“Panca! Panca!” Mayang berdiri memandang punggung Panca yang menjauh. Ia menyambar tasnya dan pergi meninggalkan meja.Seorang pelayan yang tadi menunggui mereka kembali mengangkat buku menu dan membereskan meja kembali seperti semula. Pertengkaran sepasang manusia dan berakhir dengan gagalnya makan malam bukan hal pertama yang terjadi di restoran itu.“Ca!” Mayang setengah berlari mengejar Panca yang sudah tiba di teras restoran. “Kamu kenapa, sih? Over acting banget pakai acara ngambek keluar restoran. Apa nggak bisa biasa aja dan nunggu kita sampai di rumah? Cuma karena ketemu Indah lantas mood kamu berubah jadi jelek?”Panca melewati teras restoran dan mengabaikan Mayang. Langkahnya tergesa menuju parkiran dan wajah menekuk. “Coba kamu ingat-ingat siapa yang memulai pertengkaran. Kamu atau aku? Kayaknya sejak awal sampai di restoran aku nggak ada ngomong apa-apa. Kamu yang nyentil-nyentil soal reaksiku yang berubah.”“Tapi kamu memang berubah,” potong Mayang. Mereka sudah tiba di m
Riri mundur selangkah karena Arsya masuk ke mobil. “Sa, aku perlu ngomong sama kamu. Ini penting banget. Sumpah, Arsya … kamu harus dengar aku.” Riri mengetuk kaca mobil dan Arsya membukanya. “Ri, kita bakal ngobrol penting. Aku juga bakal ngomong sesuatu ke kamu. Tapi nggak sekarang. Sore ini aku janji nganterin istriku ke rumah sakit. Besok pagi papanya operasi.” Arsya bicara dengan Riri tapi matanya sibuk melihat ke arah Indah yang hampir mencapai pagar gedung.“Istriku …? Sekarang enteng banget kamu nyebut dia itu istri kamu. Aku nggak nyangka permintaanku buat nyari orang yang nabrak Fanny malah berakhir dengan kamu menikahi perempuan itu. Aneh bener kamu.” Riri berdecih. Geram karena mengingat janji Arsya di awal pembicaraan mereka.“Sekarang kamu mau mempermasalahkan yang mana? Bukannya semua permintaan kamu sudah aku turuti? Kamu lihat sendiri, kan, apa yang terjadi sekarang. Minggu ini aku sibuk. Aku hubungi kamu kalau jadwalku sudah longgar. Aku pergi sekarang.” Arsya kemb
Indah merasa dirinya hampir mati rasa. Air mata yang ia kira akan keluar tanpa henti saat papanya meninggal nyatanya tidak seperti dugaannya itu. Indah tidak menangis. Ia menatap wajah pria penjaganya itu dengan sorot muram.“Papa …. Sampaikan ke Mama kalau Indah baik-baik aja. Indah pasti kuat karena Indah punya Alif. Kami berdua pasti mampu melewati semua ujian ini.” Indah sempat membisikkan kata-kata terakhir saat melihat papanya di turunkan ke dalam tanah. “Maaf karena Indah nggak bisa bawa Alif.”“Kalau Indah capek … Jangan lupa pesan Papa. Hidup itu cukup sehari demi sehari. Enggak perlu dipikirkan setahun sekaligus. Hari ini aja dulu. Besok lain lagi. Setiap pagi Tuhan selalu memberi hari baru. Kesempatan baru datang setiap pagi.”Pesan-pesan yang sering diucapkan papanya, menggema berulang di kepala Indah. Sampai-sampai suara kesibukan orang-orang yang sedang membereskan pemakaman tak terdengar di telinganya. Indah memandang kesibukan di depannya dengan sorot mata penuh kekoso
Bagi Indah … Arsya itu ada benarnya kalau disebut sebagai kakak laki-laki. Dalam sebentuk keluarga kecil yang diberikan pria itu padanya dan Alif, Arsya hadir sebagai pencari nafkah, pelindung dan pembuat keputusan. Sudah lama sekali ia merasa dirinya adalah garda paling depan untuk dirinya sendiri. Bahkan sejak Alif belum terlahir ke dunia. Sejak masuk ke keluarga Subianto, Indah bisa merasa lebih tenang untuk banyak hal. Gaji yang diterimanya sebagai asisten sekretaris hampir tidak tersentuh karena semua kebutuhannya sudah tersedia. Kamar Arsya yang dijadikan kamar pengantin mereka beberapa waktu lalu sudah berisi segala macam perlengkapan dengan merek yang sama dengan yang ia pakai. Disertai beberapa tambahan produk yang seakan membujuknya untuk mencoba merek perawatan baru. Sedangkan untuk kebutuhan Alif, Arsya menggantikan Indah mendengar semua hasil pemeriksaan dokter. Indah merasa sangat terbantu karena Arsya bisa menyederhanakan semua hal untuk ia dan Alif. karena merasa ada
Indah lupa memejamkan mata karena apa. Yang jelas saat itu Arsya melepaskan pelukan dan menangkup wajahnya. Pandangan mereka bersirobok lalu ia merasa telapak tangan Arsya terlalu lebar untuk wajahnya yang mungil. Sehingga telapak tangan itu dengan cepat menyebarkan kehangatan di kedua pipinya. Kehangatan itu bagai sebuah sihir yang menenangkan hati. Membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdetak terlalu cepat. Ternyata tubuh Arsya yang disangkanya asing lebih mudah menjalin pertemanan dengannya. Indah mendongak cukup lama. Sadar karena Arsya sedang ingin memuaskan diri memandang tiap sudut wajahnya. Sampai ketika ia merasakan bibirnya dilumat dengan lembut oleh bibir hangat dan manis yang dengan sabar mengajarinya cara menikmati ciuman itu. Indah terbuai. Membalas ciuman Arsya satu persatu sambil membayangkan sosok PresDir yang pertama kali dilihatnya di hari pertama bekerja. Sikap tubuh Arsya sangat tenang, ekspresinya santai dan terlihat amat cerdas. Sangat pas dengan gambaran
Hitungan menit saja rasanya Indah sudah belajar banyak dari Arsya. Pelan-pelan dan tidak terburu-buru, Indah meniru cara Arsya menikmati bagaimana tangannya membelai garis lurus kancing di dada pria itu. Sambil terus membuka pengaitnya, Indah lalu mendongak dan tak sampai lewat dua detik Arsya kembali melumat bibirnya. Ciuman itu sangat memabukkan tapi mampu membuat jemarinya bergerak semakin cepat. Kini tangannya sudah selesai membuka kancing terakhir kemeja Arsya dan sepasang telapak tangannya kemudian mendarat di dada Arsya yang memiliki rambut-rambut halus. Ia membelainya dengan pelan dan lembut. Merasakan kehangatan kulit Arsya dengan telapak tangannya. Sampai ia mengerang karena kenikmatan kecil menghantamnya. Jemari Arsya baru saja membuat gerakan intim di puncak dadanya. Yang membuat ia menggeliat gelisah. Ia lalu melepaskan ciuman dan membuka mata. Mengerling bagian atas tubuhnya yang sudah telanjang dan menekan dada Arsya. Arsya mengulas senyuman. Lalu kemudian mengecup l
Perasaan Indah saat itu yang paling jelas adalah lengket dan lembab. Selebihnya adalah rasa kantuk dan kepuasan dahsyat yang sepertinya baru kali itu ia rasakan.Indah pasti sudah tertidur kalau Arsya tidak mengajaknya berbicara. Tangannya meringkuk lemah di depan dada pria itu sambil sesekali mengusap rambut halusnya. Matanya semakin meredup karena usapan Arsya di punggung telanjangnya terasa amat melenakan.“Jadi Indah memang lahir dan besar di sini?” Arsya menyeret telapak tangannya dari bagian atas tengkuk terus turun sampai ke pangkal bokong Indah. Lalu satu jari telunjuknya berputar-putar di tengah, tepat di pangkal bokong Indah itu.Indah mengangguk. “Benar-benar asli penduduk sini. Papa orang lama yang bawa Mama untuk tinggal di sini. Makanya kemarin yang ikut ke pemakaman Papa cukup ramai. Semua bilang nggak nyangka karena Papa sakit nggak lama.” Indah memejamkan matanya sebentar karena tangan Arsya kembali membelai punggungnya. Beberapa keping rasa penasarannya siap bagian t
“Ini mau apa?” Indah ikut tertawa lemah karena melihat Arsya tertawa malu-malu. Tak biasanya sikap Arsya yang percaya diri dalam hal apa pun sekarang malah bicara dengan nada tak yakin seperti itu. Arsya meminta dirinya disentuh dan dibelai. Pria itu memang malu-malu mengutarakannya tapi maksudnya sangat jelas. Mungkin bukan ingin menunjukkan seberapa besar kedahsyatan tenaganya tapi keinginan untuk disadari dan diakui kepemilikannya. Indah mengulum senyum seraya meletakkan tangannya ke pinggang Arsya yang masih telanjang. Tangannya berdiam beberapa lama di sana. “Aku mau ke kamar mandi, Bang,” bisik Indah. Sadar hari semakin larut malam dan ia sudah sangat luar biasa lelah selama beberapa hari belakangan, yang bisa ia lakukan untuk menenangkan Arsya adalah mengajaknya ke kamar mandi. Biasanya Alif yang susah tidur akan kembali ia seka sekujur tubuhnya dengan air hangat dan mengganti semua pakaiannya. Saat Alif sudah kembali kering dan bersih, biasanya Alif akan tertidur tak lama k
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”