“Kak Langit, kakak kok tega sih ngasih tugas sebanyak ini? Gak punya perasaan banget,” ucap Cherry sambil mengerucutkan bibirnya,
Sosok bertubuh mungil dengan rambut panjang menjuntai itu adalah Cherry Alexandra, adik dari Langit Danendra Adyaksa, dosen muda di Unversitas tempat adiknya berkuliah sekaligus penulis terkenal. Lelaki berlesung pipi dengan tinggi 180 cm dan kulit bersih serta bibir merah muda itu hanya diam menerima kemarahan sang adik. Cherry yang berdiri di ambang pintu tengah memaki Langit, menurutnya Langit sangat keterlaluan dalam memberikan tugas. Sementara Langit yang menerima makian itu tak beraksi apa-apa, ia lebih senang menatap monitor daripada meladeni Cherry yang menilai dirinya sebagai dosen tak berperasaan.
“Kak.., kakak denger aku gak, sih?” Cherry masuk dan menghampiri sang kakak dengan wajah kesalnya.
“Hmmmmm…,” jawab Langit tanpa mengalihkan pandangannya.
“Cherry gak mau ngerjain tugas dari kakak!” ujar Cherry tanpa basa-basi sambil cemberut. Ia lebih suka menonton film daripada membaca novel, alhasil saat sang kakak memberikan tugas menganalisis novel, Cherry merasa menjadi satu-satunya manusia yang harus berontak disaat teman-teman sekelas yang merasakan hal yang sama dengan dirinya hanya bisa diam dan menerima.
“Cherry, sudah ya kakak sibuk. Sebaiknya kamu keluar, dan kerjakan tugas yang kakak kasih.”
“Kak…,” Cherry memelas, ia berharap sang kakak mau sedikit saja memberinya keringanan.
“Tidak ada tawar-menawar Cherry. Karena kamu berkuliah di jurusan Sastra Indonesia, ya kamu harus belajar untuk suka baca karya sastra, sebentar lagi kamu akan menyusun tugas akhir bukan? Sudah saatnya kamu menekan ego, jangan hanya mau melakukan apa yang kamu suka.”
Cherry melengos, niatnya berbicara supaya mendapat keringanan berakhir dengan Langit yang berceramah panjang lebar. “Tapi kak─”
“Lagian itu tugas kelompok, kamu bisa mengerjakan tugas itu bersama-sama.” Langit tak memberikan kesempatan pada Cherry untuk melanjutkan ucapannya.
“Temen-temen Cherry udah berpasangan semua kak, masa iya Cherry sendiri, Cherry gak mau sendiri.”
“Kalau untuk masalah begini saja kamu gak bisa selesaikan, gimana dengan masalah lain yang lebih kompleks?”
“Gak ada manusia yang mau punya masalah, Kak.”
“Sudah-sudah, kamu keluar dari kamar kakak.”
“Kak…”
“Cher…”
Dengusan kasar terdengar dari bibir Cherry, kakinya melangkah meninggalkan kamar Langit, tak ada hasil yang ia dapatkan dari pembicaraan mereka selain ceramah dari sang kakak.
“Gue kira punya kakak dosen enak, bisa minta keringanan tugas dan lain-lain. Pantes aja kakak tingkat bilang kak Langit dosen nyebelin, emang nyebelin, sih, tuh orang.” Cherry berbicara sendiri sembari melangkahkan kaki meninggalkan kamar Langit.
Pria 28 tahun itu masih bisa mendengar ocehan adiknya, Langit tersenyum tipis, sudah hal biasa baginya mendengar segala bentuk kritik dan saran dari para mahasiswa. Selama ini Langit tak pernah ambil pusing, ia menyikapi semuanya dengan santai.
***
Suara dering ponsel memenuhi kamar yang berukuran tak terlalu besar dengan cat dan hiasan serba pink, sang empunya tengah tertidur di balik selimut, jam dinding telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
“Duhhhh siapa sihhh, ganggu orang tidur aja,” gerutu pemilik ponsel sambil meraba-raba, mencari keberadaan benda pipih yang sedari tadi berbunyi.
“Green Elira Natusha, lo udah tidur?” tanya suara di balik telepon.
Green ingin sekali memaki lawan bicaranya, ia melihat nama yang tertulis di layer. “Cherry Blossom.” Pantas saja, hanya wanita itu yang berani meneleponnya di jam-jam rawan begini.
Dengan suara serak, Green menjawab pertanyaan Cherry. “Lo gak punya jam, Cher?”
“Hehe sori, jam di kamar gue mati Green.” Cherry menjawab pertanyaannya sambil terkekeh pelan.
“Buruan, lima menit, gue ngantuk banget.”
“Bentar, gue lupa mau ngomong apa.”
“Udah ya gue tutup, sumpah lo gak penting banget, nelepon dini hari tapi gak tahu mau ngomong apa!”
Dari nada bicaranya, siapa pun akan tahu jika Green kesal, dan siapa pun juga akan kesal jika memiliki teman seperti Cherry.
“Green, bentar! Gue udah inget sekarang.”
“Hmmm, apaan?” tanya Green dengan nada malas.
“Lo mau gak nikah sama Pak Langit?”
“Cherry!! Beneran gue tutup nih ya.”
Green dapat mendengar suara Cherry yang tertawa terbahak-bahak, dengan mata setengah tertutup Green menunggu dengan sabar sampai Cherry mengatakan tujuan menelepon dirinya selarut ini.
“Green, lo udah ada partner buat tugas analisis novel?”
Green tak langsung menjawab, ia mengingat-ingat terlebih dahulu tugas mana yang dibicarakan Cherry. Ingatannya tertuju pada tugas dari dosen muda yang selalu menjadi pusat perhatian wanita di kampusnya. “Ohhh itu, belum,” jawab Green santai.
“Sama gue aja ya, mau gak?”
“Oke.”
“Yeayyy, makasih Green, gue tenang sekarang. Yaudah lo lanjut tidur gih, bye.” Cherry berteriak girang kemudian mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Setelah panggilan berakhir, Green menyempatkan diri untuk mengecek notifikasi W******pnya, sedari tadi ia tengah menunggu notifikasi dari seseorang, namun sampai pukul 1.15 orang tersebut tak kunjung membalas pesan.
Kantuk yang tadi ia rasakan mendadak hilang entah kemana. Green beranjak dari kasur dan meneguk segelas air mineral, pikiran dan hatinya mengarah pada satu nama Altair Ardiya Arkana—kekasihnya. Sejak tadi pagi Alta tak menjawab panggilan dan membalas pesan yang ia kirimkan, sudah hampir satu minggu Alta lebih sering menghilang dan tak memberinya kabar. Padahal kabar adalah yang terpenting dalam hubungan, apalagi Green dan Alta menjalani hubungan jarak jauh. Lelaki itu tengah menempuh pendidikan di kota yang berbeda dengan Green.
Green mensugesti pikirannya untuk selalu positif dan percaya pada Alta, lelaki yang telah membersamai langkahnya di saat-saat tersulit hingga sekarang. “Besok pasti Alta bakal kabarin gue. Ya, pasti,” gumam Green meyakinkan dirinya.
Green mengikat rambut panjangnya asal, kulit putih bersih, bibir tipis dan bulu mata lentik serta tinggi semampai dan berat badan proporsional cukup menggambarkan bahwa Green Elira Natusha adalah wanita cantik yang tengah menunggu kabar dari sang pujaan hati. Matanya tak lepas dari ponsel yang berada di meja, berharap Alta segera menghubunginya.
Diliriknya jam dinding yang telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, Green mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Pikiran dan hatinya tak sejalan, hatinya ingin menghubungi Alta, namun takut mengganggu, sementara pikirannya meminta ia untuk melakukan itu. Untuk pertama kali dalam hidup, Green abai pada hatinya, rasa khawatir membuatnya memilih untuk menghubungi Alta, takut sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya.
Green mengambil ponsel dan menelepon Alta, sampai percobaan kelima panggilan tersebut tak kunjung mendapat jawaban, hanya tulisan berdering yang memenuhi layar ponselnya. Hatinya berkecamuk, tak biasanya Alta melakukan itu. Biasanya lelaki tersebut selalu menyempatkan waktu menghubungi dirinya, Green tak menyerah, ia terus mencoba. Namun nihil, Alta tak jua bisa dihubungi. Green menangis, tak bisa lagi menahan air matanya. Janji-janji manis yang pernah Alta ucapkan untuk menikahi dirinya tahun depan menari-nari di kepala, sifat hangat lelaki itu satu bulan lalu masih jelas terekam dalam ingatan.
“Al, kamu gak akan ingkar janji, kan? Tahun depan kamu bakal nikahin aku seperti janji kamu itu, kan?”
Sejak pukul 02.00 dini hari tadi Green tak lagi memejamkan mata hingga pagi menjelang. Suara ayam berkokok menandakan malam telah berganti. Green memutuskan bangkit dari tempat tidur untuk membersihkan diri dan bersiap melaksanakan ibadah salat subuh. Pagi ini ia akan mencoba menghubungi Alta kembali, setelahnya akan bekerja seperti biasa kemudian mengerjakan tugas kuliah bersama Cherry.“Gue yakin, Alta setia sama gue, dia gak akan macem-macem.” gumamnya pada diri sendiri.Selepas membereskan tempat tidur, Green segera pergi ke kamar mandi. Ia mengawali hari dengan segala pikiran positif agar harinya berjalan baik. Green berada di kamar mandi selama beberapa menit, setelah itu ia melaksanakan ibadah salat subuh.Tepat setelah Green menyelesaikan ibadahnya, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dengan cepat Green menyambar ponselnya, ia yakin pesan tersebut pasti dari Alta. Helaan napas terdengar dari bibirnya setelah melihat ternyata pesan yang ia terima bukanlah pesan dari
Green berjalan sambil melamun, Alta tak kunjung menghubunginya, entah kemana perginya lelaki itu sampai tak membalas pesannya. Kesibukan apa yang tengah dilakukannya sampai membalas pesan yang hanya dua detik saja tak sempat dilakukan. Merasa lelah dengan penantian menunggu kabar, Green mengalihkan pikirannya agar tak selalu tertuju pada hal tersebut. Green diam sejenak, ingatannya kembali pada kejadian tadi, ia seperti mengenal lelaki yang beberapa menit lalu menolongnya, wajahnya tidak asing, tapi ia tak ingat pernah bertemu lelaki itu dimana. “Sekilas gue kayak pernah liat, tapi dimana ya?” tanya Green pada diri sediri.Novel yang sejak tadi berada ditangannya belum sempat ia buka, Green tersenyum membaca quotes yang terdapat dalam sampul depan novel tersebut. “Untuk kamu yang pernah terluka di masa lalu,” begitulah bunyi kutipan itu. Sejak pandangan pertama, novel tersebut telah menarik minatnya. Green menertawai dirinya sendiri, masa lalunya memang tidak indah, ia memiliki banya
Green menarik tangannya dari genggaman Langit sesegera mungkin, ia tak ingin bersentuhan dengan lelaki lain lebih dari 5 detik karena menurutnya itu bukan sesuatu yang baik. Cherry yang menyadari ketidaknyamanan Green segera mengusir Langit. “Udah sana Kak, gue sama Green mau ngerjain tugas dari lo!”Langit tersenyum simpul. “Oke, semangat,” ujarnya menatap ke arah Green.Cherry dan Green tak menanggapi ucapan semangat yang dilontarkan Langit, mengucapkannya memang mudah namun praktiknya tidak semudah itu. Sebelum Langit benar-benar pergi, Cherry memanggil sang kakak, “Kak Langit…”“Iya?” Langit menoleh menatap sang adik untuk meminta penjelasan.“Gue minjem novel lo yang Kilas Balik dong, Green sama gue mau analisis novel itu,” ujar Cherry mengutarakan maksudnya.“Ambil aja di perpus.”“Oke, makasih, Kak.”Langit mengacak-acak rambut Cherry. “Pilihan yang bagus,” tuturnya sambil tersenyum kemudian berbalik meninggalkan Cherry.“Pilihan yang bagus apaan, nyiksa yang ada.” Cherry mengg
“Ayo Green, saya antar pulang. Rumah kamu dimana?”Green masih diam, bingung harus merespon bagaimana. Apakah menerima tawaran dosen sekaligus kakak temannya atau menolak niat baik itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Green memilih opsi kedua, ia memilih untuk pulang sendiri, lagipula Green telah berjanji pada Alta untuk tak dekat dengan lelaki mana pun.“Gue pulang sendiri aja Cher, makasih Pak atas tawarannya,” tolak Green dengan nada sopan.“Udah sore Green, di luar juga mendung. Lo mau naik apa emang?” tanya Cherry, matanya mengarah pada langit yang tiba-tiba berubah gelap.Mata Green mengikuti arah pandang Cherry, memang benar apa yang dikatakan Cherry, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, namun Green tetap bersikeras untuk pulang sendiri.“Gue bisa naik ojek online, Cher.”“Udah ada yang gratis kenapa milih yang bayar sih, Green?” tanya Cherry tak paham dengan pemikiran Green.“Cher, please gue gak enak sama Pak Langit,” ujar Green dengan suara berbisik agar Langit t
Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat na
Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.
Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.