Assalamu’alaikum Pesantren
(Assalamu’alaikum Cinta)
Berawal dari kisah gadis remaja, yang ingin masuk pesantren. Namun, tidak dengan niat yang tulus.
Ya, boleh dikatakan tidak tulus karena, niat awalnya ingin kurus. Tidak masuk akal memang tetapi, itulah niat awalnya.
Terjebak dalam cinta di Pesantren, di mana yang namanya pesantren melarang akan adanya santriwan/santriwatinya pacaran.
Lambat laun menyadari bahwa niat awalnya masuk pesantren adalah salah. Dia merasa bersalah, terhadap orang tuanya dan diri sendiri.
Saat biaya tak mampu lagi untuk menanggung, dia diharuskan pindah sekolah, walau para pengajar telah membebaskan biaya untuknya.
Namun, orang tuanya telah bertekad untuk memindahkannya dengan alasan 'tak tega jauh dari sang anak'.
"Nak ..., maafkan Abah ya. Abah dan Mamak tidak punya cukup biaya lagi untuk melanjutkan sekolahmu di sini."
Ucap Abah sambil mengelus kepalanya yang tertutup jilbab, sedangkan Lia hanya tertunduk lesu ketika mendengar perkataan dari Abah.
Mereka tidak mengobrol di dalam asrama, melainkan di bawah pohon yang rindang di atas bilah bambu. Semilir angin yang sejuk menemani percakapan yang syahdu.
Mereka memilih tempat ini, karena merasa lebih nyaman dan sedikit sepi. Lebih sesuai mengingat suasana hati yang sedang bergejolak.
"Tapi Bah ..., pihak pesantren sudah membebaskan semua biaya untukku, supaya aku masih bisa melanjutkan pendidikan di sini,"
Lia menolak, berusaha menjelaskan pendapat yang ia dengar dari ustazah kemarin sore.
Karena sebelum orang tuanya bicara pada Lia, mereka sudah terlebih dahulu memberi tahu pihak pesantren. Ustazah pun memanggil Lia, guna mengutarakan niat baik mereka.
Pemilik yayasan merasa lebih baik Lia bertahan dengan cara membebaskan semua biaya. Namun nasib berkata lain. Lia masih harus menuruti kemauan orang tuanya.
Saat malam, di mana telah mendekati hari perpindahan. Dia menangis bersama teman-temannya di dalam kamar asrama, dia takut tidak bisa bertemu lagi dengan teman-teman yang sudah sangat akrab dengannya.
Lia hanya membisu saat berada di dekat sahabatnya, dikala sahabatnya bertanya bukan menjawab dengan kata-kata, ia malah menjawab dengan deraian air mata.
"Sudah cuy .... Insya Allah ini jalan terbaik untukmu, turuti kemauan orang tuamu," ucapnya salah satu sahabatnya menenangkan.
"Gak baik membangkang permintaan orang tua," sambungnya lagi sambil mendekap tubuh Lia yang berguncang karena tangisannya.
Walau mereka anak pesantren, namun masalah panggilan mereka tidak kalah dengan anak sekolah umum.
" ..., aku takut kita tidak bisa bersua lagi, aku akan sangat merindukan kehidupan seperti ini..." ucapnya menggantung.
"Suka duka, rasa saling melindungi, rasa kekeluargaan ini dan rasa kemandirian yang kudapat disini. Semuanya, aku akan sangat merindukan masa ini," ucapnya lagi dalam tangisan yang hampir mereda.
Pacarnya yang semula dipertahankan mulai bertingkah. Dia ingin mencari pengganti dirinya, yang membuat sakit hati adalah sang pacar tidak mempunyai perasaan yang peka.
Pacarnyaingin menjadikan adik angkatnya sebagai pacar dan yang miris lagi sang pacar meminta persetujuan darinya.
Suatu hari Erik mengirimkan surat pada Lia, mengajak untuk bertemu secara diam-diam di belakang gedung asrama yang langsung membelakangi hutan.
Sementara teman yang datang bersama Erik dan Lia berjaga-jaga takut ada yang melihat pertemuan itu.
"Say. Jika kamu pindah sekolah, apa aku boleh memiliki pacar lagi? Namun, aku tidak ingin kita putus," perkataan itu meluncur begitu saja dari mulut sang kekasih yang begitu dia sayangi.
Lia tersentak. Bagai tersengat lebah, hatinya terasa nyeri. Walau terkejut, ia berusaha tetap tersenyum.
"Boleh kok, asal wanita itu orang yang kukenal," ucap Lia sebisa mungkin terlihat tenang dengan senyum palsu yang menghiasi wajahnya.
"Kamu kenal kok sama orangnya, malahan kalian sanggat akrab," ucapnya tanpa ada rasa bersalah saat mengutarakan maksudnya.
"Siapa ..., aku akrab sama dia?" Lia sedikit bingung dan terkejut namun, tetap terlihat santai.
"Iya ..., kamu akrab sekali malahan. Eni, dia orangnya," Erik berucap dengan senyum mengembang sempurna di wajahnya, tanpa dia tahu bahwa ada hati yang terluka.
"Eni! ... Eni, adik angkatku? ...." Lia kaget dan rasa ingin menangis saat itu juga, mendengar penuturan Erik yang dianggapnya akan setia namun, semua itu salah.
Runtuh sudah hati yang terbangun oleh cinta, lenyap seketika saat kata-kata itu meluncur seolah tanpa rasa bersalah.
Tiga hari sebelum hari perpindahan. Dia menemui sang pacar yang sedang berada di pondoknya bersama seorang sahabatnya, dengan alasan ingin meminta barang yang ada padanya.
Sang pacar merasa tersinggung dan marah. Namun, pada akhirnya apa yang ia pinta diberikan oleh Erik.
"Kenapa harus diambil?! ... kenapa gak ditinggal aja albumnya bersamaku, sebagai pengingat akan dirimu dikala rindu melanda," ucap sang kekasih hati yang merupakan cinta pertamanya.
"Kalau album foto itu bersama kamu, bagaimana denganku?! Bagaimana aku melihat wajahmu nanti, tidak mungkin aku menengokmu di sini atau bahkan kamu akan datang kepadaku saat aku merindukanmu!" Ucap Lia tegas namun dengan nada suara memelas.
"Halah ..., bilang aja itu cuma alasanmu yang tidak ingin mempunyai hubungan lagi denganku!" Sang kekasih berucap dengan nada sedikit meninggi karena merasa dipermainkan.
"Tidak ..., bukan seperti itu, aku hanya ingin menyimpan semua kenangan kita bersamaku," ucap Lia sambil menunduk menahan air mata yang siap keluar kapan saja.
"Atau begini saja, kamu ambil salah satu foto yang ada di album itu dan sisanya berikan padaku," sambungnya mengajak sang pacar untuk bernegosiasi.
Erik menarik nafas panjang di kala hatinya menahan gejolak, karena akan ditinggal sang kekasih hati. Sejujurnya dia sangat mencintai Lia namun, apalah daya dia tak mampu menahan Lia untuk tetap bertahan di pesantren ini.
Lia meninggalkan sang pacar tanpa keputusan dan pergi begitu saja. Erik merasa tertekan atas kepergian Lia.
Akhirnya dia juga memutuskan untuk pergi karena merasa terlalu banyak kenangan indah yang sudah terbangun. Terlalu manis untuk dilupakan namun, terlalu pahit untuk dikenang.
Mereka dipertemukan kembali, namun bukan untuk bersatu melainkan sebagai salam perpisahan. Dia menghadiri acara pernikahan wanita yang meninggalkannya tanpa ada keputusan yang jelas.
06, Juni, 2019Pesantrenyang istimewaDisinilah sebuah kisah bermula.Berkisah tentang percintaan di sebuah pesantren, kenakalan para santri dan bahkan suka dukanya menjadi santri.Santri tidak boleh membawa ataupun memiliki alat komunikasi yang canggih, dilarang untuk pacaran, keluar pesantren tanpa izin dan bertemu lawan jenis kecuali saat ada pembelajaran bersama saja.Namun, masih ada saja beberapa santriwan dan santriwatinya yang bandel. Mereka terus berusaha melanggar peraturan yang sudah di tetapkan oleh pendiri pesantren, baik secara sadar maupun tidak sadar.Ada yang diam-diam pacaran, ada juga yang menyelinap keluar dari pesantren, ada juga yang masih ngeyel membawa hp dan masih banyak lagi kelakuan nakal mereka.Kenakalan anak pesantren memang berbeda dengan anak sekolah pada umumnya.Bagi santri yang ketahuan pacaran, mereka akan dic
Desir di jiwa dan hati yang tandus, akan terasa basah dikala cinta datang menyapa. Aliran darah seakan memanas saat hati terluka.**Janganlah kalian mencintai makhluk-Nya, melebihi cinta kepada-Nya dan Rasul-Nya.**🌹🌹🌹***"Ikut aku pulang ke kampung saja, siapa tahu bisa mengurangi rasa rindu terhadap keluargamu," katanya sambil tersenyum pada ku."Kalau dari sini kita bisa pulang dengan berjalan kaki, ya ... walaupun perjalanannya meniti hutan dan lumayan jauh sih. Hitung-hitung, sekalian cuci mata dan wisata ke alam bebas gitu," sambungnya lagi, sambil terus tersenyum ke arahku."Boleh, kalau kamu tidak keberatan," ucapku sambil tersenyum balik kearahnya.
"Baiklah, kalian saya izinkan pulang. Namun, hanya dua hari setelah itu kalian harus segera kembali ke pesantren," kata Ustadzah mengizinkan tapi, tetap ada syarat yang harus kami patuhi."Baik ustadzah ..., kami akan kembali setelah dua hari," jawab Mila."Terima kasih ustadzah," ucap kami serempak.***"Ayo ikut aku!" Lagi-lagi Mila menarik tanganku, sedangkan aku hanya pasrah menuruti kemana langkah kakinya melangkah.Aku hanya diam disamping, sambil terus memperhatikan langkahnya yang cepat. Seakan sedang diburu sesuatu, aku ingin bertanya.Namum, setelah aku mulai memperhatikan arah jalan yang mendekati pondokan santriwan. Kurasa, aku sudah mengetahui maksud dan tujuannya datang kesini."Assalamu'alaikum, Budi!" Mila bers
Pagi pun menyingsing, sinarnya menyeruak dari ufuk timur. Malam dingin berganti dengan pagi yang hangat.Ayam berkokok saling bersautan, bagai alarm yang setia setiap pagi berbunyi. Membantu orang-orang terbangun dari lelapnya tidur dimalam hari.***Saat menjelang shalat subuh, kami semua di bangunkan oleh para santri yang berjaga. Gembok di luar pintu pun dibuka, agar kami semua bisa shalat berjamaah di musholla.Saat malam selepas ba'da insya, pintu asrama akan di gembok dari luar dan dibuka lagi menjelang subuh. Begitulah setiap malam.Para santriwan akan berjaga di sekeliling pesantren, menyusuri lorong-lorong asrama yang temaram karena minimnya pencahayaan dan setiap sudut pesantren guna memastikan keadaan sekitar aman.Terkadang mereka juga akan minta dibuatka
**Sungguh indah kuasa-Mu, takjub netra memandang hasil karya luar biasa. Tak' pernah bosan aku bersyukur, sanubari tersenyum bahagia tatkala matahari menyongsong pagi.** 🌹🌹🌹 Kami terus bercerita, tanpa terasa kami sudah separuh jalan. Hutan yang lebat dan sepi, terdengar riuh tatkala kami melintasi nya. Canda tawa kami seakan bergemah didalam hutan. Saat ini kami sudah melewati hutan yang berganti hamparan sawah yang membentang sejauh mata memandang. Aku selalu terkagum saat melihat hamparan yang indah ini, mataku seakan dimanjakan dengan pesonanya. Para petani berkumpul di bawah pondok-pondok kecil sambil terus memantau padi mereka. Burung-burung Pipit beterbangan di atas tanaman padi, bunyi-bunyi
**Makan nasi pakai sambalSambal ditumbuk hingga halusPersahabatan bukan abal-abalNamun, disertai rasa yang tulus*****Sekitar setengah jam, kami berempat berada di atas perahu. Pasti ada yang nanya 'kenapa berempat ya, bukannya tadi cuma bertiga?'Ya ... berempat, Aku, Mila, Budi dan satu lagi adalah saudara laki-laki Budi. Dia ikut sebab perahu akan dibawa kembali kesawah saat setelah mengantar kami bertiga.Kami berhenti tepat didepan bilah bambu bertiangkan kayu ulin, yang di susun dipinggir sungai, sebagai labuhan untuk perahu yang kami tumpangi.Setela
"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut."Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan."Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut."Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal."Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya."Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.