Anjani RahmaTernyata, pagi itu aku tidak jadi menempel Biru ke JMTV, dia memberiku surat cuti, izin mengurus pernikahan dan tetek bengeknya. Aku hanya tertawa kecil, dan hatiku merasa riang ketika ia memberikan informasi tentang EO pesta.Aku menelpon Lupita agar menemaniku ke istana kue, dia berkata akan segera menyusulku ke sana. Tapi, aku sudah sampai lebih dahulu. EO yang kami sewa mengatakan ini adalah istana kue terbaik di Surabaya. Betul saja, karena ini desain tokonya mirip istana betulan, dan kue-kue yang terpajang di dalam kaca itu lebih nampak seperti barisan berlian.Aku tersenyum. Sebenarnya, aku agak malas ke toko kue. Aku takut khilaf. Ya, siapa yang tidak tergoda dengan aneka rupa kue-kue manis yang cantik dan menggiurkan?Melongok ke etalase toko, membuat liurku menetes. Aku merasa sangat-sangat lapar, padahal aku bertekad untuk diet. Setidaknya, agar baju pengantin yang kupakai kelak tampak indah melambai-lambai.Sebenarnya, aku tidak keberatan kalau Biru tidak meng
Anjani Rahma Kebiasaan buruk kaum pekerja urban, selain jadi dendeng kalau berangkat ke kantor, adalah acara menggosip di kafetaria kantor yang sudah mirip dengan arisan ibu-ibu PKK di sebuah perumahan. Ini seperti semacam kebiasaan menular yang nggak bisa dilunturkan walaupun mendatangkan training motivator dari Jepang.Di sebelah barat, tengah, atau utara kafetaria yang cukup lebar itu—akan banyak penghuninya bergerumbul menggosip dan menggibahi atasan masing-masing. Begitulah, sesama dendeng haruslah saling bertenggang rasa agar tetap bisa bertahan di tengah kerasnya persaingan di tempat kerja.Begitu halnya dengan divisiku—Aneh Tapi Langka—yang nyentrik dengan banyak orang-orang unik itu. Jadi, seharian setelah aku berputar-putar dengan Lupita untuk mencari desain kue pengantin paling ideal yang bisa ditampilkan kelak di Plaza Athena, aku menyambangi kantor.Aku hanya ingin ketemu teman-temanku. Ingin sekali, tapi rasanya aku tidak mungkin mengenakan baju ala selebgram seperti se
Lupita Aku tahu ada yang salah dengan Jani.Baiklah, tidak ada yang salah. Dia menikah dengan CEO JMTV setelah tragedy pernikahannya yang mengenaskan. Tapi, aku bersyukur Jani bisa melewati semuanya. Setidaknya, dia sekarang istri seorang CEO.Duh, kenapa kisahnya kenapa mirip sekali dengan tokoh dalam novel-novel platform?Aku sampai merasa deg-degan ketika Jani mengatakan kalau dia akan menikah di Plaza Athena! Bayangkan saja, seorang Anjani dari desa yang jauh di ujung sana menikah di plaza bergengsi di kota ini!Shely saja sampai terhuyung keluar dari istana kue kemarin siang. Aku pastikan kalau dia pingsan pun, aku tidak akan kaget. Mana mungkin dia mengira Jani bisa menikah dengan CEO JMTV? Salah satu crazy rich misterius di sini.Duh, jadi puas banget aku melihat Shely dengan wajah merah dan mata penuh dengki menatap Jani dari atas hingga ujung sepatu branded-nya yang pasti nggak bakal terbeli oleh Shely sekarang ini.Haha. Aku merasa jahat, ketika tertawa sepanjang hari kema
MelissaAku berjanji menemui Melani di London, konon dia akan nongol di Heathrow bersama gebetannya—kali ini siapa sih, katanya anak orang kaya. Seperti biasanya. Heran saja, dengan tingkahnya yang aneh-aneh. Dia ini waras tidak?Sudah bercerai dengan Biru—setelah mencurinya dariku, dasar kembaran nggak tahu diri banget! Sekarang, malah berharap sekali bisa dekat dengan Biru lagi, tapi terhalang oleh si gendut jelek itu—Anjani.Tapi, gadis itu punya nyali juga. Aku sampai bingung dan merasa terintimidasi saat ia berdebat dengan Papa Mada. Bayangkan, ini Papa Mada yang terkenal killer dan pinter, bisa nggak berkutik di hadapan orang nggak penting seperti si Anjani. Bisa banget ya dia begitu percaya diri, padahal jelas-jelas kalau dia itu hanya gadis kampungan yang kebetulan bisa kawin dengan Biru.Nggak ada istimewanya sama sekali.Penampilan biasa, wajah juga nggak banget, body-nya apalagi sungguh gendut. Ya, memang sih, kalau kupikir Biru mungkin terobsesi dengan perempuan di era tah
Melissa "Apa hamil?" kataku sengit, maksudku seharusnya aku tidak bereaksi seperti ini. Tidak bagus, ini akan membuat Samu berpikir aku cemburu iya kan? Aku harus dalam mode aman sepanjang masa. Aku tidak mungkin menggantikan Samu secepat itu. Terlalu banyak yang kukorbankan. Untuk mendapatkan Samu.Dia laki-laki yang cenderung monoton, sedikit membosankan, walaupun memiliki hati seperti peri. Tapi, dia tidak laki banget seperti Biru. Ya, Tuhan aku bisa gila kalau memikirkan Biru dan si gendut itu!"Kenapa Mel?" ia bertanya lembut, ada sepercik rasa khawatir di binar matanya.Aku menjadi salah tingkah. Aku menggeleng, membulatkan mata. Mengusir rasa khawatirnya dengan wajah lembut. Aku belajar mengatur ekspresi saat dulu pernah bermain teater, jadi aku tidak mungkin meledak-ledak seperti Melani. Aku lebih pintar dari dia, tidak semua orang bisa membaca karakter asliku. Karena aku sudah lama belajar. Sudah sangat lama berlatih diri mengontrol emosi.Namun, tingkah Biru dan Anjani di
Anjani RahmaAku mengerjapkan mata, silau. Rasa-ranya nyeri menyebar di bagian punggungku. Aku mengernyit kembali, merasakan nyeri yang ternyata cukup mengganggu. Memang sih, sofa di penthouse ini sangat nyaman, sangat empuk, dan classy, tapi tetap saja ini sofa. Bukan tempat untuk tidur. Aku kembali menghela napas, berapa lama sih aku tertidur tadi?Setelah seharian berputar-putar di sekeliling Surabaya, bersama Lupita si centil—tadi aku masuk rumah dan memang, aku langsung tertidur karena lemas. Aku mengharapkan ketika bangun Biru ada di depan hidungku, dan aku bisa bermanja dengannya.Duh, dasar kamu Jani.Aku terkekeh lama, belum tahu ya bagaimana sibuknya Biru sekarang? Ya, memang sih kalau malam—itu malam banget tapi, Biru selalu ada di sisiku. Aku bisa bersembunyi padanya sembari bermanja-manja. Tapi, kalau masih sore menjelang Maghrib begini, dia belum pulang.Dia sibuk sekali. Ya, aku tahu sih. Biru tidak hanya mengurusi JMTV ada bisnis-bisnis dan meeting berjejal seharian.
Anjani Rahma Tiba-tiba tangan kukuh Biru, menyambarku. Oh my, aku beruntung sekali sekarang. Miriplah dengan adegan Red Butler yang sedang menyambar pinggang Scarlet O'Hara di dalam film jadul tapi keren, tapi juga klasik itu.Gone with The Wind.Yess! Bisikku dalam hati."Hai, hati-hati Sayang." Ia berkomentar khawatir, dan kulihat ia meletakkan begitu saja ponselnya di sebelah mejanya. Ponsel itu rupanya masih menyala. Ada wajah Samu dan kulihat di belakangnya ada si nenek sihir—Melissa, dengan alisnya yang berbentuk petir.Hus, jangan ghibah Jani."Tadi, aku ke belakang, minum jus jeruk lagi, Mas." Ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin menguping pembicaraannya dengan Samu."Oh iya?" ia berdehem, seperti tidak memercayaiku. Aku merasa menjadi anak kecil yang ketahuan sedang mengutil permen di dalam kulkas."Iya.""Baik." Katanya sembari tergelak.Aku hanya manyun kalau sudah melihatnya begini rasa-rasanya aku mulai ngambek kalau dia sudah tertawa karena tingkahku yang aneh dan
Argo Wijaya Kita semua punya rahasia kecil dan tersembunyi. Sama seperti aku. Aku yang sekarang menjalani hidup seperti zombie. Mati hidup sepertinya sama saja, hanya kenangan-kenangan yang berjejal rapi memanjang ketika aku terbangun oleh alarm yang melengking dari nakas di sisi tempat tidurku.Aku berjalan terhuyung menuju meja kopi, menyiapkan sarapan sendiri, lalu menonton televisi. Sama persis seperti saat Anjani meninggalkan rumah kami ini. Dia pergi, dan sepertinya sampai sekarang tidak ingin kembali lagi.Beberapa kali, teman-teman kantorku bertanya."Benar nggak sih, Anjani mantanmu itu dapat crazy rich sini, Go.""Mana aku tahu, Bro." Aku menyesap kopi dan bersikap masa bodoh, lawan bicaraku mengernyit."Beritanya diomongin mulu sama majalah gosip lokal. Majalah online.""Paling majalah abal-abal.""Iya, kali ya.""Yo temen. Iku majalah abal-abal, Bro." Dia manggut-manggut, tapi matanya memancarkan rasa tak percaya padaku. Sementara di dalam kafe lalu lalang orang bergan
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d