"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut.
"Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan.
"Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut.
"Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal.
"Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya.
"Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
"Untung cuma kamu yang tahu kalau aku secerewet ini." sambungnya lagi sambil menarik napas panjang.
"Iya maaf, kan kapan lagi bisa godain kamu kayak gini," ucapku sambil tertawa lepas, "kalau di pesantren kamu kan jaim banget," sambungku lagi sambil cengengesan.
"Ya udah sini, nanti ku ajarkan berenang," ajaknya lagi.
"Iya ... bawel ...!" ucapku sambil meledek. Mila cuma memutar mata malas.
"Sini ...! mana tangan kamu biar aku pegang," serunya sambil mengulurkan tangannya.
"Eh ... jangan di tempat yang terlalu dalam ya, aku kan takut," ucapku sedikit ragu untuk memulai namun, mulai mengulurkan tanganku.
"Ini nih ... gimana mau bisa berenang coba, untuk mulai belajar aja udah ketakutan kayak gini," jawabnya lagi dengan ocehan khas-nya.
Aku hanya cengengesan mendengar ocehan Mila, terkadang dia bisa sangat cerewet saat menghawatirkan orang terdekatnya. Diajuga akan menjadi sangat pendiam kalau sedang marah.
Bahkan akan pergi menjauh sampai tidak ada yang mampu untuk menjangkaunya. Mila orang yang supel, baik hati dan penyayang walau terkadang sedikit menyebalkan.
(He-he-he kalau orangnya tau bisa kena semprot aku)
Tanpa terasa, sudah satu jam kami bermain di dalam sungai karena kami sama-sama menyukai air, jadi berapa lama pun waktu yang kami habiskan di dalam air akan terasa kurang.
Canda gurau seakan menelan waktu, bermain cipratan air, saling lempar kata yang mengurai rasa dihati. Hal sederhana, namun bermakna.
Bahagia tak sulit, asal kita bisa menerima. Apapun kondisi yang kita alami, tersenyum adalah jalan terbaik.
"Sudah yuk! kita naik, sudah keriput aja nih kulit karena kelamaan berendam," ajaknya saat melihat tepak tangan dan kakinya yang sudah keriput karena air.
"Ya ... padahal aku belum puas berendam di sungai, rasanya segar banget dan belum ingin beranjak," balasku menolak ajakan Mila untuk segera naik ke daratan.
"Ya sudah kalau begitu aku naik terlebih dahulu, kamu hati-hati, jangan turun terlalu dalam nanti tenggelam," Mila membebaskanku sembari tidak lupa untuk mengingatkanku untuk selalu berhati-hati.
"Bahagia rasa hati, tak terbendung oleh nikmat yang telah Kau beri. Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan hidayah-Mu kepada kami semua.
Jagalah sahabatku dimanapun ia berada, iringi lah setiap langkah yang dia ambil. Aamiin," pintaku tulus dalam hati.
"Siap nona laksanakan. Aku akan naik sebentar lagi," aku berucap selayaknya prajurit yang memberi hormat pada komandannya.
"Dasar kau ini, ya sudah aku naik dulu. Ingat selalu hati-hati jika ada apa-apa langsung teriak panggil aku," ucapnya sambil tersenyum.
"Aku akan secepat kilat menghampirimu," sambungnya lagi sambil berjalan, menoleh sejenak dan melempar senyum kepadaku.
"Udah sana naik, kalau kau ngoceh terus kayak gitu tidak akan naik lagi," balasku tak kalah nyinyir.
"Ini nih ... yang suka ngatain orang bawel, tapi aslinya dia juga bawel satu tingkat dibawah ku," kata Mila dengan nada yang dibuat-buat sedikit sombong sambil menghentikan langkah kakinya sejenak.
"Alah ... bawel aja sombong," jawabku lagi dengan tersenyum miring.
Mila hanya menjulurkan lidahnya untuk mengejekku, sedangkan aku bukannya marah malah tertawa senang karena melihat tingkahnya yang lucu itu.
Kini tinggallah aku sendiri di tepian sungai, sambil duduk di atas bilah bambu dengan kaki yang menjuntai kedalam air. Aku sangat menikmati momen seperti ini.
Aku melihat ada nelayan yang sedang menebar jaring di tengah-tengah sungai, dia menebar jaringnya disepanjang sungai. Seolah-olah dia memberi sekat di antara dua sisi sungai.
Aku memperhatikannya dalam diam sambil sesekali aku mengguyur tubuhku dengan air sungai yang dingin.
Dengan sabar nelayan itu menebar jaringanya, berharap mendapat banyak ikan agar bisa dibawa pulang, untuk dijual. Guna mencukupi kebutuhan hidup.
"Alhamdulillah ya Allah, dengan hal sederhana inipun aku sudah merasa sangat bahagia," ucapku sambil menarik napas panjang karena terharu dengan nikmat yang ku terima ini.
"Terima kasih telah memberiku kesempatan hidup yang sangat nikmat ini ya Allah," sambung ku bergumam lirih saat menatap lurus ke depan.
***
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
fa bi-ayyi aalaaa-i robbikumaa tukazzibaan
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 13)
* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
***
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”
(HR. Ibnu Umar radiallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
wa quli'maluu fa sayarollohu 'amalakum wa rosuuluhuu wal-mu-minuun, wa saturodduuna ilaa 'aalimil-ghoibi wasy-syahaadati fa yunabbi-ukum bimaa kungtum ta'maluun
"Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.""
(QS. At-Taubah 9: Ayat 105)
* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa
Tatapan itu seolah mengunci pergerakan langkahku.Hati bergumam namun mulut tak mau berucap.Rasa ingin melawan, dikala mulut tak mampu berujar dari tatapan seolah bermakna.***Kami menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah penduduk, pemandangan yang masih asri tersuguh dihadapan, guna memanjakan mata yang melihatnya.Perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan, aku benar-benar bisa melupakan kerinduan tentang keluargaku nan jauh di sana barang sejenak.Namun, aku tak memungkiri rasa itu akan hadir menyelinap ke relung hati yang sepi dikala aku sendiri.Aku menatap wajah Mila sejenak yang berada di sampingku, sangat terlukis nyata, gambaran kebahagiaan di wajahnya. Tanpa sadar ataupun tidak rasa itu ikut menjalar ke relung sukma."Lia, kamu kenapa liatin aku gitu amat," protesnya setelah menangkap basah aku sedang memandangnya.
Lia hanya diam, tidak berniat menerima ataupun menolak. Dia bingung dengan hatinya, menolak takut menyakiti sedangkan menerima takut tersiksa perasaan sendiri. Keheningan mengiringi langkah mereka berdua, Erik juga tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat Lia tidak nyaman. Sebenarnya dia tahu akan perasaan Lia. Namun, dia menepis semua itu. Sedangkan Lia tak ingin menerima Erik lantaran seminggu sebelum ini, Erik pernah menyatakan cinta kepada seseorang temannya. Tak mungkin bagi Lia jika menerima seseorang, yang belum jelas akan perasaannya sendiri. Apa memang benar Erik mencintainya, atau cuma sekedar mencari pelarian lantaran baru ditolak seorang wanita. ***Sore menjelang, sumburat cahaya jingga menghiasi langit senja. Matahari mulai turun ke peraduan, malam mulai menyongsong mengantikan siang. Kini Lia dan Mila telah berada di rumah, bersiap untuk shalat magri
Kata cinta bak mutiara yang indahNamun, kata itu juga bisa membuat lukaTersayat tapi, tak berdarahSakit, perih dan ngilu bagai teriris sembilu.***Matahari telah menyingsing menyingkap tabir dibalik kegelapan malam. Berganti sejuknya pagi dengan tetesan embun. Suara burung bersautan, berkicau menemani hari yang indah."Besok pagi kita udah harus di pesantren ya?" Mila bertanya dengan lesu."Iya, kenapa emangnya. Kan kita udah janji sama ustadzah," sahut Lia tanpa mempedulikan wajah Mila yang murung.Mila tidak
Persahabatan yang tulus tak pernah menuntut atau 'pun meminta hal 'tak mungkin.Persahabatan saling mengerti, menerima, dan melengkapi.Mengingatkan di kala salah,Merangkul di kala bersedih. Itulah arti dari persahabatan, persahabatan tanpa syarat.***Saat tengah sibuk dengan perdebatan kecil mereka, tiba-tiba Ibu memanggil mereka."Ayo ..., ibu manggil tuh!" ajak Mila sambil mengarahkan pandangannya ke pondok."Bentar, aku mau bawa ini dulu. 'Kan sayang pepayanya," jawab Lia menahan langkah kaki Mila yang hampir melangkah jauh.
Hutan yang mereka lalui sedikit lagi berlalu dan berganti padang rumput hijau nan indah. Karena kurang berhati-hati saat berjalan Lia hampir saja tergelincir, dengan sigap Erik menarik tangan Lia. Namun hal tak terduga terjadi.....Lia hampir terduduk di tanah. Jika saja Erik tidak sigap, semua teman-teman di belakang mereka tiba-tiba berhenti saat melihat kejadian itu."Ka — kamu, gak apa-apa kan?" tanya Erik sedikit tergagap."Gak apa kok tapi, apa kamu bisa melepaskan tanganmu dari lenganku?" jawab Lia sambil menunduk, karena rasa malu. Bagai awan hitam yang seakan menumpahkan hujan."Oh — maafkan aku, aku cuma berniat menolong," jawab Erik sembari melepas genggaman tangannya di lengan Lia."Iya— gak apa
Aku menunduk memperhatikan telunjuknya, dan aku tersenyum saat mengangkat wajahku. Memperhatikan pahatan yang elok di depan mataku, wajahnya yang ayu rupawan, meneduhkan siapa pun yang memandang. Aku tersentak, dikala ingat sesuatu yang sempat aku lupakan .... "Astaghfirullah —!" "Ada apa?" "Aku lupa, ada janji sama Juju." "Janji—, janji yang kemaren?" "Iya, aku lupa." "Ya udah, nanti aja. Mending sekarang kita mondok dulu, kalo telat bisa kena marah loh!" "Iya deh, nanti siang aja." "Iya lah, kan kita ketemu di kelas mata pelajaran umum nanti siang." jawab Vivi sambil tersenyum menenangkan ku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Vivi, kami keluar dari asrama menuju kelas. Saat pagi seperti ini kami akan belajar ilmu tasawuf dan kitab kuning lainnya.