MelaniKota ini bukanlah tujuanku, sebenarnya. Saat aku menikah dengannya dahulu, aku tahu ia membenci kata-kata royal (bangsawan), kerajaan, atau sejenisnya. Seolah, ia adalah aktivis pergerakan yang membenci kaum setengah dewa ini.Aku mengunjungi kota ini, karena aku ingin membuktikan kalau aku bisa ke sini lebih dahulu. Mungkin aku bisa bernyanyi dengan narasi patah hati, seraya berbelanja di area pertokoan Harrods. Mungkin, kalau beruntung aku bisa bertemu dengan Zayn Malik bahkan Gigi Hadid. Bisa jadi, aku bertemu dengan Kate Middleton.Tapi, nyatanya uangku tak sebanyak saat aku masih bersamanya. Aku harus bekerja, uang dari Papa mana cukup memenuhi kantong sosialita? Kadang, terbersit rasa menyesal, kenapa aku dahulu harus jatuh ke pelukan Argo.Kenapa? Apa karena rayuannya begitu maut?Bisa jadi. Dia begitu lihai merayuku, tidak seperti Biru yang terasa kaku dan tampak sulit membuka diri. Aku harus sering menggigiti sepi. Berteman dengan beberapa teman di kota asing, rasanya
Melani Langit tampak mendung dan gelap ketika sore menjelang. Aku berjalan di sisi bahu Belvedere Road. Udara semakin dingin menusuk. Aku memakai sweater dan jaket wol serta kaos rajut di dalamnya. Tetap saja, udara terasa sangat dingin. Padahal, ini musim gugur. Kabut tipis terbang melintang menghalangi pandangan.Aku terus saja berjalan dengan sepatu boot tebal, yang memang didesain khusus untuk menghadapi musim seperti ini. Kurapatkan mantel dengan perasaan gigil tak menentu, aku memang sedang menyiksa diri. Aku membenci nasib dan takdir yang sedang kujalani.Kenapa aku dahulu harus berselingkuh dengan orang seperti Argo? Dia memang sungguh ganteng, pesonanya mirip-mirip aktor Hugh Grant, ia memang senakal aktor Hollywood itu. Kemudian, aku terperangkap dan terjerat rayuannya.Saat itu aku begitu bosan. Sangat bosan, dan Biru tampak sekali sibuk.Ia memang suami yang baik. Tapi, aku butuh dimanja. Ketika itu, hanya Argo yang bisa memanjakanku. Ia merayuku, dan aku melambung seting
Anjani RahmaKeesokan paginya, aku terbangun. Terbangun dengan wajah jelek dan rambut awut-awutan. Tapi, aku tidak ingin Biru tahu wajahku jelek begini gara-gara semalam kami begadang hingga dini hari. Duh, rasanya. Rasanya bagaimana ya?Ehem. Ya, rasanya seperti pengantin baru, karena kami ini memang pengantin baru, begitu lho. Jadi, selagi aku masih belum mendengar azan, dan di luar sana suara-suara pujian bersahutan aku ke meja rias, merapikan diriku. Menepuk sedikit bedak, dan sedikit lipstick. Kenapa aku jadi ingin berdandan di saat menjelang Subuh begini?Jangan katakan kalau aku sudah jatuh cinta setengah mati pada Biru. Tapi, bagaimana aku tidak cinta padanya? Pesonanya sampai ke tulang sum-sumku. Maksudku, hatiku rasanya tersedot untuk selalu memikirkannya.Aku tersenyum-senyum riang. Menatap wajahku di cermin. Lalu, kudengar Biru mengigau, mungkin ia mau bangun atau ia terjaga sebentar. Aku menoleh, dan segera bergabung ke atas ranjang yang besar, empuk, dan serba putih. Bet
Anjani RahmaTernyata, pagi itu aku tidak jadi menempel Biru ke JMTV, dia memberiku surat cuti, izin mengurus pernikahan dan tetek bengeknya. Aku hanya tertawa kecil, dan hatiku merasa riang ketika ia memberikan informasi tentang EO pesta.Aku menelpon Lupita agar menemaniku ke istana kue, dia berkata akan segera menyusulku ke sana. Tapi, aku sudah sampai lebih dahulu. EO yang kami sewa mengatakan ini adalah istana kue terbaik di Surabaya. Betul saja, karena ini desain tokonya mirip istana betulan, dan kue-kue yang terpajang di dalam kaca itu lebih nampak seperti barisan berlian.Aku tersenyum. Sebenarnya, aku agak malas ke toko kue. Aku takut khilaf. Ya, siapa yang tidak tergoda dengan aneka rupa kue-kue manis yang cantik dan menggiurkan?Melongok ke etalase toko, membuat liurku menetes. Aku merasa sangat-sangat lapar, padahal aku bertekad untuk diet. Setidaknya, agar baju pengantin yang kupakai kelak tampak indah melambai-lambai.Sebenarnya, aku tidak keberatan kalau Biru tidak meng
Anjani Rahma Kebiasaan buruk kaum pekerja urban, selain jadi dendeng kalau berangkat ke kantor, adalah acara menggosip di kafetaria kantor yang sudah mirip dengan arisan ibu-ibu PKK di sebuah perumahan. Ini seperti semacam kebiasaan menular yang nggak bisa dilunturkan walaupun mendatangkan training motivator dari Jepang.Di sebelah barat, tengah, atau utara kafetaria yang cukup lebar itu—akan banyak penghuninya bergerumbul menggosip dan menggibahi atasan masing-masing. Begitulah, sesama dendeng haruslah saling bertenggang rasa agar tetap bisa bertahan di tengah kerasnya persaingan di tempat kerja.Begitu halnya dengan divisiku—Aneh Tapi Langka—yang nyentrik dengan banyak orang-orang unik itu. Jadi, seharian setelah aku berputar-putar dengan Lupita untuk mencari desain kue pengantin paling ideal yang bisa ditampilkan kelak di Plaza Athena, aku menyambangi kantor.Aku hanya ingin ketemu teman-temanku. Ingin sekali, tapi rasanya aku tidak mungkin mengenakan baju ala selebgram seperti se
Lupita Aku tahu ada yang salah dengan Jani.Baiklah, tidak ada yang salah. Dia menikah dengan CEO JMTV setelah tragedy pernikahannya yang mengenaskan. Tapi, aku bersyukur Jani bisa melewati semuanya. Setidaknya, dia sekarang istri seorang CEO.Duh, kenapa kisahnya kenapa mirip sekali dengan tokoh dalam novel-novel platform?Aku sampai merasa deg-degan ketika Jani mengatakan kalau dia akan menikah di Plaza Athena! Bayangkan saja, seorang Anjani dari desa yang jauh di ujung sana menikah di plaza bergengsi di kota ini!Shely saja sampai terhuyung keluar dari istana kue kemarin siang. Aku pastikan kalau dia pingsan pun, aku tidak akan kaget. Mana mungkin dia mengira Jani bisa menikah dengan CEO JMTV? Salah satu crazy rich misterius di sini.Duh, jadi puas banget aku melihat Shely dengan wajah merah dan mata penuh dengki menatap Jani dari atas hingga ujung sepatu branded-nya yang pasti nggak bakal terbeli oleh Shely sekarang ini.Haha. Aku merasa jahat, ketika tertawa sepanjang hari kema
MelissaAku berjanji menemui Melani di London, konon dia akan nongol di Heathrow bersama gebetannya—kali ini siapa sih, katanya anak orang kaya. Seperti biasanya. Heran saja, dengan tingkahnya yang aneh-aneh. Dia ini waras tidak?Sudah bercerai dengan Biru—setelah mencurinya dariku, dasar kembaran nggak tahu diri banget! Sekarang, malah berharap sekali bisa dekat dengan Biru lagi, tapi terhalang oleh si gendut jelek itu—Anjani.Tapi, gadis itu punya nyali juga. Aku sampai bingung dan merasa terintimidasi saat ia berdebat dengan Papa Mada. Bayangkan, ini Papa Mada yang terkenal killer dan pinter, bisa nggak berkutik di hadapan orang nggak penting seperti si Anjani. Bisa banget ya dia begitu percaya diri, padahal jelas-jelas kalau dia itu hanya gadis kampungan yang kebetulan bisa kawin dengan Biru.Nggak ada istimewanya sama sekali.Penampilan biasa, wajah juga nggak banget, body-nya apalagi sungguh gendut. Ya, memang sih, kalau kupikir Biru mungkin terobsesi dengan perempuan di era tah
Melissa "Apa hamil?" kataku sengit, maksudku seharusnya aku tidak bereaksi seperti ini. Tidak bagus, ini akan membuat Samu berpikir aku cemburu iya kan? Aku harus dalam mode aman sepanjang masa. Aku tidak mungkin menggantikan Samu secepat itu. Terlalu banyak yang kukorbankan. Untuk mendapatkan Samu.Dia laki-laki yang cenderung monoton, sedikit membosankan, walaupun memiliki hati seperti peri. Tapi, dia tidak laki banget seperti Biru. Ya, Tuhan aku bisa gila kalau memikirkan Biru dan si gendut itu!"Kenapa Mel?" ia bertanya lembut, ada sepercik rasa khawatir di binar matanya.Aku menjadi salah tingkah. Aku menggeleng, membulatkan mata. Mengusir rasa khawatirnya dengan wajah lembut. Aku belajar mengatur ekspresi saat dulu pernah bermain teater, jadi aku tidak mungkin meledak-ledak seperti Melani. Aku lebih pintar dari dia, tidak semua orang bisa membaca karakter asliku. Karena aku sudah lama belajar. Sudah sangat lama berlatih diri mengontrol emosi.Namun, tingkah Biru dan Anjani di