“Aku hamil dan memang kepengin makan di sini. Aku yang mau ke sini dan nggak ada hubungannya sama Indah. Semakin kamu nggak mau lihat Indah, aku akan semakin maksa. Kalau kamu nggak ada rasa lagi, harusnya kamu bisa bersikap biasa aja. Jangan kampungan, Ca.” Tangan Mayang mencengkeram lengan Panca kuat-kuat. Panca terlihat berusaha keras untuk tidak meringis. Sementara di sisi lain Arsya santai saja. Tidak ada perubahan berarti di wajahnya. Setelah bertanya, “Nggak ada yang ketinggalan?” Arsya meneruskan langkahnya karena Indah menggeleng. “Pak Arsya tempatnya silakan ikut saya,” ajak seoran pria berjas hitam yang name tag-nya berwarna keemasan bertuliskan Manager Operasional. “Indah mau duduk di sebelah sana atau mau tempat yang lain?” Arsya kembali bertanya pada Indah agar mereka sedikit melambat dan ia melihat ke mana perginya Panca. Ia tidak mau makan malam itu kacau karena Indah sibuk berbagi perhatian antara piring dan wajah mantan suaminya. Indah melihat ke mana tangan manag
“Panca! Panca!” Mayang berdiri memandang punggung Panca yang menjauh. Ia menyambar tasnya dan pergi meninggalkan meja.Seorang pelayan yang tadi menunggui mereka kembali mengangkat buku menu dan membereskan meja kembali seperti semula. Pertengkaran sepasang manusia dan berakhir dengan gagalnya makan malam bukan hal pertama yang terjadi di restoran itu.“Ca!” Mayang setengah berlari mengejar Panca yang sudah tiba di teras restoran. “Kamu kenapa, sih? Over acting banget pakai acara ngambek keluar restoran. Apa nggak bisa biasa aja dan nunggu kita sampai di rumah? Cuma karena ketemu Indah lantas mood kamu berubah jadi jelek?”Panca melewati teras restoran dan mengabaikan Mayang. Langkahnya tergesa menuju parkiran dan wajah menekuk. “Coba kamu ingat-ingat siapa yang memulai pertengkaran. Kamu atau aku? Kayaknya sejak awal sampai di restoran aku nggak ada ngomong apa-apa. Kamu yang nyentil-nyentil soal reaksiku yang berubah.”“Tapi kamu memang berubah,” potong Mayang. Mereka sudah tiba di m
Riri mundur selangkah karena Arsya masuk ke mobil. “Sa, aku perlu ngomong sama kamu. Ini penting banget. Sumpah, Arsya … kamu harus dengar aku.” Riri mengetuk kaca mobil dan Arsya membukanya. “Ri, kita bakal ngobrol penting. Aku juga bakal ngomong sesuatu ke kamu. Tapi nggak sekarang. Sore ini aku janji nganterin istriku ke rumah sakit. Besok pagi papanya operasi.” Arsya bicara dengan Riri tapi matanya sibuk melihat ke arah Indah yang hampir mencapai pagar gedung.“Istriku …? Sekarang enteng banget kamu nyebut dia itu istri kamu. Aku nggak nyangka permintaanku buat nyari orang yang nabrak Fanny malah berakhir dengan kamu menikahi perempuan itu. Aneh bener kamu.” Riri berdecih. Geram karena mengingat janji Arsya di awal pembicaraan mereka.“Sekarang kamu mau mempermasalahkan yang mana? Bukannya semua permintaan kamu sudah aku turuti? Kamu lihat sendiri, kan, apa yang terjadi sekarang. Minggu ini aku sibuk. Aku hubungi kamu kalau jadwalku sudah longgar. Aku pergi sekarang.” Arsya kemb
Indah merasa dirinya hampir mati rasa. Air mata yang ia kira akan keluar tanpa henti saat papanya meninggal nyatanya tidak seperti dugaannya itu. Indah tidak menangis. Ia menatap wajah pria penjaganya itu dengan sorot muram.“Papa …. Sampaikan ke Mama kalau Indah baik-baik aja. Indah pasti kuat karena Indah punya Alif. Kami berdua pasti mampu melewati semua ujian ini.” Indah sempat membisikkan kata-kata terakhir saat melihat papanya di turunkan ke dalam tanah. “Maaf karena Indah nggak bisa bawa Alif.”“Kalau Indah capek … Jangan lupa pesan Papa. Hidup itu cukup sehari demi sehari. Enggak perlu dipikirkan setahun sekaligus. Hari ini aja dulu. Besok lain lagi. Setiap pagi Tuhan selalu memberi hari baru. Kesempatan baru datang setiap pagi.”Pesan-pesan yang sering diucapkan papanya, menggema berulang di kepala Indah. Sampai-sampai suara kesibukan orang-orang yang sedang membereskan pemakaman tak terdengar di telinganya. Indah memandang kesibukan di depannya dengan sorot mata penuh kekoso
Bagi Indah … Arsya itu ada benarnya kalau disebut sebagai kakak laki-laki. Dalam sebentuk keluarga kecil yang diberikan pria itu padanya dan Alif, Arsya hadir sebagai pencari nafkah, pelindung dan pembuat keputusan. Sudah lama sekali ia merasa dirinya adalah garda paling depan untuk dirinya sendiri. Bahkan sejak Alif belum terlahir ke dunia. Sejak masuk ke keluarga Subianto, Indah bisa merasa lebih tenang untuk banyak hal. Gaji yang diterimanya sebagai asisten sekretaris hampir tidak tersentuh karena semua kebutuhannya sudah tersedia. Kamar Arsya yang dijadikan kamar pengantin mereka beberapa waktu lalu sudah berisi segala macam perlengkapan dengan merek yang sama dengan yang ia pakai. Disertai beberapa tambahan produk yang seakan membujuknya untuk mencoba merek perawatan baru. Sedangkan untuk kebutuhan Alif, Arsya menggantikan Indah mendengar semua hasil pemeriksaan dokter. Indah merasa sangat terbantu karena Arsya bisa menyederhanakan semua hal untuk ia dan Alif. karena merasa ada
Indah lupa memejamkan mata karena apa. Yang jelas saat itu Arsya melepaskan pelukan dan menangkup wajahnya. Pandangan mereka bersirobok lalu ia merasa telapak tangan Arsya terlalu lebar untuk wajahnya yang mungil. Sehingga telapak tangan itu dengan cepat menyebarkan kehangatan di kedua pipinya. Kehangatan itu bagai sebuah sihir yang menenangkan hati. Membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdetak terlalu cepat. Ternyata tubuh Arsya yang disangkanya asing lebih mudah menjalin pertemanan dengannya. Indah mendongak cukup lama. Sadar karena Arsya sedang ingin memuaskan diri memandang tiap sudut wajahnya. Sampai ketika ia merasakan bibirnya dilumat dengan lembut oleh bibir hangat dan manis yang dengan sabar mengajarinya cara menikmati ciuman itu. Indah terbuai. Membalas ciuman Arsya satu persatu sambil membayangkan sosok PresDir yang pertama kali dilihatnya di hari pertama bekerja. Sikap tubuh Arsya sangat tenang, ekspresinya santai dan terlihat amat cerdas. Sangat pas dengan gambaran
Hitungan menit saja rasanya Indah sudah belajar banyak dari Arsya. Pelan-pelan dan tidak terburu-buru, Indah meniru cara Arsya menikmati bagaimana tangannya membelai garis lurus kancing di dada pria itu. Sambil terus membuka pengaitnya, Indah lalu mendongak dan tak sampai lewat dua detik Arsya kembali melumat bibirnya. Ciuman itu sangat memabukkan tapi mampu membuat jemarinya bergerak semakin cepat. Kini tangannya sudah selesai membuka kancing terakhir kemeja Arsya dan sepasang telapak tangannya kemudian mendarat di dada Arsya yang memiliki rambut-rambut halus. Ia membelainya dengan pelan dan lembut. Merasakan kehangatan kulit Arsya dengan telapak tangannya. Sampai ia mengerang karena kenikmatan kecil menghantamnya. Jemari Arsya baru saja membuat gerakan intim di puncak dadanya. Yang membuat ia menggeliat gelisah. Ia lalu melepaskan ciuman dan membuka mata. Mengerling bagian atas tubuhnya yang sudah telanjang dan menekan dada Arsya. Arsya mengulas senyuman. Lalu kemudian mengecup l
Perasaan Indah saat itu yang paling jelas adalah lengket dan lembab. Selebihnya adalah rasa kantuk dan kepuasan dahsyat yang sepertinya baru kali itu ia rasakan.Indah pasti sudah tertidur kalau Arsya tidak mengajaknya berbicara. Tangannya meringkuk lemah di depan dada pria itu sambil sesekali mengusap rambut halusnya. Matanya semakin meredup karena usapan Arsya di punggung telanjangnya terasa amat melenakan.“Jadi Indah memang lahir dan besar di sini?” Arsya menyeret telapak tangannya dari bagian atas tengkuk terus turun sampai ke pangkal bokong Indah. Lalu satu jari telunjuknya berputar-putar di tengah, tepat di pangkal bokong Indah itu.Indah mengangguk. “Benar-benar asli penduduk sini. Papa orang lama yang bawa Mama untuk tinggal di sini. Makanya kemarin yang ikut ke pemakaman Papa cukup ramai. Semua bilang nggak nyangka karena Papa sakit nggak lama.” Indah memejamkan matanya sebentar karena tangan Arsya kembali membelai punggungnya. Beberapa keping rasa penasarannya siap bagian t