Riri mundur selangkah karena Arsya masuk ke mobil. “Sa, aku perlu ngomong sama kamu. Ini penting banget. Sumpah, Arsya … kamu harus dengar aku.” Riri mengetuk kaca mobil dan Arsya membukanya. “Ri, kita bakal ngobrol penting. Aku juga bakal ngomong sesuatu ke kamu. Tapi nggak sekarang. Sore ini aku janji nganterin istriku ke rumah sakit. Besok pagi papanya operasi.” Arsya bicara dengan Riri tapi matanya sibuk melihat ke arah Indah yang hampir mencapai pagar gedung.“Istriku …? Sekarang enteng banget kamu nyebut dia itu istri kamu. Aku nggak nyangka permintaanku buat nyari orang yang nabrak Fanny malah berakhir dengan kamu menikahi perempuan itu. Aneh bener kamu.” Riri berdecih. Geram karena mengingat janji Arsya di awal pembicaraan mereka.“Sekarang kamu mau mempermasalahkan yang mana? Bukannya semua permintaan kamu sudah aku turuti? Kamu lihat sendiri, kan, apa yang terjadi sekarang. Minggu ini aku sibuk. Aku hubungi kamu kalau jadwalku sudah longgar. Aku pergi sekarang.” Arsya kemb
Indah merasa dirinya hampir mati rasa. Air mata yang ia kira akan keluar tanpa henti saat papanya meninggal nyatanya tidak seperti dugaannya itu. Indah tidak menangis. Ia menatap wajah pria penjaganya itu dengan sorot muram.“Papa …. Sampaikan ke Mama kalau Indah baik-baik aja. Indah pasti kuat karena Indah punya Alif. Kami berdua pasti mampu melewati semua ujian ini.” Indah sempat membisikkan kata-kata terakhir saat melihat papanya di turunkan ke dalam tanah. “Maaf karena Indah nggak bisa bawa Alif.”“Kalau Indah capek … Jangan lupa pesan Papa. Hidup itu cukup sehari demi sehari. Enggak perlu dipikirkan setahun sekaligus. Hari ini aja dulu. Besok lain lagi. Setiap pagi Tuhan selalu memberi hari baru. Kesempatan baru datang setiap pagi.”Pesan-pesan yang sering diucapkan papanya, menggema berulang di kepala Indah. Sampai-sampai suara kesibukan orang-orang yang sedang membereskan pemakaman tak terdengar di telinganya. Indah memandang kesibukan di depannya dengan sorot mata penuh kekoso
Bagi Indah … Arsya itu ada benarnya kalau disebut sebagai kakak laki-laki. Dalam sebentuk keluarga kecil yang diberikan pria itu padanya dan Alif, Arsya hadir sebagai pencari nafkah, pelindung dan pembuat keputusan. Sudah lama sekali ia merasa dirinya adalah garda paling depan untuk dirinya sendiri. Bahkan sejak Alif belum terlahir ke dunia. Sejak masuk ke keluarga Subianto, Indah bisa merasa lebih tenang untuk banyak hal. Gaji yang diterimanya sebagai asisten sekretaris hampir tidak tersentuh karena semua kebutuhannya sudah tersedia. Kamar Arsya yang dijadikan kamar pengantin mereka beberapa waktu lalu sudah berisi segala macam perlengkapan dengan merek yang sama dengan yang ia pakai. Disertai beberapa tambahan produk yang seakan membujuknya untuk mencoba merek perawatan baru. Sedangkan untuk kebutuhan Alif, Arsya menggantikan Indah mendengar semua hasil pemeriksaan dokter. Indah merasa sangat terbantu karena Arsya bisa menyederhanakan semua hal untuk ia dan Alif. karena merasa ada
Indah lupa memejamkan mata karena apa. Yang jelas saat itu Arsya melepaskan pelukan dan menangkup wajahnya. Pandangan mereka bersirobok lalu ia merasa telapak tangan Arsya terlalu lebar untuk wajahnya yang mungil. Sehingga telapak tangan itu dengan cepat menyebarkan kehangatan di kedua pipinya. Kehangatan itu bagai sebuah sihir yang menenangkan hati. Membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdetak terlalu cepat. Ternyata tubuh Arsya yang disangkanya asing lebih mudah menjalin pertemanan dengannya. Indah mendongak cukup lama. Sadar karena Arsya sedang ingin memuaskan diri memandang tiap sudut wajahnya. Sampai ketika ia merasakan bibirnya dilumat dengan lembut oleh bibir hangat dan manis yang dengan sabar mengajarinya cara menikmati ciuman itu. Indah terbuai. Membalas ciuman Arsya satu persatu sambil membayangkan sosok PresDir yang pertama kali dilihatnya di hari pertama bekerja. Sikap tubuh Arsya sangat tenang, ekspresinya santai dan terlihat amat cerdas. Sangat pas dengan gambaran
Hitungan menit saja rasanya Indah sudah belajar banyak dari Arsya. Pelan-pelan dan tidak terburu-buru, Indah meniru cara Arsya menikmati bagaimana tangannya membelai garis lurus kancing di dada pria itu. Sambil terus membuka pengaitnya, Indah lalu mendongak dan tak sampai lewat dua detik Arsya kembali melumat bibirnya. Ciuman itu sangat memabukkan tapi mampu membuat jemarinya bergerak semakin cepat. Kini tangannya sudah selesai membuka kancing terakhir kemeja Arsya dan sepasang telapak tangannya kemudian mendarat di dada Arsya yang memiliki rambut-rambut halus. Ia membelainya dengan pelan dan lembut. Merasakan kehangatan kulit Arsya dengan telapak tangannya. Sampai ia mengerang karena kenikmatan kecil menghantamnya. Jemari Arsya baru saja membuat gerakan intim di puncak dadanya. Yang membuat ia menggeliat gelisah. Ia lalu melepaskan ciuman dan membuka mata. Mengerling bagian atas tubuhnya yang sudah telanjang dan menekan dada Arsya. Arsya mengulas senyuman. Lalu kemudian mengecup l
Perasaan Indah saat itu yang paling jelas adalah lengket dan lembab. Selebihnya adalah rasa kantuk dan kepuasan dahsyat yang sepertinya baru kali itu ia rasakan.Indah pasti sudah tertidur kalau Arsya tidak mengajaknya berbicara. Tangannya meringkuk lemah di depan dada pria itu sambil sesekali mengusap rambut halusnya. Matanya semakin meredup karena usapan Arsya di punggung telanjangnya terasa amat melenakan.“Jadi Indah memang lahir dan besar di sini?” Arsya menyeret telapak tangannya dari bagian atas tengkuk terus turun sampai ke pangkal bokong Indah. Lalu satu jari telunjuknya berputar-putar di tengah, tepat di pangkal bokong Indah itu.Indah mengangguk. “Benar-benar asli penduduk sini. Papa orang lama yang bawa Mama untuk tinggal di sini. Makanya kemarin yang ikut ke pemakaman Papa cukup ramai. Semua bilang nggak nyangka karena Papa sakit nggak lama.” Indah memejamkan matanya sebentar karena tangan Arsya kembali membelai punggungnya. Beberapa keping rasa penasarannya siap bagian t
“Ini mau apa?” Indah ikut tertawa lemah karena melihat Arsya tertawa malu-malu. Tak biasanya sikap Arsya yang percaya diri dalam hal apa pun sekarang malah bicara dengan nada tak yakin seperti itu. Arsya meminta dirinya disentuh dan dibelai. Pria itu memang malu-malu mengutarakannya tapi maksudnya sangat jelas. Mungkin bukan ingin menunjukkan seberapa besar kedahsyatan tenaganya tapi keinginan untuk disadari dan diakui kepemilikannya. Indah mengulum senyum seraya meletakkan tangannya ke pinggang Arsya yang masih telanjang. Tangannya berdiam beberapa lama di sana. “Aku mau ke kamar mandi, Bang,” bisik Indah. Sadar hari semakin larut malam dan ia sudah sangat luar biasa lelah selama beberapa hari belakangan, yang bisa ia lakukan untuk menenangkan Arsya adalah mengajaknya ke kamar mandi. Biasanya Alif yang susah tidur akan kembali ia seka sekujur tubuhnya dengan air hangat dan mengganti semua pakaiannya. Saat Alif sudah kembali kering dan bersih, biasanya Alif akan tertidur tak lama k
Kalau bukan karena Indah yang sedang berdiri di antara ia dan saudara papanya, Arsya pasti akan meledak dalam tawa saat mendengar hal yang ingin dibicarakan adalah soal harta peninggalan saudara mereka yang kuburannya masih basah.Menurutnya sebelum membicarakan soal harta, harusnya para paman dan bibi itu membicarakan soal moral dan malu pada keponakan mereka.“Apa suami Indah bisa meninggalkan kita berempat aja? Saat ini Om juga nggak ditemani anak-istri. Biar adil kita tidak usah memasukkan orang luar ke dalam pembicaraan keluarga kita.” Halim bicara sambil melemparkan tatapan tidak enak ke arah Arsya.Indah yang masih berdiri bersama Arsya cepat-cepat menggeleng. Ia memeluk lengan Arsya dan membawanya ke sebuah kursi tunggal yang biasa ditempati Pak Hadi. “Enggak bisa, Om. Papa udah nggak ada dan Bang Asa adalah orang yang mewakili semua urusan Indah. Lagipula nanti Om pasti mengerti alasan Bang Asa untuk tetap di sini.” Setelah memastikan Arsya menempati kursinya, Indah pergi ke