Anjani RahmaAku mengerjapkan mata, silau. Rasa-ranya nyeri menyebar di bagian punggungku. Aku mengernyit kembali, merasakan nyeri yang ternyata cukup mengganggu. Memang sih, sofa di penthouse ini sangat nyaman, sangat empuk, dan classy, tapi tetap saja ini sofa. Bukan tempat untuk tidur. Aku kembali menghela napas, berapa lama sih aku tertidur tadi?Setelah seharian berputar-putar di sekeliling Surabaya, bersama Lupita si centil—tadi aku masuk rumah dan memang, aku langsung tertidur karena lemas. Aku mengharapkan ketika bangun Biru ada di depan hidungku, dan aku bisa bermanja dengannya.Duh, dasar kamu Jani.Aku terkekeh lama, belum tahu ya bagaimana sibuknya Biru sekarang? Ya, memang sih kalau malam—itu malam banget tapi, Biru selalu ada di sisiku. Aku bisa bersembunyi padanya sembari bermanja-manja. Tapi, kalau masih sore menjelang Maghrib begini, dia belum pulang.Dia sibuk sekali. Ya, aku tahu sih. Biru tidak hanya mengurusi JMTV ada bisnis-bisnis dan meeting berjejal seharian.
Anjani Rahma Tiba-tiba tangan kukuh Biru, menyambarku. Oh my, aku beruntung sekali sekarang. Miriplah dengan adegan Red Butler yang sedang menyambar pinggang Scarlet O'Hara di dalam film jadul tapi keren, tapi juga klasik itu.Gone with The Wind.Yess! Bisikku dalam hati."Hai, hati-hati Sayang." Ia berkomentar khawatir, dan kulihat ia meletakkan begitu saja ponselnya di sebelah mejanya. Ponsel itu rupanya masih menyala. Ada wajah Samu dan kulihat di belakangnya ada si nenek sihir—Melissa, dengan alisnya yang berbentuk petir.Hus, jangan ghibah Jani."Tadi, aku ke belakang, minum jus jeruk lagi, Mas." Ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin menguping pembicaraannya dengan Samu."Oh iya?" ia berdehem, seperti tidak memercayaiku. Aku merasa menjadi anak kecil yang ketahuan sedang mengutil permen di dalam kulkas."Iya.""Baik." Katanya sembari tergelak.Aku hanya manyun kalau sudah melihatnya begini rasa-rasanya aku mulai ngambek kalau dia sudah tertawa karena tingkahku yang aneh dan
Argo Wijaya Kita semua punya rahasia kecil dan tersembunyi. Sama seperti aku. Aku yang sekarang menjalani hidup seperti zombie. Mati hidup sepertinya sama saja, hanya kenangan-kenangan yang berjejal rapi memanjang ketika aku terbangun oleh alarm yang melengking dari nakas di sisi tempat tidurku.Aku berjalan terhuyung menuju meja kopi, menyiapkan sarapan sendiri, lalu menonton televisi. Sama persis seperti saat Anjani meninggalkan rumah kami ini. Dia pergi, dan sepertinya sampai sekarang tidak ingin kembali lagi.Beberapa kali, teman-teman kantorku bertanya."Benar nggak sih, Anjani mantanmu itu dapat crazy rich sini, Go.""Mana aku tahu, Bro." Aku menyesap kopi dan bersikap masa bodoh, lawan bicaraku mengernyit."Beritanya diomongin mulu sama majalah gosip lokal. Majalah online.""Paling majalah abal-abal.""Iya, kali ya.""Yo temen. Iku majalah abal-abal, Bro." Dia manggut-manggut, tapi matanya memancarkan rasa tak percaya padaku. Sementara di dalam kafe lalu lalang orang bergan
Argo Wijaya Mungkin pengaruh alcohol sehingga aku masih harus berpikir berulang kali, mencoba mencari-cari jawaban terbaik. Tapi, sungguh tempat ini sangat nyaman. Dingin, luas, dengan desain klasik tapi modern dengan sentuhan Greek. Ya, aku tahu sih.Athena—dewi pelindung para pahlawan dalam mitologi Yunani Kuno. Kalau sampai developer dan pemilik gedung ini tidak memberikan sentuhan Greek, pastilah mereka itu bodoh sekali.Aku menarik napas, dan menjejakkan kakiku yang sedikit pegal di atas lantai granit kualitas tinggi. Aku berjalan dengan selimut di tubuhku, mendekati jendela kamar yang tampak begitu lebar. Sangat lebar, sehingga seolah-olah aku terbang di keheningan malam dan di antara bintang-bintang. Kota metropolis bersimbah cahaya warna warni di bawah sana. Rekreasi yang bagus kan?Sungguh beruntung aku berkencan dengan Mira—Mira siapa Miranti? Miranda? Mirabelle atau apa?Aku harus berkeliling di apartemen ini, mungki ke pantry membuat kopi agar nggak goblok-goblok banget.
Anjani RahmaBaik Jani. Jangan sampai panik. Biasa saja. Yang anggun dong. Kamu ini kan mau jadi seorang ibu jangan gugup begitu.Ya. Ya. Semuanya pasti baik-baik saja."Bu Anjani, bisa tolong dibuka sedikit baju atasannya?" kata dokter kandungan dengan nada suara berwibawa dan tenang. Aura ramah dan professional terpancar di wajahnya yang serius. Ia dokter Hendy—SPOG yang dipilih Biru untuk membantuku semasa masa kehamilan ini.Seorang perawat datang dan mengoles gel dingin sebelum proses USG (ultrasonografi) dimulai."Iya, Dok." Kataku sedikit panik.Biru hanya menahan napas sembari berdiri di samping ranjangku, tak jauh dariku. Wajahnya seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan, kenapa dia serba cemas begini sih? Kan aku jadi semakin panik. Padahal, ini hanya hamil saja kan?"Saya—agak gugup Dok. Kalau tidak hamil bagaimana?" tanyaku sekali lagi, sembari melirik Biru. Dia tampak mematung seperti robot, duh kenapa dia jadi begini sekarang? Masa dia setegang itu sih?"Ya, ngg
Anjani Rahma "Belum, kan masih sangat kecil janinnya Bu Anjani." Begitu kalimat yang dilontarkan Dokter Hendy, "Yang penting jaga Kesehatan jangan sampai terlalu lelah atau capek ya."Aku menoleh ke Biru, dia mengerling dan wajah terlihat mulai ceria. Terus terang itu membuat hatiku tenang dong."Biru ini dulu juga saat lahir, saya yang membantu persalinannya. Dokter Eva bagaimana kabarnya?"Oh, aku kembali bengong. Jadi, dokter Hendy yang dulu membantu Biru lahir ke dunia? Tiba-tiba terbayang di mataku bagaimana Biru saat bayi lahir dan menangis kencang. Tentu saja, suamiku dulu adalah bayi yang menggemaskan. Apa Biru dulu juga cool saat masih bayi.Aku tiba-tiba merasa geli, bagaimana kalau bayiku ini seperti Biru yang cool seperti kulkas ini? Aduh, bisa-bisa hanya aku yang mengoceh di apartemen langit itu."Mama baik-baik saja, Dok. Terima kasih."Pastinya, dokter Hendy sudah menangani ribuan persalinan. Pastinya sudah melihat beraneka ragam bayi. Juga banyak perempuan."Oh iya, D
Anjani Rahma Aku berjanji bertemu dengan teman-teman lamaku—maksudku geng Lupita, yang terdiri dari Nawang dan Reina. Aku baru mengerti kalau aku sangat jarang bertemu mereka beberapa waktu lamanya. Baru tersadar ketika menulis undangan untuk pesta wedding di Plaza Athena.Ya, Tuhan. Aku seperti bermimpi bisa mengadakan pesta di sana. Rasanya merinding dan sedikit ngeri, membayangkan teman-teman dan keluarga Biru. Sementara aku dan keluargaku, juga teman-temanku merupakan orang-orang sederhana saja.Aku menggeleng. Aku harus tenang. Memang aku tenang, tapi semakin hari rasa-rasanya setelah datang ke dokter Hendy, aku jadi sering mengalami morning sickness. Apa ada hubungannya? Jadi, aku semakin rewel saja, kasihan Biru.Jadi, untuk menyeimbangkan hormon dan meningkatkan na^fsu makanku—omong-omong sebenarnya aku semakin doyan makan, aku bertemu teman-teman lamaku.. Tapi, kadang keluar begitu saja setelahnya. Tentu saja menjengkelkan, namun Biru mengatakan tidak apa-apa.Kenapa dia bis
Anjani Rahma "Nggak ada, karena Biru galak sama mereka." Aku menjawab ragu, tapi memang begitu kan ya. Aku ingat sekali saat Biru bertemu dengan mantan-mantannya, si kembar Melani dan Melisa. Sungguh paduan M yang luar biasa."Biru ngundang mantannya nggak?" begitulah Nawang kalau mencecar."Mantannya jadi iparku, Wang.""Oh, gitu ya. Kayak sinetron saja.""Iya. Ceritanya malah mirip telenovela."Dia tertawa keras-keras, sangat terhibur dengan wajah bosanku ketika mengingat si kurus M kuadrat."Aw, Jani. Kok kakiku basah ya?" ia melihat ke bawah tapi sepertinya kesulitan karena perutnya begitu besar."Mama ngompol!" teriak Raja.Hah? Ngompol?"Wang, jangan malu. Aku nggak bakal cerita ke orang-orang kalau kamu ngompolan," kataku penuh arti, sembari mengedipkan mata dan memasang raut bijaksana."Jani, ini bukan ngompol," wajahnya terlihat panik, "sepertinya ... sepertinya air ketubanku pecah," dia terbelalak menatapku. Sementara aku sama terkejutnya dengan reaksi Nawang.Apa tadi, air