**Makan nasi pakai sambal
Sambal ditumbuk hingga halus
Persahabatan bukan abal-abal
Namun, disertai rasa yang tulus**
***
Sekitar setengah jam, kami berempat berada di atas perahu. Pasti ada yang nanya 'kenapa berempat ya, bukannya tadi cuma bertiga?'
Ya ... berempat, Aku, Mila, Budi dan satu lagi adalah saudara laki-laki Budi. Dia ikut sebab perahu akan dibawa kembali kesawah saat setelah mengantar kami bertiga.
Kami berhenti tepat didepan bilah bambu bertiangkan kayu ulin, yang di susun dipinggir sungai, sebagai labuhan untuk perahu yang kami tumpangi.
Setelah menginjak bilah bambu, kami lanjutkan dengan menaiki tanjakan pinggir sungai yang dibuat seperti tangga. Agar memudahkan orang-orang yang ingin melakukan aktivitas turun naik ke sungai.
"Alhamdulillah, akhirnya kita sampai juga Lia," ucap Mila, dengan muka capeknya.
"Iya ... Alhamdulillah kita sampai dengan selamat," jawabku sambil nyengir kuda pada Mila.
"Ayo kita naik, istirahat sebentar setelah itu kita mandi bersama di sungai," ucap Mila, sambil menarik tanganku lagi.
"Ini anak suka banget sama tanganku kayaknya, sampai ditarik-tarik terus. Jangan sampai dia jatuh cinta pada tanganku, bisa gawat ya kan," ucapku dalam hati sambil melihat kearah tangan yang ditarik.
"Terus kalau udah gitu gimana nasib tanganku yang satunya, bisa-bisa ikut jadi jomblo kayak pemiliknya dong," ucapku masih di dalam hati dengan kata-kata konyol, yang membuat aku jadi geleng-geleng kepala dan senyum-senyum tidak jelas.
"Iya ..., oh iya, ada siapa di rumah?" tanyaku saat kami sudah menapaki tangga dari tanah ini.
"Tidak tahu, mungkin ibu ada di rumah," jawab Mila dengan nada bicaranya yang santai dan terdengar riang di telingaku.
"Memangnya Wak gak ke sawah ya?" tanyaku lagi sambil terus mengikuti langkahnya yang sedikit cepat.
"Kayaknya ke sawah deh tapi, biasanya jam segini sudah pulang karena gantian sama bapak," jawabnya sambil berhenti sejenak, menoleh kepadaku sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk, menanggapi jawaban yang diberikan oleh Mila. Kini kami telah berada di atas daratan tepat di halaman rumah Mila.
Aku menoleh kebelakang tanpa sadar aku tersenyum bahagia, karena yang kulihat sekarang, adalah luasnya sungai yang membelah satu desa menjadi dua bagian.
"Cantik," gumamku namun, masih bisa didengar oleh Mila.
"Apanya yang cantik?" tanya Mila, setelah tak sengaja mendengar gumamanku.
"Itu ...," tunjukku kearah sungai yang membentang dihadapan mata.
Mila tersenyum. "Iya cantik, akan lebih cantik lagi kala malam datang," ucapnya. "Lampu-lampu akan berjejer tak beraturan membentuk pola yang indah tatkala malam menjelang," sambungnya lagi.
"Iya. Kau benar," jawabku singkat sambil tersenyum dan menoleh kearah Mila.
"Ayo, kita naik sembari beristirahat sejenak," ajaknya sambil melangkah naik, menapaki anak tangga.
***
Rumah Mila berada tepat dipinggir sungai, dan rumah-rumah yang ada disini kebanyakan adalah rumah panggung.
'Kenapa rumah panggung?' karena saat air pasang, air akan naik ke daratan dan merendam rumah yang berada di pinggir sungai.
Oleh karena itu rumah masyarakat disini hampir seluruhnya adalah rumah panggung yang bertiang tinggi.
"Assalamu'alaikum, Bu ... Ibu, Mila pulang!" Serunya saat kami sudah sampai didepan pintu.
"Wa'alaikumussala, loh kok pulang? Ibu rencananya besok mau ke pesantren, tapi tak apalah," Ibu, menjawab salam Mila dan langsung mengajukan pertanyaan. Kami pun mencium punggung tangan Ibu Mila secara bergantian.
"Persediaan makan dan uang Mila sudah habis Bu, oleh karena itu aku pulang ditemani oleh Lia," jawabnya sambil cengengesan.
"Ya sudah, ayo kalian masuk. Cuci tangan, dan muka kalian abis itu kalian langsung makan," ucap ibunya pada kami.
"Iya Wak."
"Iya Bu."
Jawab kami bersamaan.
Setelah makan kami langsung bergegas menuju tepi sungai, untuk melakukan ritual mandi yang sudah kami rencanakan.
Takut-takut namun, menantang, itulah rasa yang ku alami. Saat menurunkan kaki ke dalam sungai, aku selalu saja terkejut.
Terkejut karena kakiku seperti ada yang mengigit, kalau dulu aku sampai naik secepat mungkin karena gigitan tersebut, tapi kalau sekarang hanya sebatas kaget yang kurasakan.
Karena aku sudah paham betul dan tau apa yang mengigit kakiku. Kata Mila, itu adalah ikan kecil yang suka memakan sel kulit mati, yang ada di kaki kita.
Dulu aku merasa ngeri namun, sekarang aku menikmatinya, kan lumayan ada terapi ikan gratis.
Kadang aku juga menemukan kerang-kerang kecil yang menempel di tiang kayu penyangga bilah bambu.
Terkadang aku merasa iri terhadap orang-orang yang bisa berenang dengan bebasnya, sedangkan aku tidak.
Namun, walaupun begitu aku tetap merasa senang, karena dengan kekuranganku ini semua teman-teman yang tahu. Mereka akan menjaga dan memperhatikanku saat di dekat air.
Kadang aku diomelin, karena suka main air namun, tidak bisa berenang. Sungguh aku sangat bersyukur atas nikmat yang kumiliki ini. Aku sangat yakin dengan kata-kata 'dibalik kesusahan pasti ada kemudahan'.
**Karena Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuan orang tersebut. Teruslah belajar untuk bersabar, ikhlas adalah kunci hidup bahagia.
Bagaimanapun hidup yang kalian alami, yakin lah bahwa ada siang setelah malam, ada hujan setelah mendung dan ada cahaya setelah gelap.**
"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut."Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan."Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut."Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal."Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya."Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa
Tatapan itu seolah mengunci pergerakan langkahku.Hati bergumam namun mulut tak mau berucap.Rasa ingin melawan, dikala mulut tak mampu berujar dari tatapan seolah bermakna.***Kami menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah penduduk, pemandangan yang masih asri tersuguh dihadapan, guna memanjakan mata yang melihatnya.Perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan, aku benar-benar bisa melupakan kerinduan tentang keluargaku nan jauh di sana barang sejenak.Namun, aku tak memungkiri rasa itu akan hadir menyelinap ke relung hati yang sepi dikala aku sendiri.Aku menatap wajah Mila sejenak yang berada di sampingku, sangat terlukis nyata, gambaran kebahagiaan di wajahnya. Tanpa sadar ataupun tidak rasa itu ikut menjalar ke relung sukma."Lia, kamu kenapa liatin aku gitu amat," protesnya setelah menangkap basah aku sedang memandangnya.
Lia hanya diam, tidak berniat menerima ataupun menolak. Dia bingung dengan hatinya, menolak takut menyakiti sedangkan menerima takut tersiksa perasaan sendiri. Keheningan mengiringi langkah mereka berdua, Erik juga tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat Lia tidak nyaman. Sebenarnya dia tahu akan perasaan Lia. Namun, dia menepis semua itu. Sedangkan Lia tak ingin menerima Erik lantaran seminggu sebelum ini, Erik pernah menyatakan cinta kepada seseorang temannya. Tak mungkin bagi Lia jika menerima seseorang, yang belum jelas akan perasaannya sendiri. Apa memang benar Erik mencintainya, atau cuma sekedar mencari pelarian lantaran baru ditolak seorang wanita. ***Sore menjelang, sumburat cahaya jingga menghiasi langit senja. Matahari mulai turun ke peraduan, malam mulai menyongsong mengantikan siang. Kini Lia dan Mila telah berada di rumah, bersiap untuk shalat magri
Kata cinta bak mutiara yang indahNamun, kata itu juga bisa membuat lukaTersayat tapi, tak berdarahSakit, perih dan ngilu bagai teriris sembilu.***Matahari telah menyingsing menyingkap tabir dibalik kegelapan malam. Berganti sejuknya pagi dengan tetesan embun. Suara burung bersautan, berkicau menemani hari yang indah."Besok pagi kita udah harus di pesantren ya?" Mila bertanya dengan lesu."Iya, kenapa emangnya. Kan kita udah janji sama ustadzah," sahut Lia tanpa mempedulikan wajah Mila yang murung.Mila tidak
Persahabatan yang tulus tak pernah menuntut atau 'pun meminta hal 'tak mungkin.Persahabatan saling mengerti, menerima, dan melengkapi.Mengingatkan di kala salah,Merangkul di kala bersedih. Itulah arti dari persahabatan, persahabatan tanpa syarat.***Saat tengah sibuk dengan perdebatan kecil mereka, tiba-tiba Ibu memanggil mereka."Ayo ..., ibu manggil tuh!" ajak Mila sambil mengarahkan pandangannya ke pondok."Bentar, aku mau bawa ini dulu. 'Kan sayang pepayanya," jawab Lia menahan langkah kaki Mila yang hampir melangkah jauh.
Hutan yang mereka lalui sedikit lagi berlalu dan berganti padang rumput hijau nan indah. Karena kurang berhati-hati saat berjalan Lia hampir saja tergelincir, dengan sigap Erik menarik tangan Lia. Namun hal tak terduga terjadi.....Lia hampir terduduk di tanah. Jika saja Erik tidak sigap, semua teman-teman di belakang mereka tiba-tiba berhenti saat melihat kejadian itu."Ka — kamu, gak apa-apa kan?" tanya Erik sedikit tergagap."Gak apa kok tapi, apa kamu bisa melepaskan tanganmu dari lenganku?" jawab Lia sambil menunduk, karena rasa malu. Bagai awan hitam yang seakan menumpahkan hujan."Oh — maafkan aku, aku cuma berniat menolong," jawab Erik sembari melepas genggaman tangannya di lengan Lia."Iya— gak apa