Anjani Rahma Kebiasaan buruk kaum pekerja urban, selain jadi dendeng kalau berangkat ke kantor, adalah acara menggosip di kafetaria kantor yang sudah mirip dengan arisan ibu-ibu PKK di sebuah perumahan. Ini seperti semacam kebiasaan menular yang nggak bisa dilunturkan walaupun mendatangkan training motivator dari Jepang.Di sebelah barat, tengah, atau utara kafetaria yang cukup lebar itu—akan banyak penghuninya bergerumbul menggosip dan menggibahi atasan masing-masing. Begitulah, sesama dendeng haruslah saling bertenggang rasa agar tetap bisa bertahan di tengah kerasnya persaingan di tempat kerja.Begitu halnya dengan divisiku—Aneh Tapi Langka—yang nyentrik dengan banyak orang-orang unik itu. Jadi, seharian setelah aku berputar-putar dengan Lupita untuk mencari desain kue pengantin paling ideal yang bisa ditampilkan kelak di Plaza Athena, aku menyambangi kantor.Aku hanya ingin ketemu teman-temanku. Ingin sekali, tapi rasanya aku tidak mungkin mengenakan baju ala selebgram seperti se
Lupita Aku tahu ada yang salah dengan Jani.Baiklah, tidak ada yang salah. Dia menikah dengan CEO JMTV setelah tragedy pernikahannya yang mengenaskan. Tapi, aku bersyukur Jani bisa melewati semuanya. Setidaknya, dia sekarang istri seorang CEO.Duh, kenapa kisahnya kenapa mirip sekali dengan tokoh dalam novel-novel platform?Aku sampai merasa deg-degan ketika Jani mengatakan kalau dia akan menikah di Plaza Athena! Bayangkan saja, seorang Anjani dari desa yang jauh di ujung sana menikah di plaza bergengsi di kota ini!Shely saja sampai terhuyung keluar dari istana kue kemarin siang. Aku pastikan kalau dia pingsan pun, aku tidak akan kaget. Mana mungkin dia mengira Jani bisa menikah dengan CEO JMTV? Salah satu crazy rich misterius di sini.Duh, jadi puas banget aku melihat Shely dengan wajah merah dan mata penuh dengki menatap Jani dari atas hingga ujung sepatu branded-nya yang pasti nggak bakal terbeli oleh Shely sekarang ini.Haha. Aku merasa jahat, ketika tertawa sepanjang hari kema
MelissaAku berjanji menemui Melani di London, konon dia akan nongol di Heathrow bersama gebetannya—kali ini siapa sih, katanya anak orang kaya. Seperti biasanya. Heran saja, dengan tingkahnya yang aneh-aneh. Dia ini waras tidak?Sudah bercerai dengan Biru—setelah mencurinya dariku, dasar kembaran nggak tahu diri banget! Sekarang, malah berharap sekali bisa dekat dengan Biru lagi, tapi terhalang oleh si gendut jelek itu—Anjani.Tapi, gadis itu punya nyali juga. Aku sampai bingung dan merasa terintimidasi saat ia berdebat dengan Papa Mada. Bayangkan, ini Papa Mada yang terkenal killer dan pinter, bisa nggak berkutik di hadapan orang nggak penting seperti si Anjani. Bisa banget ya dia begitu percaya diri, padahal jelas-jelas kalau dia itu hanya gadis kampungan yang kebetulan bisa kawin dengan Biru.Nggak ada istimewanya sama sekali.Penampilan biasa, wajah juga nggak banget, body-nya apalagi sungguh gendut. Ya, memang sih, kalau kupikir Biru mungkin terobsesi dengan perempuan di era tah
Melissa "Apa hamil?" kataku sengit, maksudku seharusnya aku tidak bereaksi seperti ini. Tidak bagus, ini akan membuat Samu berpikir aku cemburu iya kan? Aku harus dalam mode aman sepanjang masa. Aku tidak mungkin menggantikan Samu secepat itu. Terlalu banyak yang kukorbankan. Untuk mendapatkan Samu.Dia laki-laki yang cenderung monoton, sedikit membosankan, walaupun memiliki hati seperti peri. Tapi, dia tidak laki banget seperti Biru. Ya, Tuhan aku bisa gila kalau memikirkan Biru dan si gendut itu!"Kenapa Mel?" ia bertanya lembut, ada sepercik rasa khawatir di binar matanya.Aku menjadi salah tingkah. Aku menggeleng, membulatkan mata. Mengusir rasa khawatirnya dengan wajah lembut. Aku belajar mengatur ekspresi saat dulu pernah bermain teater, jadi aku tidak mungkin meledak-ledak seperti Melani. Aku lebih pintar dari dia, tidak semua orang bisa membaca karakter asliku. Karena aku sudah lama belajar. Sudah sangat lama berlatih diri mengontrol emosi.Namun, tingkah Biru dan Anjani di
Anjani RahmaAku mengerjapkan mata, silau. Rasa-ranya nyeri menyebar di bagian punggungku. Aku mengernyit kembali, merasakan nyeri yang ternyata cukup mengganggu. Memang sih, sofa di penthouse ini sangat nyaman, sangat empuk, dan classy, tapi tetap saja ini sofa. Bukan tempat untuk tidur. Aku kembali menghela napas, berapa lama sih aku tertidur tadi?Setelah seharian berputar-putar di sekeliling Surabaya, bersama Lupita si centil—tadi aku masuk rumah dan memang, aku langsung tertidur karena lemas. Aku mengharapkan ketika bangun Biru ada di depan hidungku, dan aku bisa bermanja dengannya.Duh, dasar kamu Jani.Aku terkekeh lama, belum tahu ya bagaimana sibuknya Biru sekarang? Ya, memang sih kalau malam—itu malam banget tapi, Biru selalu ada di sisiku. Aku bisa bersembunyi padanya sembari bermanja-manja. Tapi, kalau masih sore menjelang Maghrib begini, dia belum pulang.Dia sibuk sekali. Ya, aku tahu sih. Biru tidak hanya mengurusi JMTV ada bisnis-bisnis dan meeting berjejal seharian.
Anjani Rahma Tiba-tiba tangan kukuh Biru, menyambarku. Oh my, aku beruntung sekali sekarang. Miriplah dengan adegan Red Butler yang sedang menyambar pinggang Scarlet O'Hara di dalam film jadul tapi keren, tapi juga klasik itu.Gone with The Wind.Yess! Bisikku dalam hati."Hai, hati-hati Sayang." Ia berkomentar khawatir, dan kulihat ia meletakkan begitu saja ponselnya di sebelah mejanya. Ponsel itu rupanya masih menyala. Ada wajah Samu dan kulihat di belakangnya ada si nenek sihir—Melissa, dengan alisnya yang berbentuk petir.Hus, jangan ghibah Jani."Tadi, aku ke belakang, minum jus jeruk lagi, Mas." Ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin menguping pembicaraannya dengan Samu."Oh iya?" ia berdehem, seperti tidak memercayaiku. Aku merasa menjadi anak kecil yang ketahuan sedang mengutil permen di dalam kulkas."Iya.""Baik." Katanya sembari tergelak.Aku hanya manyun kalau sudah melihatnya begini rasa-rasanya aku mulai ngambek kalau dia sudah tertawa karena tingkahku yang aneh dan
Argo Wijaya Kita semua punya rahasia kecil dan tersembunyi. Sama seperti aku. Aku yang sekarang menjalani hidup seperti zombie. Mati hidup sepertinya sama saja, hanya kenangan-kenangan yang berjejal rapi memanjang ketika aku terbangun oleh alarm yang melengking dari nakas di sisi tempat tidurku.Aku berjalan terhuyung menuju meja kopi, menyiapkan sarapan sendiri, lalu menonton televisi. Sama persis seperti saat Anjani meninggalkan rumah kami ini. Dia pergi, dan sepertinya sampai sekarang tidak ingin kembali lagi.Beberapa kali, teman-teman kantorku bertanya."Benar nggak sih, Anjani mantanmu itu dapat crazy rich sini, Go.""Mana aku tahu, Bro." Aku menyesap kopi dan bersikap masa bodoh, lawan bicaraku mengernyit."Beritanya diomongin mulu sama majalah gosip lokal. Majalah online.""Paling majalah abal-abal.""Iya, kali ya.""Yo temen. Iku majalah abal-abal, Bro." Dia manggut-manggut, tapi matanya memancarkan rasa tak percaya padaku. Sementara di dalam kafe lalu lalang orang bergan
Argo Wijaya Mungkin pengaruh alcohol sehingga aku masih harus berpikir berulang kali, mencoba mencari-cari jawaban terbaik. Tapi, sungguh tempat ini sangat nyaman. Dingin, luas, dengan desain klasik tapi modern dengan sentuhan Greek. Ya, aku tahu sih.Athena—dewi pelindung para pahlawan dalam mitologi Yunani Kuno. Kalau sampai developer dan pemilik gedung ini tidak memberikan sentuhan Greek, pastilah mereka itu bodoh sekali.Aku menarik napas, dan menjejakkan kakiku yang sedikit pegal di atas lantai granit kualitas tinggi. Aku berjalan dengan selimut di tubuhku, mendekati jendela kamar yang tampak begitu lebar. Sangat lebar, sehingga seolah-olah aku terbang di keheningan malam dan di antara bintang-bintang. Kota metropolis bersimbah cahaya warna warni di bawah sana. Rekreasi yang bagus kan?Sungguh beruntung aku berkencan dengan Mira—Mira siapa Miranti? Miranda? Mirabelle atau apa?Aku harus berkeliling di apartemen ini, mungki ke pantry membuat kopi agar nggak goblok-goblok banget.