Perasaan Indah saat itu yang paling jelas adalah lengket dan lembab. Selebihnya adalah rasa kantuk dan kepuasan dahsyat yang sepertinya baru kali itu ia rasakan.Indah pasti sudah tertidur kalau Arsya tidak mengajaknya berbicara. Tangannya meringkuk lemah di depan dada pria itu sambil sesekali mengusap rambut halusnya. Matanya semakin meredup karena usapan Arsya di punggung telanjangnya terasa amat melenakan.“Jadi Indah memang lahir dan besar di sini?” Arsya menyeret telapak tangannya dari bagian atas tengkuk terus turun sampai ke pangkal bokong Indah. Lalu satu jari telunjuknya berputar-putar di tengah, tepat di pangkal bokong Indah itu.Indah mengangguk. “Benar-benar asli penduduk sini. Papa orang lama yang bawa Mama untuk tinggal di sini. Makanya kemarin yang ikut ke pemakaman Papa cukup ramai. Semua bilang nggak nyangka karena Papa sakit nggak lama.” Indah memejamkan matanya sebentar karena tangan Arsya kembali membelai punggungnya. Beberapa keping rasa penasarannya siap bagian t
“Ini mau apa?” Indah ikut tertawa lemah karena melihat Arsya tertawa malu-malu. Tak biasanya sikap Arsya yang percaya diri dalam hal apa pun sekarang malah bicara dengan nada tak yakin seperti itu. Arsya meminta dirinya disentuh dan dibelai. Pria itu memang malu-malu mengutarakannya tapi maksudnya sangat jelas. Mungkin bukan ingin menunjukkan seberapa besar kedahsyatan tenaganya tapi keinginan untuk disadari dan diakui kepemilikannya. Indah mengulum senyum seraya meletakkan tangannya ke pinggang Arsya yang masih telanjang. Tangannya berdiam beberapa lama di sana. “Aku mau ke kamar mandi, Bang,” bisik Indah. Sadar hari semakin larut malam dan ia sudah sangat luar biasa lelah selama beberapa hari belakangan, yang bisa ia lakukan untuk menenangkan Arsya adalah mengajaknya ke kamar mandi. Biasanya Alif yang susah tidur akan kembali ia seka sekujur tubuhnya dengan air hangat dan mengganti semua pakaiannya. Saat Alif sudah kembali kering dan bersih, biasanya Alif akan tertidur tak lama k
Kalau bukan karena Indah yang sedang berdiri di antara ia dan saudara papanya, Arsya pasti akan meledak dalam tawa saat mendengar hal yang ingin dibicarakan adalah soal harta peninggalan saudara mereka yang kuburannya masih basah.Menurutnya sebelum membicarakan soal harta, harusnya para paman dan bibi itu membicarakan soal moral dan malu pada keponakan mereka.“Apa suami Indah bisa meninggalkan kita berempat aja? Saat ini Om juga nggak ditemani anak-istri. Biar adil kita tidak usah memasukkan orang luar ke dalam pembicaraan keluarga kita.” Halim bicara sambil melemparkan tatapan tidak enak ke arah Arsya.Indah yang masih berdiri bersama Arsya cepat-cepat menggeleng. Ia memeluk lengan Arsya dan membawanya ke sebuah kursi tunggal yang biasa ditempati Pak Hadi. “Enggak bisa, Om. Papa udah nggak ada dan Bang Asa adalah orang yang mewakili semua urusan Indah. Lagipula nanti Om pasti mengerti alasan Bang Asa untuk tetap di sini.” Setelah memastikan Arsya menempati kursinya, Indah pergi ke
Melihat tawa riang Laras usai melahirkan, juga sambutan hangat keluarga terhadap bayi sehat yang baru dilahirkan Laras membuat Indah ikut bahagia sekaligus berkecil hati. Keadaan ia dan Laras amat sangat jauh berbeda kala itu. Adit suami Laras selalu siap sedia di dekatnya. Laras menyusui bayinya dengan perasaan suka cita tanpa air mata yang jatuh berkali-kali tiap memangku bayinya. Bagaimana mungkin ia bisa melahirkan bayi sehat seperti itu? Alif saja sudah lebih dari cukup untuknya. “Cucu Ibu cantik banget, kan?” Bu Della memuji bayi Laras berkali-kali. “Kalau Papi Mami Adit nggak bisa langsung ke sini, nggak apa-apa. Nanti di Jakarta pasti ketemu. Lewat tiga hari Laras pasti pulang ke Jakarta. Sekarang kita menginap di hotel dekat rumah sakit aja. Ibu juga mau ketemu si cantik ini setiap hari.” Bu Della tak melepaskan bayi Laras barang sekejab pun. Indah ikut tersenyum memandang wajah putri Laras yang memang rupawan. Kecil mungil dan wajahnya manis. Meski begitu ia tidak berani
“Kayaknya aku nggak sanggup kalau begini terus, Ca. Aku perlu santai selonjoran di rumah. Badanku lemas dan aku sama sekali nggak bisa makan nasi. Aku takut bayi kita bakal kekurangan gizi.” Mayang menangis tersedu-sedu dengan pakaian kantornya di pagi hari.“Ya, udah. Kamu resign aja. Tapi kalau kamu resign, kamu harus siap untuk kita hidup pas-pasan sesuai pendapatan aku. Jangan menuntut macam-macam. Kalau kamu resign berat kemungkinan buat kita ngikutin standar hidup yang udah dari dulu kamu tetapkan. Kita berangkat sekarang,” ajak Panca di depan pintu.Mayang yang wajahnya sangat pucat menutup mulut dengan sapu tangan dan melangkah mengikuti Panca untuk masuk ke mobilnya. “Bulan depan aku resign. Aku janji bakal jadi ibu rumah tangga yang baik untuk kamu. Aku bakal masak setiap hari dan mengurus rumah dengan sebaik-baiknya.” Mayang mencondongkan tubuhnya ke arah Panca dan mengecup pipinya.“Kita jenguk Mama dulu, ya. Sore ini Mama dapat penangguhan penahanan karena bisa membayar s
Sebegitu tiba di Jakarta kemarin, Indah langsung menyambangi rumah sakit untuk menjenguk Alif yang sudah beberapa hari tidak ia temui. Selama beberapa waktu lamanya Indah berkurung dalam tirai dan mencoba menyusui Alif. Awalnya bayi itu menolak dengan merengek, namun rupa-rupanya penolakan Alif itu wujud protesnya karena ditinggal selama beberapa hari. Alif menyembunyikan wajah dalam pelukan Indah dan berdiam beberapa lama sebelum mau memandang ibunya lagi. “Alif cinta Mama …. Maaf kalau Mama kemarin nggak ngajak Alif. Mama lagi bingung dan sedih karena ditinggal Opa. Maaf karena nggak sempat ngajakin Alif lihat Opa untuk terakhir kali. Alif harus konsentrasi buat operasi yang udah di depan mata. Dokter bilang … Alif udah mencukupi syarat buat operasi. Mama bahagia. Salah satu dari doa-doa Mama bakal terjawab minggu depan.” Indah merasa tubuh Alif yang sejak tadi kaku menyembunyikan wajah di bawah lengannya, perlahan mengendur dan bayi itu memandangnya dengan raut polos dan lucu. I
Menit-menit pertama di mobil menuju mall, Indah segan mengajak Arsya bicara lebih dulu. Meski Yeni dan Galih duduk di depan, wajah tertekuk Arsya tetap menimbulkanperasaan was-was. Pria itu terlihat sangat dingin di permukaan dan suasana hatinya sedang tidak baik. Ditambah, Galih sangat lihai mengawasi setiap spion. Kursi mobil bagian tengah yang memiliki jarak cukup jauh satu sama lain membuat Indah hanya bisa menatap tangan Arsya yang terbaru jas abu-abu dan terletak elegan di atas paha pria itu. Indah cemberut sedetik karena melihat Arsya benar-benar sangat gagah dan tampan dengan jas mewah yang merupakan kesehariannya. Arsya duduk tegak menyilangkan kaki. “Ehem,” Indah berdeham dan melirik Arsya. Berharap kalau pria itu juga akan meliriknya. Rupanya Arsya tengah sibuk berjibaku dengan pikirannya sendiri. Pelan-pelan sambil melihat spion tengah, Indah menggeser tangannya. Teringat ekspresi sebal Arsya saat ajudan baru memanggilnya dengan sebutan ‘Neng’ Indah memutuskan bahwa ia
Saking jarangnya berada di rumah Arsya, Indah hanya mengenal seorang staf perempuan yang mengurus segala macam tentang pria itu. Selain itu Indah tidak mengenal siapa-siapa. Namun herannya setiap orang yang ia temui di rumah Arsya mengenalinya sebagai nyonya rumah. Dua orang pria yang entah muncul dari mana tiba-tiba saja sudah berjalan masuk ke rumah dengan kedua tangan penuh belanjaan. “Belanjaannya diletakkan di mana, Bu?” Salah seorang pria bertanya pada Indah. “Bisa diletakkan di kamar Bapak. Nanti kalau ada yang perlu dipindahkan lagi saya akan panggil bapak-bapak,” ujar Indah. Merasa nyonya rumah ternyata bukan orang yang sulit, keduanya tersenyum dengan mata berbinar-binar. “Kalau ada apa-apa bisa panggil kita berdua, Bu. Saya Deden dan dia Ipul,” ujar Deden menunjuk temannya. “Iya, terima kasih, ya.” Indah tersenyum ramah. Sedikit banyak ia bahagia karena Arsya pasti mewanti-wanti soal siapa dia di rumah itu. Keramahan lainnya didapat Indah dari Titin. Staf utama yang m