**Sungguh indah kuasa-Mu, takjub netra memandang hasil karya luar biasa. Tak' pernah bosan aku bersyukur, sanubari tersenyum bahagia tatkala matahari menyongsong pagi.**
🌹🌹🌹
Kami terus bercerita, tanpa terasa kami sudah separuh jalan. Hutan yang lebat dan sepi, terdengar riuh tatkala kami melintasi nya. Canda tawa kami seakan bergemah didalam hutan.
Saat ini kami sudah melewati hutan yang berganti hamparan sawah yang membentang sejauh mata memandang.
Aku selalu terkagum saat melihat hamparan yang indah ini, mataku seakan dimanjakan dengan pesonanya. Para petani berkumpul di bawah pondok-pondok kecil sambil terus memantau padi mereka.
Burung-burung Pipit beterbangan di atas tanaman padi, bunyi-bunyian yang khas dan orang-orangan sawah yang berada di tengah sawah.
Nuansa indah yang jarang kutemui, sorak-sorai saling bersahutan membuat suasana semakin ramai ditengah sawah hijau membentang.
Saat seperti inilah yang terkadang bisa membuat ku bahagia, sekaligus merasa rindu secara bersamaan. Betapa tidak, suasana ini akan sangat mengingatkan akan orangtuaku nan jauh di sana.
Aku menghela nafas panjang, rasa rindu menumpuk didalam dada. Tatapan mata mulai berkabut teringat keluarga yang jauh dimata namun, dekat dihati.
Namun, aku belum bisa pulang setelah kembali ke pesantren karena, aku sudah memakai izin pulang bulan ini.
"Lia, kenapa melamun?" Mila menyadarkanku dari lamunan yang melanda.
"Apa hamparan ini mengingatkanmu pada keluarga?" tanyanya lagi sambil menepuk bahuku pelan dan mengedarkan pandangannya sambil membuang nafas kasar, seakan ia juga merasakan rasaku.
Aku tersenyum, menganggukkan kepala. Menandakan tebakannya benar.
"Ya sudah, ayo kita lanjut perjalanan! sebentar lagi kita sampai rumah," Mila langsung menggandeng tanganku, mengajak mengayunkan langkah kaki yang sempat terhenti.
Jalan yang kami lalui begitu indah, hamparan sawah hijau, di tengah dan pinggirnya terdapat bunga Lotus yang sedang mekar. Keindahan pagi yang sangat indah, matahari pun menyinari dengan sepenuh hati.
"Sungguh, kenikmatan yang mana lagi yang ku dustakan," gumam ku didalam hati, sambil terus menyusuri alam indah ini. Hasil mahakarya luar biasa ciptaan Allah.
Perjalanan terus berlanjut, tak' terasa kami sudah sampai di sungai yang membelah kampung halaman Mila. Untuk sampai ke kampungnya, kami harus menyeberangi sungai ini.
Kami menaiki perahu, saat pertama kali mencobanya aku merasa 'ngeri-ngeri sedap' karena aku tidak bisa berenang. Walau seperti itu, aku tak' pernah berpikir untuk menyudahinya malahan aku merasa ketagihan.
'Aneh kau ... gak bisa berenang bukannya takut, malah kesenangan!'
Ada yang pernah bilang seperti itu padaku. Namun, aku hanya tersenyum tidak menanggapi karena menurut ku tak' ada yang salah pada kata-katanya. Yang dia katakan memang benar adanya.
Biarlah aku di anggap aneh, toh perkataan itu tak kan mengurangi tekatku untuk naik perahu.
"Mila, siapa yang akan mengantar kita ke seberang?" tanyaku saat sudah berada di dekat deretan perahu nelayan.
"Budi yang akan mengantar kita," jawabnya sambil melihat sekeliling seperti mencari sesuatu, "itu dia!" tunjuknya saat melihat yang dicari sudah tertangkap netra.
Aku mengikuti arah tunjuknya, di sana sudah ada Budi yang tengah mempersiapkan perahu untuk kami menyeberangi sungai.
Ya — kami tadi memang pulang bersama, orangtuanya sedang berada di sawah yang kami lalui tadi. Jadi, tidak sulit juga baginya mendapatkan perahu untuk menyeberang.
Seperti biasa, saat di atas perahu tanganku selalu terulur kedalam air. Ada kesenangan tersendiri saat melakukan itu, rasa damai di dalam hati menyeruak bersama aliran air yang membelai tanganku.
"Mila saat sampai rumahmu, aku ingin segera mandi ya. Aku merindukan berendam di dalam sungai," pinta ku sambil tersenyum bahagia, memang benar walau sejenak aku bisa melupakan rasa rindu terhadap keluarga.
"Iya ... nanti akan ku temani, aku juga ingin segera mandi. Sudah gerah juga nih badan, perjalanan yang kita tempuh 'kan lumayan jauh. Berendam di sungai bisa melepas penat juga loh," jawabnya sambil cengengesan.
"Iya, oleh karena itu aku sangat ingin berendam didalam sungai," ucapku sambil menerawang jauh. "Airnya yang dingin dan menyegarkan, aku ingin segera sampai!"
"Sabar neng, bentar lagi juga sampai," ucap Mila sambil geleng-geleng kepala karena melihat tingkahku seperti ikan yang akan bertemu dengan air.
Tidak sabar rasa hati ingin segera sampai, saat mandi di sungai aku bisa merasa nyaman walaupun aku tidak bisa berenang.
**Makan nasi pakai sambalSambal ditumbuk hingga halusPersahabatan bukan abal-abalNamun, disertai rasa yang tulus*****Sekitar setengah jam, kami berempat berada di atas perahu. Pasti ada yang nanya 'kenapa berempat ya, bukannya tadi cuma bertiga?'Ya ... berempat, Aku, Mila, Budi dan satu lagi adalah saudara laki-laki Budi. Dia ikut sebab perahu akan dibawa kembali kesawah saat setelah mengantar kami bertiga.Kami berhenti tepat didepan bilah bambu bertiangkan kayu ulin, yang di susun dipinggir sungai, sebagai labuhan untuk perahu yang kami tumpangi.Setela
"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut."Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan."Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut."Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal."Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya."Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa
Tatapan itu seolah mengunci pergerakan langkahku.Hati bergumam namun mulut tak mau berucap.Rasa ingin melawan, dikala mulut tak mampu berujar dari tatapan seolah bermakna.***Kami menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah penduduk, pemandangan yang masih asri tersuguh dihadapan, guna memanjakan mata yang melihatnya.Perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan, aku benar-benar bisa melupakan kerinduan tentang keluargaku nan jauh di sana barang sejenak.Namun, aku tak memungkiri rasa itu akan hadir menyelinap ke relung hati yang sepi dikala aku sendiri.Aku menatap wajah Mila sejenak yang berada di sampingku, sangat terlukis nyata, gambaran kebahagiaan di wajahnya. Tanpa sadar ataupun tidak rasa itu ikut menjalar ke relung sukma."Lia, kamu kenapa liatin aku gitu amat," protesnya setelah menangkap basah aku sedang memandangnya.
Lia hanya diam, tidak berniat menerima ataupun menolak. Dia bingung dengan hatinya, menolak takut menyakiti sedangkan menerima takut tersiksa perasaan sendiri. Keheningan mengiringi langkah mereka berdua, Erik juga tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat Lia tidak nyaman. Sebenarnya dia tahu akan perasaan Lia. Namun, dia menepis semua itu. Sedangkan Lia tak ingin menerima Erik lantaran seminggu sebelum ini, Erik pernah menyatakan cinta kepada seseorang temannya. Tak mungkin bagi Lia jika menerima seseorang, yang belum jelas akan perasaannya sendiri. Apa memang benar Erik mencintainya, atau cuma sekedar mencari pelarian lantaran baru ditolak seorang wanita. ***Sore menjelang, sumburat cahaya jingga menghiasi langit senja. Matahari mulai turun ke peraduan, malam mulai menyongsong mengantikan siang. Kini Lia dan Mila telah berada di rumah, bersiap untuk shalat magri
Kata cinta bak mutiara yang indahNamun, kata itu juga bisa membuat lukaTersayat tapi, tak berdarahSakit, perih dan ngilu bagai teriris sembilu.***Matahari telah menyingsing menyingkap tabir dibalik kegelapan malam. Berganti sejuknya pagi dengan tetesan embun. Suara burung bersautan, berkicau menemani hari yang indah."Besok pagi kita udah harus di pesantren ya?" Mila bertanya dengan lesu."Iya, kenapa emangnya. Kan kita udah janji sama ustadzah," sahut Lia tanpa mempedulikan wajah Mila yang murung.Mila tidak
Persahabatan yang tulus tak pernah menuntut atau 'pun meminta hal 'tak mungkin.Persahabatan saling mengerti, menerima, dan melengkapi.Mengingatkan di kala salah,Merangkul di kala bersedih. Itulah arti dari persahabatan, persahabatan tanpa syarat.***Saat tengah sibuk dengan perdebatan kecil mereka, tiba-tiba Ibu memanggil mereka."Ayo ..., ibu manggil tuh!" ajak Mila sambil mengarahkan pandangannya ke pondok."Bentar, aku mau bawa ini dulu. 'Kan sayang pepayanya," jawab Lia menahan langkah kaki Mila yang hampir melangkah jauh.