Gawai itu jatuh dari genggamanku, membentur karpet halus yang tipis. Aku seperti merasakan jika jiwaku melayang-layang. Seperti bermimpi. Apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin, aku tidak mengenali mantan suamiku dahulu? Sampai sejauh mana ia berpetualang dengan perempuan-perempuan simpanannya itu?Argo orang yang baik, lembut, terpelajar,sedikit flamboyant, terkadang mungkin terlihat posesif tapi selama menjadi seorang suami—ia tampak biasa-biasa saja. Namun, kenapa ia memiliki hobi seperti ini? Apa ia ini tidak takut murka Allah?Duh, Gusti Allah. Apa salahku?Selama aku bekerja dengan Biru, selama itu pula ia mengingatkanku agar berhati-hati dengan sikap Biru yang konon menurutnya predator.Aku tertawa kering, nyaris hingga mataku berair.Kenapa ia membalikkan semua tuduhan pada Biru? Bukankah dia ini yang justru menjadi predator perempuan?Aku mendongak. Tertawa miris. Air mata berlinang-linang di pipiku. Rasanya perih, sakit, dan kesal, telah berkali-kali dikhianati.Aku pun mulai
Aku membuka folder galeri. Ada foto-foto saat mereka bersama. Foto-foto yang diambil di saat mereka ada di kafe, tepi pantai, tempat-tempat pribadi. Sebagian tidak kukenal. Sebagian mungkin orang lain.Mungkin istri laki-laki lain.Seperti Shely dan Melani.OOOSepotong ingatan melayang-layang kembali. Berlanjut pada ingatan berikutnya. Sepertinya, aku mulai memahami—kenapa aku tidak bisa mencium gelagat aneh Argo selama ini.Dulu, aku terlalu memercayainya. Menyerahkan seluruh cintaku padanya. Ia menghipnotisku—dalam sebuah diksi bernama cinta. Ia berkata—selalu mencintai dan mendukungku. Namun, pada saat yang sama ia melakukan dosa-dosa yang tidak bisa kumaafkan.Mataku terasa berat, dan rasa-rasanya aku tidak mau menangis lagi. Aku merasa seperti terlahir dalam sosok yang baru. Aku bisa memindai episode kehidupan yang sedang kujalani ini.Di bawah, terdengar suara-suara Bang Napi dan tim. Lalu, terdengar pintu terbuka dan tertutup. Sepertinya, Argo sudah pulang. Aku melihat jam din
(Langit Biru)Dia akan mencintaiku.Dia akan jatuh cinta padaku.Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua yang suka menangis keras-keras memekakkan isi telinga penduduk desa. Gadis kecil yang suka sekali menepuk kedua pipinya dengan bedak putih yang tebal, khas sekali anak-anak di desa.Aku sering menggendongnya, ketika ia baru berumur dua atau tiga tahun. Saat berumur lima tahun, dia sudah agak rewel dan suka sekali mengoceh. Omongannya selalu banyak dan sangat lucu. Setiap kali aku merasa kesal, marah, dan setumpuk energi buruk yang kudapatkan dari rumah—tepatnya dari Papa. Aku mendatanginya. Dia yang bisa membuatku tertawa.Kadang, aku menggodanya. Dia begitu lucu, dengan pipi chubby dan tubuh montok. Tubuh gemuk yang biasa dimiliki balita seusianya.Kakaknya—Senopati selalu mengajakku bermain. Menjauhkanku dari belitan tuntutan Papa. Mungkin, Papa merasa aku bisa menjadi cerdas dan tangguh dengan hardikannya. Namun, entah kenapa ia suka sekali membuatku kesal dan marah. Nyaris saja
Oh tidak. Aku merasa sedikit berdebar dan rasa takut untuk dicurigai atau ditolak membuatku memasang wajah seperti biasa. Wajah dingin dan datar.Tak diduga, dia malah mengambil bebekku, tanpa sadar. Dia menghabiskannya seraya menelpon ibunya. Sepertinya, mereka akan mengunjungi pertunangan atau pernikahan saudaranya. Aku tidak tahu.Lalu, dengan hati-hati aku menegurnya.Dia kaget. Dia melihatku. Aku merasa jantungku ditikam. Aku mengingatnya, kenapa dia tidak ingat padaku?Apa dia sudah melupakanku? Kami terlibat basa-basi kecil. Lalu keheningan membuatku harus menyibukkan diri. Aku tidak ingin cepat-cepat pergi dari sana. Jadi, aku berlama-lama di sana. Duduk di samping mejanya. Tampaknya ia gelisah. Namun, aku masih ingin bersamanya.Hingga kemudian aku pamit.Mama menelponku, dia ingin menjodohkanku dengan gadis kecilku.Aku terkesiap. Aku tentu saja senang.Namun, pertemuan kedua kami tidak begitu sukses. Dia masih melupakanku. Dia malah bersikap tak sopan padaku. Aku begitu ma
Aku menatap punggungnya dengan sedih. Dialah hidupku, yang kini sudah berpaling jauh dariku. Aku sudah menjadi lelaki kesepian sejak dia pergi dari rumah ini. Aku hanya termangu. Menatapi daun jendela yang menghitam perlahan disimbahi hujan sore dan pagi hari.Biasanya dia selalu bersemangat untuk merawat rumah ini. Pada tiap inchi-nya, jadi aku pun demikian. Rumah ini adalah istana kami. Dahulu.Sungguh pahit ketika mengatakan, 'Dahulu'.Seolah, aku adalah lelaki bajingan yang hanya disimbahi dan dipeluk kenangan begitu saja. Tanpa menyisakan apapun di dunia nyata ini.Aku tahu, dia akan pergi. Ketika daun pintu itu dibukanya, dan ternyata ia begitu kecewa padaku.Apakah aku salah?Baiklah, aku mungkin salah berkencan dengan perempuan lain. Namun, lelaki adalah tempatnya kesalahan. Berapa banyak laki-laki yang jatuh dalam kekhilafan, aku salah satunya. Aku memang begitu.Lelaki juga akan selalu menjadi bocah. Lelaki tidak akan pernah dewasa. Apabila dia salah, mungkin akan diulanginy
Argo Wijaya Lelaki yang pantas dicintainya. Dia adalah istriku. Seharusnya, dia tidak pergi dan menemui Biru. Pecundang keparat yang aneh itu.Saat dahulu, aku masih bersama Melani. Aku seringkali menertawakan kebodohan Biru. Aku heran bisa bersahabat dengan lelaki yang katanya pintar dan kaya, tapi begitu bodoh dan seringkali dibohongi istrinya.Kenapa mereka ini?Sungguh aneh.Aku menghukum Biru, yang mencoba membangkitkan kenangannya bersama istriku, Anjani. Aku memamerkan padanya gawaiku, agar ia tahu aku pun memiliki istri sama dengan dirinya. Namun, ia malah ingin mencoba mendekati Anjani dengan alasan klise, teman kecil.Baiklah. Lalu, semua terjadi.Itu adalah risiko yang diambilnya, ketika hendak mengusik rumah tanggaku bersama Anjani. Lagi pula, Melani bosan dengan kesibukannya yang menggunung. Sudah kubilang kan?Dia tidak akan pernah tahu bagaimana memperlakukan perempuan.Dia akan tetap menjadi laki-laki aneh. Sama seperti sekarang ini. Selamanya.OOOPagi yang tua.Suda
MelaniKota ini bukanlah tujuanku, sebenarnya. Saat aku menikah dengannya dahulu, aku tahu ia membenci kata-kata royal (bangsawan), kerajaan, atau sejenisnya. Seolah, ia adalah aktivis pergerakan yang membenci kaum setengah dewa ini.Aku mengunjungi kota ini, karena aku ingin membuktikan kalau aku bisa ke sini lebih dahulu. Mungkin aku bisa bernyanyi dengan narasi patah hati, seraya berbelanja di area pertokoan Harrods. Mungkin, kalau beruntung aku bisa bertemu dengan Zayn Malik bahkan Gigi Hadid. Bisa jadi, aku bertemu dengan Kate Middleton.Tapi, nyatanya uangku tak sebanyak saat aku masih bersamanya. Aku harus bekerja, uang dari Papa mana cukup memenuhi kantong sosialita? Kadang, terbersit rasa menyesal, kenapa aku dahulu harus jatuh ke pelukan Argo.Kenapa? Apa karena rayuannya begitu maut?Bisa jadi. Dia begitu lihai merayuku, tidak seperti Biru yang terasa kaku dan tampak sulit membuka diri. Aku harus sering menggigiti sepi. Berteman dengan beberapa teman di kota asing, rasanya
Melani Langit tampak mendung dan gelap ketika sore menjelang. Aku berjalan di sisi bahu Belvedere Road. Udara semakin dingin menusuk. Aku memakai sweater dan jaket wol serta kaos rajut di dalamnya. Tetap saja, udara terasa sangat dingin. Padahal, ini musim gugur. Kabut tipis terbang melintang menghalangi pandangan.Aku terus saja berjalan dengan sepatu boot tebal, yang memang didesain khusus untuk menghadapi musim seperti ini. Kurapatkan mantel dengan perasaan gigil tak menentu, aku memang sedang menyiksa diri. Aku membenci nasib dan takdir yang sedang kujalani.Kenapa aku dahulu harus berselingkuh dengan orang seperti Argo? Dia memang sungguh ganteng, pesonanya mirip-mirip aktor Hugh Grant, ia memang senakal aktor Hollywood itu. Kemudian, aku terperangkap dan terjerat rayuannya.Saat itu aku begitu bosan. Sangat bosan, dan Biru tampak sekali sibuk.Ia memang suami yang baik. Tapi, aku butuh dimanja. Ketika itu, hanya Argo yang bisa memanjakanku. Ia merayuku, dan aku melambung seting
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d