nggak tahan tiap dengar anak-anak yang sakit. Hatiku ngilu,” beber Indah.“Memang sudah seharusnya begitu. Itu sebabnya laki-laki itu harusnya sadar hal itu jauh sebelumnya. Jauh sebelum mendapati kenyataan bisa menamparnya sekeras itu.” Arsya bicara dengan nada datar. “Kamu bisa membalas dia kalau mau,” jelasnya lagi.Indah melepaskan pelukan itu dan mendongak menatap Arsya. “Gimana kalau aku bilang bahwa aku nggak pernah berniat membalas Panca? Abang percaya? Sewaktu Panca menjahati kami dengan … Abang ngerti maksud aku, kan? Aku memang nggak pernah kepikiran buat membalas. Aku cuma fokus di kesehatan Alif. Aku udah menganggap kalau jodoh Panca dan aku memang sudah berhenti sampai di situ. Tapi meski begitu, aku nggak mau Ali