Anjani Rahma "Nggak ada, karena Biru galak sama mereka." Aku menjawab ragu, tapi memang begitu kan ya. Aku ingat sekali saat Biru bertemu dengan mantan-mantannya, si kembar Melani dan Melisa. Sungguh paduan M yang luar biasa."Biru ngundang mantannya nggak?" begitulah Nawang kalau mencecar."Mantannya jadi iparku, Wang.""Oh, gitu ya. Kayak sinetron saja.""Iya. Ceritanya malah mirip telenovela."Dia tertawa keras-keras, sangat terhibur dengan wajah bosanku ketika mengingat si kurus M kuadrat."Aw, Jani. Kok kakiku basah ya?" ia melihat ke bawah tapi sepertinya kesulitan karena perutnya begitu besar."Mama ngompol!" teriak Raja.Hah? Ngompol?"Wang, jangan malu. Aku nggak bakal cerita ke orang-orang kalau kamu ngompolan," kataku penuh arti, sembari mengedipkan mata dan memasang raut bijaksana."Jani, ini bukan ngompol," wajahnya terlihat panik, "sepertinya ... sepertinya air ketubanku pecah," dia terbelalak menatapku. Sementara aku sama terkejutnya dengan reaksi Nawang.Apa tadi, air
Anjani Rahma "Kok bisa, kamu nggak bohong kan, Jani?" tanya Argo dengan lancangnya. Lah, kenapa tidak bisa, buktinya kan bisa? Ini orang kenapa ya kok kesannya sewot begitu."Ya, bisa. Kenapa enggak? Aku kan sudah punya suami," sahutku sembari bersungut-sungut, mana aku sedang letih sekali. Seluruh persendian tubuhku ngilu, apalagi kalau ingat Nawang mencengkeram lenganku keras-keras tadi, saat mengejan. Duh, baru kali ini ada pengalaman begini. Tapi, aku jadi mengerti bagaimana orang melahirkan itu."Iya, sih Jani. Hanya saja kok cepat sekali," ia menggumam tidak jelas. Wajahnya seperti orang yang baru saja dihantam angin puyuh. Baik, aku terlalu berlebihan, tapi gimana ya ngomongnya. Kalau aku tidak mau ngobrol sama dia sekarang ini."Namanya juga rezeki, Go," kataku diplomatis. Aku mengelap dahiku dengan tisu basah yang kudapatkan dari tas yang baru kubuka begitu saja."Maksudnya apa? Dulu, saat bersama aku, kamu belum dapat rezeki begitu?" ia bertanya dengan nada sinis, wajahnya
Anjani Rahma Aku hanya terdiam dan melongo melihat tingkahnya yang ajaib, ini menjengkelkan sekali. Seketika kakiku terasa begitu gatalnya.Nawang yang masih terbaring dengan bantal tinggi, menatapku dan kemudian melihat Argo. Bergantian, seperti zoom in dan out-nya adegan sinetron. Mulutnya setengah ternganga. Sepertinya, dia keheranan."Lho kok kalian bisa di sini? Janjian?" komentarnya, khas sekali si Nawang ini, hadeh."Hus! Nggak gitu, Argo kebetulan lagi konseling depresinya—""Hai, Nawang. Iya, aku tadi terapi. Maklum pisah sama Anjani itu berat.""Kalau tahu begitu, ngapain kamu selengki, Pak Argo?" sentak Nawang tajam, setajam silet. Aku meringis geli. Ada-ada saja.Argo tak menjawab, "Selamat ya Nawang. Rudy pasti senang.""Iya, dong. Nanti Pak Biru juga bakal kayak Mas Rudy, punya anak berderet-deret begitu," sahut Nawang lagi, rupanya tenaganya masih cukup untuk mengomeli Argo.Aku memberi isyarat agar dia tidak meneruskan kalimatnya. Tapi, rasa-rasanya gagal."Kok bisa s
Langit BiruApa yang membuat langit menjadi biru? Mungkin senyum orang yang kau cintai. Kau tidak pernah selama hidupmu merasakan itu, namun saat bersamanya jiwamu bisa melayang-layang berarak di sekeliling awan.Aku hanya mengulum senyum ketika mendapati Anjani mengintip di balik pintu. Aku berbicara dengan Samu—omong-omong, setelah bulan madu di Swiss ia dan istrinya itu—aku agak malas menyebut namanya, ke London. Di Heathrow, ia mengirim pesan instan, kalau di sana ada mantan istriku.Kenapa aku enggan menyebut nama mereka sekarang, termasuk mantan suami istriku—karena aku merasa akan menjadi seorang ayah. Percaya atau tidak, kalau aku sering mengimpikan melihat bayi di rumah ini. Apa itu berlebihan? Bisa jadi.Tapi, ketika Anjani dan aku memeriksakan diri ke dokter Hendy, dokter yang menangani persalinan Mama dulu, aku seketika tahu. Oh, ini rasanya menjadi calon ayah!Aku tersenyum tipis, dan mencoba untuk tetap tenang. Agar Anjani tidak tampak stress dan tertekan. Konon, orang
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""