Green berjalan sambil melamun, Alta tak kunjung menghubunginya, entah kemana perginya lelaki itu sampai tak membalas pesannya. Kesibukan apa yang tengah dilakukannya sampai membalas pesan yang hanya dua detik saja tak sempat dilakukan.
Merasa lelah dengan penantian menunggu kabar, Green mengalihkan pikirannya agar tak selalu tertuju pada hal tersebut. Green diam sejenak, ingatannya kembali pada kejadian tadi, ia seperti mengenal lelaki yang beberapa menit lalu menolongnya, wajahnya tidak asing, tapi ia tak ingat pernah bertemu lelaki itu dimana. “Sekilas gue kayak pernah liat, tapi dimana ya?” tanya Green pada diri sediri.
Novel yang sejak tadi berada ditangannya belum sempat ia buka, Green tersenyum membaca quotes yang terdapat dalam sampul depan novel tersebut. “Untuk kamu yang pernah terluka di masa lalu,” begitulah bunyi kutipan itu. Sejak pandangan pertama, novel tersebut telah menarik minatnya. Green menertawai dirinya sendiri, masa lalunya memang tidak indah, ia memiliki banyak kenangan buruk, dan untuk sampai dititik ini bukan hal mudah baginya. Rasa terima kasih yang selalu ia lontarkan pada diri sendiri adalah bentuk apresiasi karena dirinya mampu bertahan sampai hari ini.
Green terus berjalan dengan senyum mengembang seolah baru mendapat suntikan energi positif, sampai akhirnya ia tiba di rumah Cherry. Rumah bercat putih bersih dengan berbagai tanaman hias dan kolam ikan mini serta air mancur itu tak lepas dari pandangan Green, ia melihat lagi alamat dan nomor rumah yang diberikan Cherry. Ini adalah kali pertamanya berkunjung ke rumah wanita itu, selama ini saat mengerjakan tugas Cherry selalu menginap di rumahnya. “Bener sih ini alamatnya, tapi kok sepi banget ya?” gumam Green pada diri sendiri.
Green memutuskan untuk menghubungi Cherry. “Cher, gue udah di depan,” ujarnya saat panggilan terhubung.
“Lo masuk aja Green, tadi gue udah bilang ke satpam yang ada di depan, pintunya juga gak dikunci, gue lagi mandi,” jawab Cherry.
Pantas saja Green seperti mendengar suara gemercik air, ternyata Cherry tengah berada di kamar mandi. “Oke, gue masuk ya.”
“Iya.”
“Pak, saya Green temennya Cherry.” Green memperkenalkan dirinya pada satpam yang tengah berjaga di rumah Cherry.
“Silakan masuk, Non. Non Cherry ada di dalam,” tutur satpam itu dengan senyum ramahnya sembari membuka pintu gerbang dengan sempurna.
Green tersenyum tipis kemudian melangkahkan kaki menuju rumah besar Cherry. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah beberapa foto keluarga dan lukisan di dinding serta berbagai furniture lainnya, Green dapat menebak seluruh furniture di rumah tersebut adalah barang-barang mahal yang sampai kapan pun tak akan mampu ia beli. Perhatiannya jatuh pada sebuah guci antik yang berada di ruang tamu, Green memperhatikan guci tersebut dengan seksama. Sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak sopan, Green memundurkan langkahnya, memutuskan untuk menunggu Cherry di teras saja sambil melihat-lihat tanaman hias yang berada di halaman rumah wanita itu, pemandangan yang sungguh sangat menyegarkan mata.
Green hanyut pada pemandangan hijau di depannya, ia tak menyadari bahwa Cherry tengah berdiri di sampingnya. “Woii serius amat, liatin apa sihhh?” tanya Cherry. Wanita itu mengenakan kaos dan celana pendek khas pakaian rumahan dengan sandal bulu berwarna kuning motif lebah. Rambut panjangnya dicepol asal disertai riasan tipis di wajah.
“Yuk masuk.” Belum sempat Green menjawab pertanyaan tadi, Cherry menariknya masuk ke dalam rumah.
“Cher, rumah lo gede banget tapi kok sepi ya?” tanya Green yang penasaran mengapa tak ada orang lain di dalam rumah sebesar itu.
“Emang rumah gue sepi Green, cuma ada ART dan beberapa satpam yang jaga di depan. Gue tinggal sama Kak Langit, nyokap sama bokap di Bandung. Emang gue belum pernah cerita ya?” tanya Cherry sambil membuka pintu kamarnya.
“Belum,” jawab Green singkat.
“Iya, jadi di sini gue cuma tinggal sama Kak Langit. Ini salah satu konsekuensi karena gue milih buat kuliah di Jakarta, jadinya ya harus jauh dari orang tua.”
Green mengangguk-anggukan kepal. “Gak apa-apa, Jakarta-Bandung kan deket.”
Cherry mengerucutkan bibirnya. “Ia tapi kan tetep aja gak serumah,”
“Sabar ya, kan cuma sementara.”
“Iya Green,” ujar Cherry sambil mempersilakan Green masuk ke kamarnya. “Masuk Green.”
Di kamar Cheery, Green disuguhkan dengan pemandangan serba kuning. Sprey kuning, boneka kuning, karpet bulu berukuran cukup besar dan tebal berwarna kuning, serta pernak-pernik lainnya yang juga berwarna kuning. Kamar itu tertata rapi dengan beberapa tanaman hidup di dalamnya, Green melihat bunga anggrek yang menghadap ke arah jendela, ia mengingat almarhumah ibunya yang juga sangat menyukai bunga anggrek.
“Lo mau bunga itu? Kalau lo mau nanti gue suruh Mang Ujang bawain, di depan masih ada,” tawar Cherry yang melihat mata Green berbinar-binar saat melihat bunga anggrek kuning miliknya.
Green tak menjawab, matanya berkaca-kaca mengingat betapa sang ibu dulu merawat bunga anggrek dengan sepenuh hati hingga tumbuh subur. “Lo kenapa?” tanya Cherry yang menangkap kesedihan dari mata Green yang semula berbinar.
“Gak apa-apa, Cher.” Green mengusap air matanya.
“Yaudah yuk mulai, biar gak kemaleman,” ucap Green sembari mengeluarkan laptop dan alat tulis yang berada di dalam tas.
Meskipun Cherry paham bahwa ada sesuatu yang tengah dirasakan Green, ia enggan bertanya lebih jauh karena menghargai privasi wanita itu. Cherry dan Green duduk di karpet bulu dengan beberapa camilan dan minuman kaleng. “Green, lo kalau mau apa-apa ambil sendiri aja ya di kulkas, anggap aja rumah sendiri, jangan sungkan. Oke?”
Green tersenyum tipis. “Oke.”
“Jadi, novel apa yang mau kita analisis?” tanya Cherry yang mulai berusaha untuk fokus pada tujuan awal mereka.
“Ini…” Green menunjukkan novel yang tadi dibelinya. Cherry yang melihat novel tersebut menatap Green dengan tatapan yang sulit diartikan. “Lo serius mau analisis novel itu?”
“Iya, emang kenapa?”
“Ishhhh, novel lain aja gimana?”
“Emang kenapa kalau novel ini? Lagian tadi lo bilang terserah gue,” jawab Green tak mau kalah, ia sudah mengeluarkan uang cukup banyak untuk membeli novel tersebut, jangan sampai novel itu jadi tidak terpakai karena ulah Cherry.
“Itu kan novel Kak Langit, gue punya lebih dari satu di rumah.”
“Hah?” Green tak paham dengan apa yang dikatakan Cherry.
Cherry menatap Green serius. “Pak Langit dan Kak Langit itu orang yang sama Green.”
“Berarti penulis novel itu dengan dosen kita juga orang yang sama.”
“Betullll.”
Pantas saja, Green seperti merasa pernah bertemu dengan laki-laki yang tadi menolongnya, setelah ia mengingat-ingat ternyata lelaki tersebut adalah dosen muda di kampusnya. Jujur ia mengakui bahwa penampilan dosennya saat berada di kampus dengan di luar kampus sungguh sangat berbeda, tadi saja ia nyaris tak mengenal sosok tersebut. Tapi tunggu dulu, jika pak Langit adalah kakak Cherry, berarti lelaki itu tinggal di rumah ini? Green memang tahu Cherry memiliki kakak yang berprofesi sebagai dosen, namun karena sebelum tugas ini ia tak terlalu dekat dengan Cherry, ia tak tahu bahwa kakak wanita itu adalah Langit, Cherry dan Langit pun tidak pernah menunjukkan status adik kakaknya saat berada di kampus.
Green menatap sampul depan novel tersebut, terdapat inisial LDA di depannya. Cherry yang menangkap kebingungan Green segera bersuara. “LDA, Langit Danendra Adyaksa.”
Green menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Lo kenapa gak bilang kalau punya novel ini lebih dari satu? Tau gitu kan gue gak usah beli.”
“Gue juga gak tau kalau pilihan lo jatuh ke novel itu.”
Green menatap novel yang ada ditangannya kemudian menatap Cherry secara bergantian. “Jadi ini gimana?”
“Ya gak gimana-gimana, punya lo gak usah dibuka kali aja bisa dijual lagi.”
“Ide bagus,” jawab Green dengan senyum sumringah.
Suara ketukan pintu menghentikan pembicaraan mereka, Cherry dapat menebak bahwa itu adalah Langit, tapi untuk apa laki-laki itu datang ke kamarnya? Biasanya jika ada perlu Langit akan menelepon dan memintanya untuk datang ke kamar lelaki itu. “Masuk Kak, pintunya gak dikunci,” ujar Cherry dari dalam kamar.
Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok Langit dengan kemeja hitam yang digulung sebatas siku dan celana jeans hitam serta sepatu vans. “Balikin chargeran laptop Kakak,” ucap Langit tanpa basa-basi.
Cherry berdiri sambil memberikan chargeran laptop yang dimaksud Langit. “Kakak kok kesini, biasanya kalau butuh apa-apa nelepon?” tanya Cherry dengan tatapan heran.
“Kakak udah nelepon berkali-kali tapi kamu gak angkat, makanya Kakak samperin.”
“Hehe maaf Kak aku gak denger, lagi ada temen soalnya. Green, kenalin ini Pak Langit versi di rumah.” Cherry memperkenalkan Langit pada Green, sementara Langit baru menyadari bahwa ada manusia lain di kamar adiknya.
Green yang merasa terpanggil menghampiri Cherry dan Langit yang berada di ambang pintu, Green tersenyum seadanya sambil mengangkat tangan. “Saya Green, Pak.”
Langit menerima uluran tangan Green dan menjabat tangan mungil itu. “Hai Green, senang bertemu kamu lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang.
Green menarik tangannya dari genggaman Langit sesegera mungkin, ia tak ingin bersentuhan dengan lelaki lain lebih dari 5 detik karena menurutnya itu bukan sesuatu yang baik. Cherry yang menyadari ketidaknyamanan Green segera mengusir Langit. “Udah sana Kak, gue sama Green mau ngerjain tugas dari lo!”Langit tersenyum simpul. “Oke, semangat,” ujarnya menatap ke arah Green.Cherry dan Green tak menanggapi ucapan semangat yang dilontarkan Langit, mengucapkannya memang mudah namun praktiknya tidak semudah itu. Sebelum Langit benar-benar pergi, Cherry memanggil sang kakak, “Kak Langit…”“Iya?” Langit menoleh menatap sang adik untuk meminta penjelasan.“Gue minjem novel lo yang Kilas Balik dong, Green sama gue mau analisis novel itu,” ujar Cherry mengutarakan maksudnya.“Ambil aja di perpus.”“Oke, makasih, Kak.”Langit mengacak-acak rambut Cherry. “Pilihan yang bagus,” tuturnya sambil tersenyum kemudian berbalik meninggalkan Cherry.“Pilihan yang bagus apaan, nyiksa yang ada.” Cherry mengg
“Ayo Green, saya antar pulang. Rumah kamu dimana?”Green masih diam, bingung harus merespon bagaimana. Apakah menerima tawaran dosen sekaligus kakak temannya atau menolak niat baik itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Green memilih opsi kedua, ia memilih untuk pulang sendiri, lagipula Green telah berjanji pada Alta untuk tak dekat dengan lelaki mana pun.“Gue pulang sendiri aja Cher, makasih Pak atas tawarannya,” tolak Green dengan nada sopan.“Udah sore Green, di luar juga mendung. Lo mau naik apa emang?” tanya Cherry, matanya mengarah pada langit yang tiba-tiba berubah gelap.Mata Green mengikuti arah pandang Cherry, memang benar apa yang dikatakan Cherry, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, namun Green tetap bersikeras untuk pulang sendiri.“Gue bisa naik ojek online, Cher.”“Udah ada yang gratis kenapa milih yang bayar sih, Green?” tanya Cherry tak paham dengan pemikiran Green.“Cher, please gue gak enak sama Pak Langit,” ujar Green dengan suara berbisik agar Langit t
Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat na
Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.
Green dan Cherry memiliki kemiripan, sama-sama suka makanan manis dan tidak suka kesepian. Lucu memang, Green tinggal sendiri dan Cherry hanya berdua saja dengan Langit yang juga sering meninggalkannya. Keduanya berteman dengan sepi, dan tentunya merasa kesepian. Kesepian yang dirasakan Green perlahan sirna karena kehadiran Alta, begitupun Cherry yang merasa harinya menjadi berwarna sejak berpacaran dengan Zein. Baik Green maupun Cherry, keduanya tak memiliki banyak teman namun mengenal banyak orang, bukan karena sombong atau apa, melainkan keduanya memiliki prinsip berkenalan dengan siapa saja namun tak semuanya bisa dijadikan teman.Dua wanita itu kini tengah berada di taman kampus sambil membaca novel untuk bahan tugas mereka, Green menatap mata Cherry yang sembab, sejak tadi pun wanita itu tak banyak bicara, tak seperti biasanya. Green awalnya tak penasaran, namun ia melihat mata Cherry seperti tengah menahan tangis.“Cher…” Green menyentuh pungg
Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.
Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n
Green menunggu kedatangan Cherry dengan sabar. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia berada di depan indekos seraya mencoba menghubungi ponsel wanita tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak lama berselang, ponsel Green berdering. Nama Langit tertera di layar, cukup lama ia membiarkan dering itu hingga mati dengan sendirinya. Hari ini, Green sudah putuskan untuk menginap. Ia perlu waktu untuk berpikir jernih lebih dulu. Karena jika langsung bertemu Langit, dirinya akan emosi dan perang dingin di antara mereka semakin menjadi. Hujan di luar sana masih belum reda. Green menatap rintik air yang kian deras membasahi bumi, sembari membiarkan pikirannya melanglangbuana. Benda pipih di tangannya kembali berdering, membuyarkan lamunan Green sore menjelang malam itu. Hatinya tak bergairah untuk menjawab panggilan tersebut. 
Tanda dua garis biru menjadi penyebab Cherry menangis tersedu-sedu. Ia mengamati benda di tangannya sekali lagi, menolak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar sebuah tanda yang menyatakan dirinya positif hamil. “Gak, ini pasti gak bener.” Cherry mengambil taxpack terakhir kemudian menggunakan benda itu. Selang beberapa menit, hasilnya keluar. Cherry berharap dapat melihat garis satu di sana. Namun nihil, tandanya tetap sama. Tangisnya pecah begitu saja. Secepat kilat, Cherry menyambar ponselnya dan menghubungi orang yang paling bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi hari ini. “Zein.., angkat dong,” gumam Cherry seraya menggigit bibir bawahnya. “K
“Hai, sori telat. Udah lama?” Green duduk di hadapann Regita dengan napas terengah.Regita tak langsung menjawab, ia menyodorkan jus jeruk miliknya kepada Green yang langsung diminum oleh wanita itu. Green masih mengenakan baju guru, keringat di keningnya tercetak jelas.“Gak apa-apa. Lo dari sekolah langsung ke sini?” tanya Regita basa-basi.Green mengangguk. “Jus lo?” Gelas berisi jus itu hanya tersisa setengah, ia menatap Regita tidak enak.“Santai, bisa pesen lagi.” Regita tersenyum, ia memanggil pelayan kafe yang kebetulan lewat. Keduanya memesan dua minuman dan makanan ringan yang berbeda.“Thanks udah mau dateng,” ucap Green saat pelayan kafe tersebut sudah pergi.“Sama-sama. Jadi, lo mau tanya apa?” tanya Regita.Green menghela napas berat. Ia bingung harus memulai darimana. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya saat ini.