Anjani RahmaBaik Jani. Jangan sampai panik. Biasa saja. Yang anggun dong. Kamu ini kan mau jadi seorang ibu jangan gugup begitu.Ya. Ya. Semuanya pasti baik-baik saja."Bu Anjani, bisa tolong dibuka sedikit baju atasannya?" kata dokter kandungan dengan nada suara berwibawa dan tenang. Aura ramah dan professional terpancar di wajahnya yang serius. Ia dokter Hendy—SPOG yang dipilih Biru untuk membantuku semasa masa kehamilan ini.Seorang perawat datang dan mengoles gel dingin sebelum proses USG (ultrasonografi) dimulai."Iya, Dok." Kataku sedikit panik.Biru hanya menahan napas sembari berdiri di samping ranjangku, tak jauh dariku. Wajahnya seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan, kenapa dia serba cemas begini sih? Kan aku jadi semakin panik. Padahal, ini hanya hamil saja kan?"Saya—agak gugup Dok. Kalau tidak hamil bagaimana?" tanyaku sekali lagi, sembari melirik Biru. Dia tampak mematung seperti robot, duh kenapa dia jadi begini sekarang? Masa dia setegang itu sih?"Ya, ngg
Anjani Rahma "Belum, kan masih sangat kecil janinnya Bu Anjani." Begitu kalimat yang dilontarkan Dokter Hendy, "Yang penting jaga Kesehatan jangan sampai terlalu lelah atau capek ya."Aku menoleh ke Biru, dia mengerling dan wajah terlihat mulai ceria. Terus terang itu membuat hatiku tenang dong."Biru ini dulu juga saat lahir, saya yang membantu persalinannya. Dokter Eva bagaimana kabarnya?"Oh, aku kembali bengong. Jadi, dokter Hendy yang dulu membantu Biru lahir ke dunia? Tiba-tiba terbayang di mataku bagaimana Biru saat bayi lahir dan menangis kencang. Tentu saja, suamiku dulu adalah bayi yang menggemaskan. Apa Biru dulu juga cool saat masih bayi.Aku tiba-tiba merasa geli, bagaimana kalau bayiku ini seperti Biru yang cool seperti kulkas ini? Aduh, bisa-bisa hanya aku yang mengoceh di apartemen langit itu."Mama baik-baik saja, Dok. Terima kasih."Pastinya, dokter Hendy sudah menangani ribuan persalinan. Pastinya sudah melihat beraneka ragam bayi. Juga banyak perempuan."Oh iya, D
Anjani Rahma Aku berjanji bertemu dengan teman-teman lamaku—maksudku geng Lupita, yang terdiri dari Nawang dan Reina. Aku baru mengerti kalau aku sangat jarang bertemu mereka beberapa waktu lamanya. Baru tersadar ketika menulis undangan untuk pesta wedding di Plaza Athena.Ya, Tuhan. Aku seperti bermimpi bisa mengadakan pesta di sana. Rasanya merinding dan sedikit ngeri, membayangkan teman-teman dan keluarga Biru. Sementara aku dan keluargaku, juga teman-temanku merupakan orang-orang sederhana saja.Aku menggeleng. Aku harus tenang. Memang aku tenang, tapi semakin hari rasa-rasanya setelah datang ke dokter Hendy, aku jadi sering mengalami morning sickness. Apa ada hubungannya? Jadi, aku semakin rewel saja, kasihan Biru.Jadi, untuk menyeimbangkan hormon dan meningkatkan na^fsu makanku—omong-omong sebenarnya aku semakin doyan makan, aku bertemu teman-teman lamaku.. Tapi, kadang keluar begitu saja setelahnya. Tentu saja menjengkelkan, namun Biru mengatakan tidak apa-apa.Kenapa dia bis
Anjani Rahma "Nggak ada, karena Biru galak sama mereka." Aku menjawab ragu, tapi memang begitu kan ya. Aku ingat sekali saat Biru bertemu dengan mantan-mantannya, si kembar Melani dan Melisa. Sungguh paduan M yang luar biasa."Biru ngundang mantannya nggak?" begitulah Nawang kalau mencecar."Mantannya jadi iparku, Wang.""Oh, gitu ya. Kayak sinetron saja.""Iya. Ceritanya malah mirip telenovela."Dia tertawa keras-keras, sangat terhibur dengan wajah bosanku ketika mengingat si kurus M kuadrat."Aw, Jani. Kok kakiku basah ya?" ia melihat ke bawah tapi sepertinya kesulitan karena perutnya begitu besar."Mama ngompol!" teriak Raja.Hah? Ngompol?"Wang, jangan malu. Aku nggak bakal cerita ke orang-orang kalau kamu ngompolan," kataku penuh arti, sembari mengedipkan mata dan memasang raut bijaksana."Jani, ini bukan ngompol," wajahnya terlihat panik, "sepertinya ... sepertinya air ketubanku pecah," dia terbelalak menatapku. Sementara aku sama terkejutnya dengan reaksi Nawang.Apa tadi, air
Anjani Rahma "Kok bisa, kamu nggak bohong kan, Jani?" tanya Argo dengan lancangnya. Lah, kenapa tidak bisa, buktinya kan bisa? Ini orang kenapa ya kok kesannya sewot begitu."Ya, bisa. Kenapa enggak? Aku kan sudah punya suami," sahutku sembari bersungut-sungut, mana aku sedang letih sekali. Seluruh persendian tubuhku ngilu, apalagi kalau ingat Nawang mencengkeram lenganku keras-keras tadi, saat mengejan. Duh, baru kali ini ada pengalaman begini. Tapi, aku jadi mengerti bagaimana orang melahirkan itu."Iya, sih Jani. Hanya saja kok cepat sekali," ia menggumam tidak jelas. Wajahnya seperti orang yang baru saja dihantam angin puyuh. Baik, aku terlalu berlebihan, tapi gimana ya ngomongnya. Kalau aku tidak mau ngobrol sama dia sekarang ini."Namanya juga rezeki, Go," kataku diplomatis. Aku mengelap dahiku dengan tisu basah yang kudapatkan dari tas yang baru kubuka begitu saja."Maksudnya apa? Dulu, saat bersama aku, kamu belum dapat rezeki begitu?" ia bertanya dengan nada sinis, wajahnya
Anjani Rahma Aku hanya terdiam dan melongo melihat tingkahnya yang ajaib, ini menjengkelkan sekali. Seketika kakiku terasa begitu gatalnya.Nawang yang masih terbaring dengan bantal tinggi, menatapku dan kemudian melihat Argo. Bergantian, seperti zoom in dan out-nya adegan sinetron. Mulutnya setengah ternganga. Sepertinya, dia keheranan."Lho kok kalian bisa di sini? Janjian?" komentarnya, khas sekali si Nawang ini, hadeh."Hus! Nggak gitu, Argo kebetulan lagi konseling depresinya—""Hai, Nawang. Iya, aku tadi terapi. Maklum pisah sama Anjani itu berat.""Kalau tahu begitu, ngapain kamu selengki, Pak Argo?" sentak Nawang tajam, setajam silet. Aku meringis geli. Ada-ada saja.Argo tak menjawab, "Selamat ya Nawang. Rudy pasti senang.""Iya, dong. Nanti Pak Biru juga bakal kayak Mas Rudy, punya anak berderet-deret begitu," sahut Nawang lagi, rupanya tenaganya masih cukup untuk mengomeli Argo.Aku memberi isyarat agar dia tidak meneruskan kalimatnya. Tapi, rasa-rasanya gagal."Kok bisa s
Langit BiruApa yang membuat langit menjadi biru? Mungkin senyum orang yang kau cintai. Kau tidak pernah selama hidupmu merasakan itu, namun saat bersamanya jiwamu bisa melayang-layang berarak di sekeliling awan.Aku hanya mengulum senyum ketika mendapati Anjani mengintip di balik pintu. Aku berbicara dengan Samu—omong-omong, setelah bulan madu di Swiss ia dan istrinya itu—aku agak malas menyebut namanya, ke London. Di Heathrow, ia mengirim pesan instan, kalau di sana ada mantan istriku.Kenapa aku enggan menyebut nama mereka sekarang, termasuk mantan suami istriku—karena aku merasa akan menjadi seorang ayah. Percaya atau tidak, kalau aku sering mengimpikan melihat bayi di rumah ini. Apa itu berlebihan? Bisa jadi.Tapi, ketika Anjani dan aku memeriksakan diri ke dokter Hendy, dokter yang menangani persalinan Mama dulu, aku seketika tahu. Oh, ini rasanya menjadi calon ayah!Aku tersenyum tipis, dan mencoba untuk tetap tenang. Agar Anjani tidak tampak stress dan tertekan. Konon, orang
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d