Argo Wijaya Mungkin pengaruh alcohol sehingga aku masih harus berpikir berulang kali, mencoba mencari-cari jawaban terbaik. Tapi, sungguh tempat ini sangat nyaman. Dingin, luas, dengan desain klasik tapi modern dengan sentuhan Greek. Ya, aku tahu sih.Athena—dewi pelindung para pahlawan dalam mitologi Yunani Kuno. Kalau sampai developer dan pemilik gedung ini tidak memberikan sentuhan Greek, pastilah mereka itu bodoh sekali.Aku menarik napas, dan menjejakkan kakiku yang sedikit pegal di atas lantai granit kualitas tinggi. Aku berjalan dengan selimut di tubuhku, mendekati jendela kamar yang tampak begitu lebar. Sangat lebar, sehingga seolah-olah aku terbang di keheningan malam dan di antara bintang-bintang. Kota metropolis bersimbah cahaya warna warni di bawah sana. Rekreasi yang bagus kan?Sungguh beruntung aku berkencan dengan Mira—Mira siapa Miranti? Miranda? Mirabelle atau apa?Aku harus berkeliling di apartemen ini, mungki ke pantry membuat kopi agar nggak goblok-goblok banget.
Anjani RahmaBaik Jani. Jangan sampai panik. Biasa saja. Yang anggun dong. Kamu ini kan mau jadi seorang ibu jangan gugup begitu.Ya. Ya. Semuanya pasti baik-baik saja."Bu Anjani, bisa tolong dibuka sedikit baju atasannya?" kata dokter kandungan dengan nada suara berwibawa dan tenang. Aura ramah dan professional terpancar di wajahnya yang serius. Ia dokter Hendy—SPOG yang dipilih Biru untuk membantuku semasa masa kehamilan ini.Seorang perawat datang dan mengoles gel dingin sebelum proses USG (ultrasonografi) dimulai."Iya, Dok." Kataku sedikit panik.Biru hanya menahan napas sembari berdiri di samping ranjangku, tak jauh dariku. Wajahnya seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan, kenapa dia serba cemas begini sih? Kan aku jadi semakin panik. Padahal, ini hanya hamil saja kan?"Saya—agak gugup Dok. Kalau tidak hamil bagaimana?" tanyaku sekali lagi, sembari melirik Biru. Dia tampak mematung seperti robot, duh kenapa dia jadi begini sekarang? Masa dia setegang itu sih?"Ya, ngg
Anjani Rahma "Belum, kan masih sangat kecil janinnya Bu Anjani." Begitu kalimat yang dilontarkan Dokter Hendy, "Yang penting jaga Kesehatan jangan sampai terlalu lelah atau capek ya."Aku menoleh ke Biru, dia mengerling dan wajah terlihat mulai ceria. Terus terang itu membuat hatiku tenang dong."Biru ini dulu juga saat lahir, saya yang membantu persalinannya. Dokter Eva bagaimana kabarnya?"Oh, aku kembali bengong. Jadi, dokter Hendy yang dulu membantu Biru lahir ke dunia? Tiba-tiba terbayang di mataku bagaimana Biru saat bayi lahir dan menangis kencang. Tentu saja, suamiku dulu adalah bayi yang menggemaskan. Apa Biru dulu juga cool saat masih bayi.Aku tiba-tiba merasa geli, bagaimana kalau bayiku ini seperti Biru yang cool seperti kulkas ini? Aduh, bisa-bisa hanya aku yang mengoceh di apartemen langit itu."Mama baik-baik saja, Dok. Terima kasih."Pastinya, dokter Hendy sudah menangani ribuan persalinan. Pastinya sudah melihat beraneka ragam bayi. Juga banyak perempuan."Oh iya, D
Anjani Rahma Aku berjanji bertemu dengan teman-teman lamaku—maksudku geng Lupita, yang terdiri dari Nawang dan Reina. Aku baru mengerti kalau aku sangat jarang bertemu mereka beberapa waktu lamanya. Baru tersadar ketika menulis undangan untuk pesta wedding di Plaza Athena.Ya, Tuhan. Aku seperti bermimpi bisa mengadakan pesta di sana. Rasanya merinding dan sedikit ngeri, membayangkan teman-teman dan keluarga Biru. Sementara aku dan keluargaku, juga teman-temanku merupakan orang-orang sederhana saja.Aku menggeleng. Aku harus tenang. Memang aku tenang, tapi semakin hari rasa-rasanya setelah datang ke dokter Hendy, aku jadi sering mengalami morning sickness. Apa ada hubungannya? Jadi, aku semakin rewel saja, kasihan Biru.Jadi, untuk menyeimbangkan hormon dan meningkatkan na^fsu makanku—omong-omong sebenarnya aku semakin doyan makan, aku bertemu teman-teman lamaku.. Tapi, kadang keluar begitu saja setelahnya. Tentu saja menjengkelkan, namun Biru mengatakan tidak apa-apa.Kenapa dia bis
Anjani Rahma "Nggak ada, karena Biru galak sama mereka." Aku menjawab ragu, tapi memang begitu kan ya. Aku ingat sekali saat Biru bertemu dengan mantan-mantannya, si kembar Melani dan Melisa. Sungguh paduan M yang luar biasa."Biru ngundang mantannya nggak?" begitulah Nawang kalau mencecar."Mantannya jadi iparku, Wang.""Oh, gitu ya. Kayak sinetron saja.""Iya. Ceritanya malah mirip telenovela."Dia tertawa keras-keras, sangat terhibur dengan wajah bosanku ketika mengingat si kurus M kuadrat."Aw, Jani. Kok kakiku basah ya?" ia melihat ke bawah tapi sepertinya kesulitan karena perutnya begitu besar."Mama ngompol!" teriak Raja.Hah? Ngompol?"Wang, jangan malu. Aku nggak bakal cerita ke orang-orang kalau kamu ngompolan," kataku penuh arti, sembari mengedipkan mata dan memasang raut bijaksana."Jani, ini bukan ngompol," wajahnya terlihat panik, "sepertinya ... sepertinya air ketubanku pecah," dia terbelalak menatapku. Sementara aku sama terkejutnya dengan reaksi Nawang.Apa tadi, air
Anjani Rahma "Kok bisa, kamu nggak bohong kan, Jani?" tanya Argo dengan lancangnya. Lah, kenapa tidak bisa, buktinya kan bisa? Ini orang kenapa ya kok kesannya sewot begitu."Ya, bisa. Kenapa enggak? Aku kan sudah punya suami," sahutku sembari bersungut-sungut, mana aku sedang letih sekali. Seluruh persendian tubuhku ngilu, apalagi kalau ingat Nawang mencengkeram lenganku keras-keras tadi, saat mengejan. Duh, baru kali ini ada pengalaman begini. Tapi, aku jadi mengerti bagaimana orang melahirkan itu."Iya, sih Jani. Hanya saja kok cepat sekali," ia menggumam tidak jelas. Wajahnya seperti orang yang baru saja dihantam angin puyuh. Baik, aku terlalu berlebihan, tapi gimana ya ngomongnya. Kalau aku tidak mau ngobrol sama dia sekarang ini."Namanya juga rezeki, Go," kataku diplomatis. Aku mengelap dahiku dengan tisu basah yang kudapatkan dari tas yang baru kubuka begitu saja."Maksudnya apa? Dulu, saat bersama aku, kamu belum dapat rezeki begitu?" ia bertanya dengan nada sinis, wajahnya
Anjani Rahma Aku hanya terdiam dan melongo melihat tingkahnya yang ajaib, ini menjengkelkan sekali. Seketika kakiku terasa begitu gatalnya.Nawang yang masih terbaring dengan bantal tinggi, menatapku dan kemudian melihat Argo. Bergantian, seperti zoom in dan out-nya adegan sinetron. Mulutnya setengah ternganga. Sepertinya, dia keheranan."Lho kok kalian bisa di sini? Janjian?" komentarnya, khas sekali si Nawang ini, hadeh."Hus! Nggak gitu, Argo kebetulan lagi konseling depresinya—""Hai, Nawang. Iya, aku tadi terapi. Maklum pisah sama Anjani itu berat.""Kalau tahu begitu, ngapain kamu selengki, Pak Argo?" sentak Nawang tajam, setajam silet. Aku meringis geli. Ada-ada saja.Argo tak menjawab, "Selamat ya Nawang. Rudy pasti senang.""Iya, dong. Nanti Pak Biru juga bakal kayak Mas Rudy, punya anak berderet-deret begitu," sahut Nawang lagi, rupanya tenaganya masih cukup untuk mengomeli Argo.Aku memberi isyarat agar dia tidak meneruskan kalimatnya. Tapi, rasa-rasanya gagal."Kok bisa s
Langit BiruApa yang membuat langit menjadi biru? Mungkin senyum orang yang kau cintai. Kau tidak pernah selama hidupmu merasakan itu, namun saat bersamanya jiwamu bisa melayang-layang berarak di sekeliling awan.Aku hanya mengulum senyum ketika mendapati Anjani mengintip di balik pintu. Aku berbicara dengan Samu—omong-omong, setelah bulan madu di Swiss ia dan istrinya itu—aku agak malas menyebut namanya, ke London. Di Heathrow, ia mengirim pesan instan, kalau di sana ada mantan istriku.Kenapa aku enggan menyebut nama mereka sekarang, termasuk mantan suami istriku—karena aku merasa akan menjadi seorang ayah. Percaya atau tidak, kalau aku sering mengimpikan melihat bayi di rumah ini. Apa itu berlebihan? Bisa jadi.Tapi, ketika Anjani dan aku memeriksakan diri ke dokter Hendy, dokter yang menangani persalinan Mama dulu, aku seketika tahu. Oh, ini rasanya menjadi calon ayah!Aku tersenyum tipis, dan mencoba untuk tetap tenang. Agar Anjani tidak tampak stress dan tertekan. Konon, orang
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d