Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.
Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.
Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.
Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.
Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.
Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.
Kehidupan —, kadang aku berpikir.
'Untuk apa sih hidup kalau cuma untuk mati?'Pertanyaan bodoh yang dengan seenaknya singgah dalam pikiran yang keruh.Seharusnya kita itu bersyukur masih diberi nikmat dan kesempatan untuk selalu berbuat baik, beramal shaleh, menjalani hidup sesuai syariat Islam.
Banyak makna yang bisa kita petik dari kehidupan sebelum mati. Setiap langkah kaki yang kita ayunkan akan menentukan kemana arah yang kita pilih.
Hidup bukan cuma sekedar kata-kata, tetapi hidup adalah sebuah perjalanan untuk menuju hidup yang abadi setelah kematian.
'Tak terasa aku sudah berada di depan rumah Mila, karena lamunan sesaat tentang kehidupan. Seolah membuat lupa tentang keadaan sekelilingku.
Kakiku mulai menghitung satu persatu anak tangga, rumah Mila. Saat sudah berada di depan pintu, aku disambut oleh Mila.
"Sudah mandinya?" tanya Mila saat melihatku berada di depan pintu masuk.
"Sudah," jawabku singkat dan jangan lupakan senyum manis yang selalu kusuguhkan, dengan tubuh yang berbalut kain panjang dan hijab yang setia menghiasi kepala.
"Gimana? ... sudah hilang penatnya?" tanyanya lagi yang masih setia bertengger diambang pintu.
"Iya," lagi-lagi jawaban yang kuberikan 'tak kalah singkat dari jawaban pertamaku.
"Ya ... ampun nih anak kumat deh, irit bicaranya. Jawab panjang dikit gak apa 'kan," katanya mulai sewot.
"Gak bayar juga 'kan kalau kau bicara banyak," sambungnya lagi dengan wajah yang dibuat-buat seolah dia sedang kesal terhadapku.
Aku hanya tersenyum, karena aku tau ia tidak akan marah cuma karena jawaban singkat dariku. Mila mengerakkan tangannya, lalu mengambil peralatan mandi yang kubawa.
"Ya sudah, sini peralatan mandinya. Kamu langsung ke kamar saja, untuk ganti baju!" serunya kepadaku.
"Iya, aku titip ya," ucapku sambil menyerahkan peralatan mandi yang kubawa.
Ia hanya tersenyum dan berlalu pergi, aku segera pergi ke kamar Mila dan langsung mengganti pakaianku.
Dikamar tak terlalu luas ini, yang hanya berisikan tempat tidur dan satu buah lemari kecil, dengan jendela yang langsung menghadap ke rumah tetangga.
Terasa begitu asri, ditambah dengan beberapa pohon kelapa yang tak terlalu tinggi, menghiasi samping rumah.
Aku mulai mengganti kain panjang yang kupakai dengan baju kurung, menjuntai hingga lutut berpadu dengan rok panjang menutupi hingga mata kaki.
Kami berencana untuk jalan-jalan keliling desa bersama teman-teman yang terlebih dahulu pulang daripada kami.
Di desa Mila, hampir seluruh anak-anak yang seumur dengan kami bersekolah di pesantren tempatku menuntut ilmu, beberapa diantaranya juga ada yang pulang terlebih dahulu dari kami.
Kami membuat janji untuk bertemu dan bertamu ke rumah masing-masing teman, setelah itu kami akan berjalan keliling kampung dan bercanda gurau bersama.
"Lia, sudah selesai belum?" tanyanya sambil melangkah masuk kedalam kamar, menyingkap tabir yang menjadi pembatas.
"Kalau sudah, ayo kita berangkat. Teman-teman yang lain sudah menunggu di depan," sambungnya lagi sambil mendudukkan dirinya ditepi ranjang.
"Sebentar, aku lagi memakai jilbab," ucapku dengan tangan yang masih sibuk dengan jilbab persegi empat.
"Oh iya, sepertinya salah satu santriwan ada yang naksir kamu tuh," ucap Mila memulai topik pembicaraan baru, sambil memandangku dari tempat duduknya.
"Ah, mana ada, itu cuma perasaanmu aja," jawabku tak percaya.
"Ih ... aku serius tahu, kemaren aku dengar dari salah satu santriwan. Katanya ada yang suka sama kamu tapi, aku tidak tahu siapa yang dimaksud oleh dia," sangkalnya setelah mendengar jawabanku.
"Biarin aja lah, selagi tidak menggangu," jawabku enteng menanggapi sangkalan Mila.
"Ya udah, ayo berangkat, aku udah selesai memakai jilbab nih," kataku sambil menarik tangan Mila, supaya dia bergegas berdiri dan berhenti bicara masalah itu.
Aku, tak ingin terlalu memikirkan hal yang diucapkan Mila barusan. Aku tak ingin membebani pikiran dengan hal yang belum tentu pasti.
'Dengan wajahku yang pas-pasan begini, mana ada lelaki yang suka. Paling cuma gimik aja,' ucapku bergumam didalam hati.
***
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu lagi untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tanpa kusadari, ada sepasang mata yang terus memperhatikan setiap pergerakanku.
***
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوٰتًا فَأَحْيٰكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
kaifa takfuruuna billaahi wa kungtum amwaatang fa ahyaakum, summa yumiitukum summa yuhyiikum summa ilaihi turja'uun
"Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 28)
* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa
Tatapan itu seolah mengunci pergerakan langkahku.Hati bergumam namun mulut tak mau berucap.Rasa ingin melawan, dikala mulut tak mampu berujar dari tatapan seolah bermakna.***Kami menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah penduduk, pemandangan yang masih asri tersuguh dihadapan, guna memanjakan mata yang melihatnya.Perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan, aku benar-benar bisa melupakan kerinduan tentang keluargaku nan jauh di sana barang sejenak.Namun, aku tak memungkiri rasa itu akan hadir menyelinap ke relung hati yang sepi dikala aku sendiri.Aku menatap wajah Mila sejenak yang berada di sampingku, sangat terlukis nyata, gambaran kebahagiaan di wajahnya. Tanpa sadar ataupun tidak rasa itu ikut menjalar ke relung sukma."Lia, kamu kenapa liatin aku gitu amat," protesnya setelah menangkap basah aku sedang memandangnya.
Lia hanya diam, tidak berniat menerima ataupun menolak. Dia bingung dengan hatinya, menolak takut menyakiti sedangkan menerima takut tersiksa perasaan sendiri. Keheningan mengiringi langkah mereka berdua, Erik juga tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat Lia tidak nyaman. Sebenarnya dia tahu akan perasaan Lia. Namun, dia menepis semua itu. Sedangkan Lia tak ingin menerima Erik lantaran seminggu sebelum ini, Erik pernah menyatakan cinta kepada seseorang temannya. Tak mungkin bagi Lia jika menerima seseorang, yang belum jelas akan perasaannya sendiri. Apa memang benar Erik mencintainya, atau cuma sekedar mencari pelarian lantaran baru ditolak seorang wanita. ***Sore menjelang, sumburat cahaya jingga menghiasi langit senja. Matahari mulai turun ke peraduan, malam mulai menyongsong mengantikan siang. Kini Lia dan Mila telah berada di rumah, bersiap untuk shalat magri
Kata cinta bak mutiara yang indahNamun, kata itu juga bisa membuat lukaTersayat tapi, tak berdarahSakit, perih dan ngilu bagai teriris sembilu.***Matahari telah menyingsing menyingkap tabir dibalik kegelapan malam. Berganti sejuknya pagi dengan tetesan embun. Suara burung bersautan, berkicau menemani hari yang indah."Besok pagi kita udah harus di pesantren ya?" Mila bertanya dengan lesu."Iya, kenapa emangnya. Kan kita udah janji sama ustadzah," sahut Lia tanpa mempedulikan wajah Mila yang murung.Mila tidak
Persahabatan yang tulus tak pernah menuntut atau 'pun meminta hal 'tak mungkin.Persahabatan saling mengerti, menerima, dan melengkapi.Mengingatkan di kala salah,Merangkul di kala bersedih. Itulah arti dari persahabatan, persahabatan tanpa syarat.***Saat tengah sibuk dengan perdebatan kecil mereka, tiba-tiba Ibu memanggil mereka."Ayo ..., ibu manggil tuh!" ajak Mila sambil mengarahkan pandangannya ke pondok."Bentar, aku mau bawa ini dulu. 'Kan sayang pepayanya," jawab Lia menahan langkah kaki Mila yang hampir melangkah jauh.
Hutan yang mereka lalui sedikit lagi berlalu dan berganti padang rumput hijau nan indah. Karena kurang berhati-hati saat berjalan Lia hampir saja tergelincir, dengan sigap Erik menarik tangan Lia. Namun hal tak terduga terjadi.....Lia hampir terduduk di tanah. Jika saja Erik tidak sigap, semua teman-teman di belakang mereka tiba-tiba berhenti saat melihat kejadian itu."Ka — kamu, gak apa-apa kan?" tanya Erik sedikit tergagap."Gak apa kok tapi, apa kamu bisa melepaskan tanganmu dari lenganku?" jawab Lia sambil menunduk, karena rasa malu. Bagai awan hitam yang seakan menumpahkan hujan."Oh — maafkan aku, aku cuma berniat menolong," jawab Erik sembari melepas genggaman tangannya di lengan Lia."Iya— gak apa
Aku menunduk memperhatikan telunjuknya, dan aku tersenyum saat mengangkat wajahku. Memperhatikan pahatan yang elok di depan mataku, wajahnya yang ayu rupawan, meneduhkan siapa pun yang memandang. Aku tersentak, dikala ingat sesuatu yang sempat aku lupakan .... "Astaghfirullah —!" "Ada apa?" "Aku lupa, ada janji sama Juju." "Janji—, janji yang kemaren?" "Iya, aku lupa." "Ya udah, nanti aja. Mending sekarang kita mondok dulu, kalo telat bisa kena marah loh!" "Iya deh, nanti siang aja." "Iya lah, kan kita ketemu di kelas mata pelajaran umum nanti siang." jawab Vivi sambil tersenyum menenangkan ku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Vivi, kami keluar dari asrama menuju kelas. Saat pagi seperti ini kami akan belajar ilmu tasawuf dan kitab kuning lainnya.
Jam sekolah umum sudah hampir dimulai, waktu yang ku nanti sekaligus tak' ku harapkan.Menanti untuk belajar dan tak' berharap bertemu Erik. Lelaki yang selalu ada seperti parasit, akhir-akhir ini.Aku bukan membencinya tetapi, aku hanya risih atas kelakuan yang diperbuatnya. Kalau sekarang masih aman. Namun, tidak tau apa yang akan dilakukan dia selanjutnya.Sebenarnya Erik termasuk laki-laki yang baik, di tambah lagi dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, entah mengapa aku tidak ingin mendekat, seperti ada sekat di antara kami.Di tengah perjalanan, aku berhenti di bawah pohon rindang, aku mendongak ke atas dan berfikir. Bisakah aku seperti pohon ini? Selalu meneduhi saat panas menerpa tanpa meminta balasan, atas apa yang dilakukannya.Tetap kokoh saat angin berhembus dan memberi udara sejuk di sekitarn