Aku membuka folder galeri. Ada foto-foto saat mereka bersama. Foto-foto yang diambil di saat mereka ada di kafe, tepi pantai, tempat-tempat pribadi. Sebagian tidak kukenal. Sebagian mungkin orang lain.Mungkin istri laki-laki lain.Seperti Shely dan Melani.OOOSepotong ingatan melayang-layang kembali. Berlanjut pada ingatan berikutnya. Sepertinya, aku mulai memahami—kenapa aku tidak bisa mencium gelagat aneh Argo selama ini.Dulu, aku terlalu memercayainya. Menyerahkan seluruh cintaku padanya. Ia menghipnotisku—dalam sebuah diksi bernama cinta. Ia berkata—selalu mencintai dan mendukungku. Namun, pada saat yang sama ia melakukan dosa-dosa yang tidak bisa kumaafkan.Mataku terasa berat, dan rasa-rasanya aku tidak mau menangis lagi. Aku merasa seperti terlahir dalam sosok yang baru. Aku bisa memindai episode kehidupan yang sedang kujalani ini.Di bawah, terdengar suara-suara Bang Napi dan tim. Lalu, terdengar pintu terbuka dan tertutup. Sepertinya, Argo sudah pulang. Aku melihat jam din
(Langit Biru)Dia akan mencintaiku.Dia akan jatuh cinta padaku.Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua yang suka menangis keras-keras memekakkan isi telinga penduduk desa. Gadis kecil yang suka sekali menepuk kedua pipinya dengan bedak putih yang tebal, khas sekali anak-anak di desa.Aku sering menggendongnya, ketika ia baru berumur dua atau tiga tahun. Saat berumur lima tahun, dia sudah agak rewel dan suka sekali mengoceh. Omongannya selalu banyak dan sangat lucu. Setiap kali aku merasa kesal, marah, dan setumpuk energi buruk yang kudapatkan dari rumah—tepatnya dari Papa. Aku mendatanginya. Dia yang bisa membuatku tertawa.Kadang, aku menggodanya. Dia begitu lucu, dengan pipi chubby dan tubuh montok. Tubuh gemuk yang biasa dimiliki balita seusianya.Kakaknya—Senopati selalu mengajakku bermain. Menjauhkanku dari belitan tuntutan Papa. Mungkin, Papa merasa aku bisa menjadi cerdas dan tangguh dengan hardikannya. Namun, entah kenapa ia suka sekali membuatku kesal dan marah. Nyaris saja
Oh tidak. Aku merasa sedikit berdebar dan rasa takut untuk dicurigai atau ditolak membuatku memasang wajah seperti biasa. Wajah dingin dan datar.Tak diduga, dia malah mengambil bebekku, tanpa sadar. Dia menghabiskannya seraya menelpon ibunya. Sepertinya, mereka akan mengunjungi pertunangan atau pernikahan saudaranya. Aku tidak tahu.Lalu, dengan hati-hati aku menegurnya.Dia kaget. Dia melihatku. Aku merasa jantungku ditikam. Aku mengingatnya, kenapa dia tidak ingat padaku?Apa dia sudah melupakanku? Kami terlibat basa-basi kecil. Lalu keheningan membuatku harus menyibukkan diri. Aku tidak ingin cepat-cepat pergi dari sana. Jadi, aku berlama-lama di sana. Duduk di samping mejanya. Tampaknya ia gelisah. Namun, aku masih ingin bersamanya.Hingga kemudian aku pamit.Mama menelponku, dia ingin menjodohkanku dengan gadis kecilku.Aku terkesiap. Aku tentu saja senang.Namun, pertemuan kedua kami tidak begitu sukses. Dia masih melupakanku. Dia malah bersikap tak sopan padaku. Aku begitu ma
Aku menatap punggungnya dengan sedih. Dialah hidupku, yang kini sudah berpaling jauh dariku. Aku sudah menjadi lelaki kesepian sejak dia pergi dari rumah ini. Aku hanya termangu. Menatapi daun jendela yang menghitam perlahan disimbahi hujan sore dan pagi hari.Biasanya dia selalu bersemangat untuk merawat rumah ini. Pada tiap inchi-nya, jadi aku pun demikian. Rumah ini adalah istana kami. Dahulu.Sungguh pahit ketika mengatakan, 'Dahulu'.Seolah, aku adalah lelaki bajingan yang hanya disimbahi dan dipeluk kenangan begitu saja. Tanpa menyisakan apapun di dunia nyata ini.Aku tahu, dia akan pergi. Ketika daun pintu itu dibukanya, dan ternyata ia begitu kecewa padaku.Apakah aku salah?Baiklah, aku mungkin salah berkencan dengan perempuan lain. Namun, lelaki adalah tempatnya kesalahan. Berapa banyak laki-laki yang jatuh dalam kekhilafan, aku salah satunya. Aku memang begitu.Lelaki juga akan selalu menjadi bocah. Lelaki tidak akan pernah dewasa. Apabila dia salah, mungkin akan diulanginy
Argo Wijaya Lelaki yang pantas dicintainya. Dia adalah istriku. Seharusnya, dia tidak pergi dan menemui Biru. Pecundang keparat yang aneh itu.Saat dahulu, aku masih bersama Melani. Aku seringkali menertawakan kebodohan Biru. Aku heran bisa bersahabat dengan lelaki yang katanya pintar dan kaya, tapi begitu bodoh dan seringkali dibohongi istrinya.Kenapa mereka ini?Sungguh aneh.Aku menghukum Biru, yang mencoba membangkitkan kenangannya bersama istriku, Anjani. Aku memamerkan padanya gawaiku, agar ia tahu aku pun memiliki istri sama dengan dirinya. Namun, ia malah ingin mencoba mendekati Anjani dengan alasan klise, teman kecil.Baiklah. Lalu, semua terjadi.Itu adalah risiko yang diambilnya, ketika hendak mengusik rumah tanggaku bersama Anjani. Lagi pula, Melani bosan dengan kesibukannya yang menggunung. Sudah kubilang kan?Dia tidak akan pernah tahu bagaimana memperlakukan perempuan.Dia akan tetap menjadi laki-laki aneh. Sama seperti sekarang ini. Selamanya.OOOPagi yang tua.Suda
MelaniKota ini bukanlah tujuanku, sebenarnya. Saat aku menikah dengannya dahulu, aku tahu ia membenci kata-kata royal (bangsawan), kerajaan, atau sejenisnya. Seolah, ia adalah aktivis pergerakan yang membenci kaum setengah dewa ini.Aku mengunjungi kota ini, karena aku ingin membuktikan kalau aku bisa ke sini lebih dahulu. Mungkin aku bisa bernyanyi dengan narasi patah hati, seraya berbelanja di area pertokoan Harrods. Mungkin, kalau beruntung aku bisa bertemu dengan Zayn Malik bahkan Gigi Hadid. Bisa jadi, aku bertemu dengan Kate Middleton.Tapi, nyatanya uangku tak sebanyak saat aku masih bersamanya. Aku harus bekerja, uang dari Papa mana cukup memenuhi kantong sosialita? Kadang, terbersit rasa menyesal, kenapa aku dahulu harus jatuh ke pelukan Argo.Kenapa? Apa karena rayuannya begitu maut?Bisa jadi. Dia begitu lihai merayuku, tidak seperti Biru yang terasa kaku dan tampak sulit membuka diri. Aku harus sering menggigiti sepi. Berteman dengan beberapa teman di kota asing, rasanya
Melani Langit tampak mendung dan gelap ketika sore menjelang. Aku berjalan di sisi bahu Belvedere Road. Udara semakin dingin menusuk. Aku memakai sweater dan jaket wol serta kaos rajut di dalamnya. Tetap saja, udara terasa sangat dingin. Padahal, ini musim gugur. Kabut tipis terbang melintang menghalangi pandangan.Aku terus saja berjalan dengan sepatu boot tebal, yang memang didesain khusus untuk menghadapi musim seperti ini. Kurapatkan mantel dengan perasaan gigil tak menentu, aku memang sedang menyiksa diri. Aku membenci nasib dan takdir yang sedang kujalani.Kenapa aku dahulu harus berselingkuh dengan orang seperti Argo? Dia memang sungguh ganteng, pesonanya mirip-mirip aktor Hugh Grant, ia memang senakal aktor Hollywood itu. Kemudian, aku terperangkap dan terjerat rayuannya.Saat itu aku begitu bosan. Sangat bosan, dan Biru tampak sekali sibuk.Ia memang suami yang baik. Tapi, aku butuh dimanja. Ketika itu, hanya Argo yang bisa memanjakanku. Ia merayuku, dan aku melambung seting
Anjani RahmaKeesokan paginya, aku terbangun. Terbangun dengan wajah jelek dan rambut awut-awutan. Tapi, aku tidak ingin Biru tahu wajahku jelek begini gara-gara semalam kami begadang hingga dini hari. Duh, rasanya. Rasanya bagaimana ya?Ehem. Ya, rasanya seperti pengantin baru, karena kami ini memang pengantin baru, begitu lho. Jadi, selagi aku masih belum mendengar azan, dan di luar sana suara-suara pujian bersahutan aku ke meja rias, merapikan diriku. Menepuk sedikit bedak, dan sedikit lipstick. Kenapa aku jadi ingin berdandan di saat menjelang Subuh begini?Jangan katakan kalau aku sudah jatuh cinta setengah mati pada Biru. Tapi, bagaimana aku tidak cinta padanya? Pesonanya sampai ke tulang sum-sumku. Maksudku, hatiku rasanya tersedot untuk selalu memikirkannya.Aku tersenyum-senyum riang. Menatap wajahku di cermin. Lalu, kudengar Biru mengigau, mungkin ia mau bangun atau ia terjaga sebentar. Aku menoleh, dan segera bergabung ke atas ranjang yang besar, empuk, dan serba putih. Bet