06, Juni, 2019
Pesantrenyang istimewa
Disinilah sebuah kisah bermula.
Berkisah tentang percintaan di sebuah pesantren, kenakalan para santri dan bahkan suka dukanya menjadi santri.
Santri tidak boleh membawa ataupun memiliki alat komunikasi yang canggih, dilarang untuk pacaran, keluar pesantren tanpa izin dan bertemu lawan jenis kecuali saat ada pembelajaran bersama saja.
Namun, masih ada saja beberapa santriwan dan santriwatinya yang bandel. Mereka terus berusaha melanggar peraturan yang sudah di tetapkan oleh pendiri pesantren, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Ada yang diam-diam pacaran, ada juga yang menyelinap keluar dari pesantren, ada juga yang masih ngeyel membawa hp dan masih banyak lagi kelakuan nakal mereka.
Kenakalan anak pesantren memang berbeda dengan anak sekolah pada umumnya.
Bagi santri yang ketahuan pacaran, mereka akan dicambuk rotan sebelum diarak sambil berkalung batu bata dan di tempelkan tulisan 'Pacaran itu haram'.
Berbeda lagi santri yang sering menyelinap keluar pesantren tanpa izin, mereka akan berdiri di bawah tiang bendera seharian. Bagi wanita, akan di lepas jilbabnya kalau laki-laki akan dicambuk menggunakan rotan.
Bagi yang ketahuan merokok, akan di suruh makan terasi mentah dan tidak lupa cambukan-nya. Anak pesantren juga tidak bisa sebebas anak sekolah biasa.
Setiappagi hari mereka akan belajar kitab kuning, saat siang mereka belajar pengetahuan umum dan saat malam mereka melakukan pengajian bersama. Belajar mengaji, tausiyah, membaca barzanji, dan banyak lagi.
***
"Bik ...! Aku ingin masuk pesantren, tempat bibi menimbah ilmu dulu," ucap Lia bersemangat dikala mengungkapkan keinginannya kepada adik dari Ibunya tersebut.
"Serius, kamu ingin masuk pesantren?!" Tanya sang bibi sedikit terkejut atas kemauan sang keponakan.
"Aku serius bik, aku ingin memperdalam ilmu agamaku!" ucapnya tegas.
"Ya ... walaupun aku mempunyai niat lain selain agama, aku juga ingin kurus. Pasti di sana nanti aku bisa kurus," ucapnya bergumam didalam hati sambil tersenyum tidak jelas.
"Ya sudah kalau itu memang keinginan kamu, bibi akan menemanimu ke pesantren tempat bibi menimbah ilmu dulu," jawab sang bibi sambil tersenyum bahagia, karena mendengar kemauan sang ponakan.
Niat yang tak masuk akal. Niat yang bisa menghancurkan harapan indah. Ingatlah ...! Awali segala hal dengan niat yang baik agar kelak tidak ada penyesalan dikemudian hari.
Niat buruk cuma akan memperkeruh masalah, karena yang dibayangkan tidak akan selalu sesuai dengan yang diinginkan.
***
Aku kadang merasa bosan dengan kehidupan seperti ini. Namun, aku juga tak mampu dan tak ingin beranjak dari posisi nyamanku.Aku menjalani hidup yang bagi sebagian orang, itu tidak menyenangkan dan membosankan. Aku pun tak memungkir, rasaku juga terkadang sama seperti mereka. Pernah merasa bosan, menjalani semua ini.
Namun, aku harus tetap berusaha menjalani walau, batin menjerit ingin segera terbebas. Saat keadaan itu datang, hati mulai menyadarkan.
Kelak, semua ini tak kan bertahan selamanya. Kehidupan abadi yang bahagia telah menanti dihadapan.
Aku bukanlah makhluk Tuhan yang sempurna, yang tak pernah berbuat dosa. Hati ini adalah keranjang dosa yang selalu terisi dengan sadar ataupun tidak.
Kekhilafan kadang mampir, tuk sekedar bertengger ataupun menetap. Di saat itulah batin meronta ingin terbebas, terbebas dari dosa yang terus bertambah.
***
Desir angin menerpa wajah ku yang kini terduduk di sebuah pelataran bambu dibawah pohon beringin yang rindang. Aku menggoyangkan kaki, berusaha mengusir kegundahan hati.Aku merindukan keluarga yang jauh di sana. Ingin rasanya aku terbang tuk pulang tapi, apalah daya raga ini tak mampu. Aku sendiri di sini, tak ada keluarga yang menemani.
Saat ku sakit dan terluka namun, aku harus tetap bangkit walau tanpa keluarga di sisiku. Karena di sini aku dididik belajar mandiri, berusaha menyelesaikan semua masalah yang ada, walau umurku masih belum untuk dikatakan dewasa.
Belajar bekerjasama, guna memupuk rasa persaudaraan supaya kami bisa memahami satu sama lain.
"Assalamu'alaikum, Lia," seorang teman memanggil sambil menepuk bahu ku, menyadarkan diri ini dari lamunan belenggu rindu, terhadap keluarga nan jauh di sana.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa Mila?" tanyaku menoleh kearahnya setelah kembali tersadar.
"Kamu kenapa melamun?" tanyanya sambil duduk di sampingku dan sedikit menepukan tangannya di atas pahaku, "Rindu keluarga di rumah ya?" tanyanya lagi sambil menoleh kearahku dengan senyum indahnya.
Aku tersenyum sambil mengangguk seraya menoleh kearahnya, langsung setelahnya mengalihkan pandanganku ke arah depan. Mila adalah salah satu sahabat yang ku punya di sini.
Aku mempunyai tiga orang sahabat di sini dua perempuan dan satu laki-laki, mereka semua sangat baik padaku. Mereka menerima kekurangan dan kelebihan ku.
Saling membantu dikala susah, saling menolong dikala kesulitan dan saling menasehati dikala salah melangkah.
Namun, persahabatan yang ku jalani tak seperti persahabatan kebanyakan anak sekolah di luar sana.
Disini kami seperti keluarga, kami tak pernah bertemu sebelumnya namun, kami mampu membuatnya seakan sudah lama saling mengenal.
"Ikut aku pulang ke kampung saja, siapa tahu bisa mengurangi rasa rindu terhadap keluargamu. Kalau dari sini kita bisa pulang dengan berjalan kaki, ya ... walaupun perjalanannya meniti hutan dan lumayan jauh sih," katanya sambil tersenyum padaku.
"Hitung-hitung, sekalian cuci mata dan wisata ke alam bebas gitu," sambungnya lagi, sambil terus tersenyum ke arahku.
Kata-kata penghibur yang terlontar dari mulutnya seakan membangkitkan gelora dalam jiwa. Kata sederhana, namun menyenangkan.
Persahabatan yang ku banggakan. Persahabatan tanpa syarat, yang kami bangun bersama seiring berjalannya waktu.
Terkadang hidup tak sesuai dengan harapan, hidup yang kita inginkan belum tentu terbaik untuk kita jalani. Namun, yang menurut kita baik belum tentu itu yang terbaik.
Terima kasih sahabat, telah memilihku menjadi teman terbaikmu. Salam dan doa selalu terucap seiring getaran hati.
****Tetaplah bahagia wahai sahabat*
Desir di jiwa dan hati yang tandus, akan terasa basah dikala cinta datang menyapa. Aliran darah seakan memanas saat hati terluka.**Janganlah kalian mencintai makhluk-Nya, melebihi cinta kepada-Nya dan Rasul-Nya.**🌹🌹🌹***"Ikut aku pulang ke kampung saja, siapa tahu bisa mengurangi rasa rindu terhadap keluargamu," katanya sambil tersenyum pada ku."Kalau dari sini kita bisa pulang dengan berjalan kaki, ya ... walaupun perjalanannya meniti hutan dan lumayan jauh sih. Hitung-hitung, sekalian cuci mata dan wisata ke alam bebas gitu," sambungnya lagi, sambil terus tersenyum ke arahku."Boleh, kalau kamu tidak keberatan," ucapku sambil tersenyum balik kearahnya.
"Baiklah, kalian saya izinkan pulang. Namun, hanya dua hari setelah itu kalian harus segera kembali ke pesantren," kata Ustadzah mengizinkan tapi, tetap ada syarat yang harus kami patuhi."Baik ustadzah ..., kami akan kembali setelah dua hari," jawab Mila."Terima kasih ustadzah," ucap kami serempak.***"Ayo ikut aku!" Lagi-lagi Mila menarik tanganku, sedangkan aku hanya pasrah menuruti kemana langkah kakinya melangkah.Aku hanya diam disamping, sambil terus memperhatikan langkahnya yang cepat. Seakan sedang diburu sesuatu, aku ingin bertanya.Namum, setelah aku mulai memperhatikan arah jalan yang mendekati pondokan santriwan. Kurasa, aku sudah mengetahui maksud dan tujuannya datang kesini."Assalamu'alaikum, Budi!" Mila bers
Pagi pun menyingsing, sinarnya menyeruak dari ufuk timur. Malam dingin berganti dengan pagi yang hangat.Ayam berkokok saling bersautan, bagai alarm yang setia setiap pagi berbunyi. Membantu orang-orang terbangun dari lelapnya tidur dimalam hari.***Saat menjelang shalat subuh, kami semua di bangunkan oleh para santri yang berjaga. Gembok di luar pintu pun dibuka, agar kami semua bisa shalat berjamaah di musholla.Saat malam selepas ba'da insya, pintu asrama akan di gembok dari luar dan dibuka lagi menjelang subuh. Begitulah setiap malam.Para santriwan akan berjaga di sekeliling pesantren, menyusuri lorong-lorong asrama yang temaram karena minimnya pencahayaan dan setiap sudut pesantren guna memastikan keadaan sekitar aman.Terkadang mereka juga akan minta dibuatka
**Sungguh indah kuasa-Mu, takjub netra memandang hasil karya luar biasa. Tak' pernah bosan aku bersyukur, sanubari tersenyum bahagia tatkala matahari menyongsong pagi.** 🌹🌹🌹 Kami terus bercerita, tanpa terasa kami sudah separuh jalan. Hutan yang lebat dan sepi, terdengar riuh tatkala kami melintasi nya. Canda tawa kami seakan bergemah didalam hutan. Saat ini kami sudah melewati hutan yang berganti hamparan sawah yang membentang sejauh mata memandang. Aku selalu terkagum saat melihat hamparan yang indah ini, mataku seakan dimanjakan dengan pesonanya. Para petani berkumpul di bawah pondok-pondok kecil sambil terus memantau padi mereka. Burung-burung Pipit beterbangan di atas tanaman padi, bunyi-bunyi
**Makan nasi pakai sambalSambal ditumbuk hingga halusPersahabatan bukan abal-abalNamun, disertai rasa yang tulus*****Sekitar setengah jam, kami berempat berada di atas perahu. Pasti ada yang nanya 'kenapa berempat ya, bukannya tadi cuma bertiga?'Ya ... berempat, Aku, Mila, Budi dan satu lagi adalah saudara laki-laki Budi. Dia ikut sebab perahu akan dibawa kembali kesawah saat setelah mengantar kami bertiga.Kami berhenti tepat didepan bilah bambu bertiangkan kayu ulin, yang di susun dipinggir sungai, sebagai labuhan untuk perahu yang kami tumpangi.Setela
"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut."Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan."Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut."Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal."Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya."Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa