Tidak perlu aba-aba dua kali untuk meminta Arsya mengekplorasi bagian dadanya. Arsya selalu bersemangat di bagian itu.Indah menelan dengan susah payah ketika Arsya mengagumi, mengangkat, dan meremas gundukan lembut itu dengan tangannya yang besar dan lebar. Sepertinya, Arsya terlena oleh dadanya sejak pertama kali pria itu mendapat izin menjelajahi tubuhnya. Sentuhan Arsya perlahan dan lembut, napas Arsya terengah. Puncak dadanya dengan cepat mengeras dan semakin menonjol. Arsya terlihat semakin gemas. Arsya mengait tali lingerie di bahu Indah. Bermaksud menurunkannya ke samping tapi ternyata lingerie itu cukup ketat. Arsya kemudian bermaksud menyingkirkannya di bagian dada. Namun, ruang yang tersedia tidak cukup untuk memberikan Arsya akses ke puncak dadanya. Akhirnya Arsya menundukkan kepala dan menyesap puncak dadanya melalui lapisan atas lingerie. Indah sontak memekik. Tubuh Arsya yang besar mendesaknya dengan sangat tidak sabar di tepi ranjang. Sensasi lidah lembut Arsya yang
Arsya mengeksplorasi bagian itu dengan lembut dan napas yang semakin memburu. Dengan kenikmatan yang semakin menggila, Indah mengangkat dagunya lebih tinggi. Ia ingin dicium dan Arsya seakan mendengar permintaannya dalam hati detik itu juga. Arsya kembali melumat bibirnya. Indah mendesah penuh kenikmatan. Ditambah dengan sentuhan Arsya yang semakin menggila di bagian bawah tubuhnya. Indah menggeliat. Ibu jari Arsya menemukan satu titik di pusat kelembutannya yang semakin membuatnya menggila. Tubuhnya melenting dengan sepasang dada terangkat ke depan. Dengan erangan pelan, Arsya menunduk dan melumat puncak dadanya, menyesapnya dengan kuat, bersamaan dengan hunjaman nakal dari jemari Arsya di bagian bawah tubuhnya. Indah merasa tubuhnya bergetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Kenikmatan yang luar biasa semakin dekat dan hampir menghantamnya. Ia bergerak semakin gaduh. Indah mendesah seirama dengan ritme jari Arsya. Ia belum pernah merasakan kenikmatan luar biasa seperti itu. Ia ingi
Indah memeluk Arsya erat-erat. “Makasih karena udah membiarkan Pak Galih untuk tinggal di sini. Aku sedikit tenang karena orang daerah seperti Pak Galih ketemu atasan baik seperti Abang.” “Abang senang kalau memang hal itu juga bisa membuat Indah tenang.” Arsya ikut mengetatkan pelukannya. Mengecup kepala Indah sebelum meletakkan dagu di puncak kepala wanita itu. “Makasih,” sahut Indah, menyusurkan telapak tangannya di pipi Arsya. Ia merasakan bakal cambang yang kasar dan menggelap membentuk rahang Arsya yang tegas. Pria itu sedang melamun menatap kehampaan yang menggantung di depan mata. Membuat Ia bisa berpuas-puas memandang wajah Arsya dan menjelajahi wajah rupawan pria itu dengan telunjuknya. Menyentuh hidung Arsya yang tinggi dan menyentuh sepasang alis yang hitam dengan bentuk nyaris sempurna. Kecantikan Bu Della di masa tua menggambarkan dengan jelas bahwa wanita itu pasti sangat cantik di masa mudanya. Dan wajah rupawan itu diambil seluruhnya oleh Arsya. “Abang mikirin ap
“Mana Mayang? Kenapa nggak ikut ke sini? Apa dia nggak mau lihat Mama karena yang terakhir kali? Memangnya dia hamil berapa bulan, sih?” Bu Eta duduk di sofa dengan remote televisi berada di tangannya. “Mayang masih di kantor, Ma. Tadi sewaktu mau berangkat ke sini, aku diminta duluan. Dia masih ada kerjaan. Pasti datang, kok,” kata Panca dari depan pintu. “Mama baru bebas harusnya nggak boleh marah-marah gitu. Banyakin istirahat. Bukannya Mama yang bilang selama di tahanan nggak enak tidur, nggak enak makan.” “Memang nggak enak tidur dan nggak enak makan. Mau ngerasain di tahanan kamu?” Bu Eta menatap Panca dengan kesal. DEG Panca langsung terdiam. Pertanyaan mamanya barusan mengingatkan ia akan selembar ancaman yang diterimanya tempo hari. Ia langsung gelisah. Bagaimana nasib wanita yang ditabraknya malam itu? Apakah wanita itu selamat? Oh, tentu saja selamat. Ada seorang wanita lain yang bersama wanita itu. Wanita itu pasti segera dibawa ke rumah sakit. Atau ia harus segera men
Kurang dari delapan bulan yang lalu, Arsya terbangun setelah tertidur tak lebih dari satu jam. Ia baru pulang dari menjamu klien dari Rusia.“Aku baru tidur, Fan. Kamu kenapa? Diganggu Tio lagi? Kali ini dia ditahan di mana? Sekali-kali biarkan dia bermalam di kantor polisi. Kamu nggak punya tanggung jawab moral soal dia.” Arsya setengah emosi karena dini hari itu ia memang luar biasa lelah. Kebanyakan telepon dari Fanny di pukul segitu biasanya berkaitan dengan Tio, mantan ayah tirinya.“S-Sa …. I-ini Riri. Fanny …. Fanny kecelakaan. Meninggal. Di dekat apartemen. Tabrak lari, Sa. Fanny korban tabrak lari.”Rasanya baru semenit yang lalu ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Kenapa baru satu menit berlalu tapi dunia sudah begitu banyak berubah.“Ka-kamu siapa? Riri? Kenapa handphone Fanny ada di kamu?” Arsya bangkit mengusap wajah dan menyugar rambutnya dengan bingung.“Fanny meninggal!” seru Riri di seberang telepon.Kali itu Arsya sudah benar-benar terbangun. Ia melompat dari ra
“Bagaimana, Pak? Kita pergi sekarang?” Agen swasta yang duduk di sebelah Arsya menyadarkannya dari lamunan. “Oh, ya? Siapa nama kamu tadi?” Arsya bertanya tapi matanya masih mengikuti penampakan Indah yang pergi menuju lift. “Nama saya Mahdi, Pak. Sebelum hari ini kita sudahi, apa Bapak mengerti apa yang saya maksud soal wanita bernama Indah tadi?” Mahdi masih memandang Arsya yang masih menatap Indah. “Saya mengerti. Wanita tadi memiliki suami biadab yang tidak peduli pada keluarganya. Jadi, memang mustahil wanita bernama Indah tadi terlibat kecelakaan malam hari sementara dia sendiri sibuk dengan bayinya yang sakit.” Arsya terlihat mengembuskan napas saat Indah masuk lift, lalu ia menoleh memandang Mahdi. “Bapak mau informasi soal Panca dan wanita yang bersamanya malam itu? Saya bisa–” “Boleh. Saya juga mau informasi lengkap soal wanita tadi. Indah Utari Ismawan. Saya mau cerita lengkap tentang bagaimana wanita seperti dia menikah dengan laki-laki bernama Panca itu.” Arsya bangki
Tidak…tidak. Ia belum jatuh cinta. Ia hanya iba pada wanita muda yang terlihat begitu tenang dan keibuan malah harus terjebak dalam rumah tangga bersama suami yang salah. Ia hanya iba. Dalam sekelebat mata saja orang-orang bisa menilai kalau Indah terlalu baik untuk sosok pria seperti Panca. Indah yang kalem itu tidak cocok untuk suami yang bicaranya kasar dan sikapnya manipulatif. Apalagi Indah sedang berjuang untuk bayinya. Arsya menyadarinya. Bibit perasaan itu hanya sekeping iba. Ia iba mengetahui Indah yang hampir menjadi tertuduh pelaku tabrak lari ternyata seorang istri yang diselingkuhi suaminya. Ia iba karena Indah harus merawat bayi cacatnya sendirian. Ia iba karena mengetahui dari Bu Anum kalau Indah tidak dinafkahi lagi. Ia iba karena mendengar kalau Indah sama sekali tidak memiliki teman di kota Jakarta. Ia iba karena mengetahui bahwa ternyata Indah benar-benar hanya berdua bersama Alif; putranya yang masih merah dan mengidap banyak kelainan. Sekeping iba itu tertanam da
Dan setelah hampir delapan bulan berlalu, kesabaran Riri menunggu pembalasan Arsya ternyata berujung pada kekecewaan. Setelah berhasil menikahi Indah, Arsya malah terkesan lupa dengan apa yang dijanjikannya. Arsya seakan mengulur-ulur waktu dan terus menghindar tiap ia bertanya soal kejelasan. Kesabaran Riri sudah mencapai titik di mana ia tidak bisa berpangku tangan melihat Arsya yang terlihat semakin hari semakin terlena dan bahagia.“Menipu dari awal?” Riri membuat mimik wajah terkejut, lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. Pupil matanya berkilat karena amarah. “Apa itu bisa diartikan kalau kamu memang jatuh cinta dengan perempuan itu dari awal? Dari satu minggu setelah Fanny meninggal? Benar begitu?”Arsya menggeleng. “Tidak semua yang terjadi kamu harus tahu. Biarkan itu jadi urusanku.”“Tapi kamu terlalu cepat mengkhianati Fanny! Kamu nikahi perempuan yang pernah ditiduri pelaku tabrak lari tunanganmu. Ke mana janji yang kamu sebut-sebut bakal membalas laki-laki berengsek bernam