"Baiklah, kalian saya izinkan pulang. Namun, hanya dua hari setelah itu kalian harus segera kembali ke pesantren," kata Ustadzah mengizinkan tapi, tetap ada syarat yang harus kami patuhi.
"Baik ustadzah ..., kami akan kembali setelah dua hari," jawab Mila.
"Terima kasih ustadzah," ucap kami serempak.
***
"Ayo ikut aku!" Lagi-lagi Mila menarik tanganku, sedangkan aku hanya pasrah menuruti kemana langkah kakinya melangkah.Aku hanya diam disamping, sambil terus memperhatikan langkahnya yang cepat. Seakan sedang diburu sesuatu, aku ingin bertanya.
Namum, setelah aku mulai memperhatikan arah jalan yang mendekati pondokan santriwan. Kurasa, aku sudah mengetahui maksud dan tujuannya datang kesini.
"Assalamu'alaikum, Budi!" Mila berseru memanggil orang yang berada didalam pondok. "Budi ... Budi ... kamu ada didalam gak?" panggilnya lagi.
"Wa'alikumussalam, kenapa teriak-teriak sih Mila?" jawab Budi dari dalam pondok, tak lama dia membuka pintu dengan wajah sedikit acuh dan menaikan sebelah alisnya.
"Kan kamu bisa, manggil dengan lemah lembut selayaknya wanita muslim yang sholeha," ucapnya lagi setelah pintu pondoknya terbuka lebar.
Budi berjalan maju dan duduk di deretan tangga pondoknya, karena memang posisi pondoknya yang seperti rumah panggung pada umumnya yang mempunyai tiang di setiap sudutnya.
"Alah ... kayak gak tahu sama aku aja, aku tidak bisa bersikap selayaknya wanita yang kau sebutkan tadi," ucap Mila tak kalah sengit.
"Ah ... kau ini. Coba tuh lihat Lia, tidak kayak kau," balas Budi, masih belum ingin mengakhiri pertengkaran mereka.
"Ya jelas bedalah, kalau aku seperti Lia berarti aku bukan seorang Mila!" ucapnya tak kalah telak.
"Sudah, kalian ini selalu saja ribut!" tukas ku berusaha menengahi. "Mila, balik ke tujuan awal. Jangan beradu mulut terus," tegurku lagi.
"Dia tuh yang mulai duluan," ucap Mila berusaha membela diri.
"Lah ..., kau yang teriak, kenapa aku yang kena," jawab Budi cuek.
Aku hanya menggelengkan kepala dan bermaksud membalik badanku tuk pergi, karena tak ingin berlama-lama di sana.
"Eh … iya iya … gini loh Budi, kamu jadikan pulang besok? kalau jadi, kita pulang sama-sama ya!" ucap Mila mengutarakan maksudnya datang ke sini sambil sedikit gelagapan karena melihatku akan pergi.
"Insya Allah jadi, mau pulang jam berapa besok?" tanya Budi untuk mempersingkat waktu.
"Jam 6 pagi, kalau lewat jam itu takutnya cuaca akan sangat terik,"
"Lia ikut kamu pulang?" tanya Budi dengan sedikit melirik kearahku.
"Iya ...! karena aku yang ngajak dia, ya ... itung-itung ada teman ngobrol saat perjalanan," ucap Mila sambil cengengesan.
"Ok. Kalian, ku tunggu di ujung jalan setapak di bibir hutan," ucap Budi sambil tersenyum kearah Mila, seakan tadi tak pernah terjadi apa-apa.
"Ok, tunggu kami ya. Jangan ditinggal, awas aja kalau sampai ninggalin! ucap Mila sedikit mengancam.
"Iya bawel ...," balas Budi mengakhiri percakapan.
Aku hanya bisa tersenyum, menggelengkan kepala. Melihat tingkah sahabatku satu ini.
Ya– ia berniat untuk menjenguk teman satu kampungnya, yang juga ingin pulang esok pagi. Setelah selesai dengan urusan itu, kami bergegas kembali ke asrama santriwati.
Di pesantren tempatku menimbah ilmu ini sungguh unik. Bagaimana tidak, santriwatinya tinggal di asrama sedangkan para santriwan tinggal di pondokan yang mereka bikin sendiri.
Salah-satu keunikan inilah yang menjadi daya tarik. Disini kami bisa bercocok tanam, pergi memancing dan yang uniknya lagi, disini kami mandi masuk ke dalam hutan. Ya– hutan. Hutan bakau yang lebat namun, tak berbahaya.
Namun, akan sedikit menakutkan saat musim hujan melanda, kami akan berjalan ditengah air yang membanjiri hutan bakau disekitar pesantren, yang menambah parah adalah Lintah yang ada di dalam air saat banjir melanda.
Aku pernah dua kali dihinggapi lintah, rasanya aku ingin secepatnya lari dari dalam air.
Aku sedang berjalan arah pulang saat selesai mandi, aku melewati air yang menggenang sebatas pinggang karena banjir.
Saat itu, aku cuma seorang diri karena kesiangan jadilah aku tanpa teman yang menemani.
"Apa sih yang sadang menggigit tanganku?" karena tanganku sedang berayun di dalam air seirama dengan langkah kaki.
"Kenapa gatal ya ... apa mungkin ...?" aku langsung menganggkat tangan kiriku dan kulihat lintah yang sedang melingkar di telapak tangan.
Aku langsung berteriak histeris, berusaha melepaskan gigitannya dengan cara mengibaskan tangan sekuat tenaga. Akhirnya Lintah pun terlepas.
Namun, saat aku melihat kebelakang tempat Lintah terjatuh tadi. Lintahnya sedang berenang ke arah ku.
Sontak membuatku mengambil langkah seribu, yang semula berjalan terasa berat karena air. Tiba-tiba terasa seperti melayang, sangking panik dan takutnya.
Yang menimbah ilmu disini, sudah pasti pernah merasakan bagaimana digigit oleh Lintah. Rasa gatal, rasa ngeri, rasa geli, darah yang mengalir dari bekas gigitan dan rasa takut bila masuk kedalam tubuh.
Semua rasa menjadi satu namun, kami bersyukur sampai saat ini tidak ada Lintah yang masuk kedalam tubuh. Inilah kuasa Allah, yang tak akan pernah menimpahkan masalah di luar kemampuan hamba-Nya.
Walau bagaimanapun kami nyaman dengan keadaan ini, dan satu lagi para santriwan tidak akan mengintip. Kerena, mereka takut dengan hukuman yang sudah menanti saat mereka berani melanggar.
Pukul lima-enam pagi adalah waktunya jam mandi. Saat inilah, saat yang penuh kebahagiaan. Kami bisa tertawa lepas, bercanda gurau, serta bergantian mengambil air.
Suatu saat ini semua akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku, yang tak pernah bisa aku lupakan.
***
"Mila, aku balik ke asrama dulu ya," ucapku setalah kami sampai di depan gedung sekolah."Untuk menyiapkan keperluan esok pagi," sambungku lagi. Mila mengangguk dan tersenyum tanda setuju.
Asramaku dan Mila berada di tempat yang berbeda. Mila di asrama sebelah timur sedangkan aku di sebelah barat.
Pertama kali masuk pesantren, asrama yang kutinggali satu lokasi dengan Mila. Namun, seiring berjalannya waktu, aku dipercayai untuk menjadi ketua di asrama Putri bagian barat.
Diantara asrama kami, terdapat bangunan sekolah. Tempat kami belajar setiap harinya, dalam satu kamar asrama bisa dihuni lima sampai enam santriwati.
Namun–, jangan dikira kami akan selalu akur. Kami akan bertengkar saat ada selisih paham, bahkan ada yang sampai saling jambak jilbab.
Terkadang aku hanya tersenyum miris, disini kami dipaksa dewasa, belajar untuk menyelesaikan masalah dan belajar untuk lebih bertanggung jawab.
Pernah ada suatu kejadian, tanpa sengaja aku masuk dalam masalah itu. Meraka bertengkar, entah masalah apa yang mereka hadapi, aku pun tak paham.
Santriwati yang menyaksikan dan memisahkan mereka, bertanya padaku. Kubilang saja.
'Mungkin mereka memperebutkan kakak angkat'
jawabku. Karena seingat yang aku tau, salah satu dari mereka pernah bercerita dan mereka pernah bertengkar masalah itu.***
Disini mereka terkadang berlomba mencari kakak angkat yang dianggap sempurna. Jika mereka sudah memilih.
Sangkandidat akan menerima surat peryataan atau pengangkatan secara resmi menurut mereka. Jika orang yang dituju setuju, maka mereka tidak boleh memiliki adik angkat yang lain lagi.
Mungkin terdengar sedikit lucu. Namun, menurutku cara yang seperti ini adalah kata lain untuk mengikat seseorang yang mereka sukai selain dengan kata pacaran.
***
Ternyata–, sudut pandangku salah. Mereka bukan bertengkar masalah itu namun, masalah lain.
Salah satu dari mereka bertanya padaku, apa benar aku pernah berbicara seperti itu. Ya–, aku mengakui bahwa memang benar, itu semua pernah aku ucapkan.
Alhamdulillah dia bisa menerima penjelasan yang ku berikan, aku pun meminta maaf atas perbuatan yang sudah lancang itu. Saat itu lah aku teringat salah-satu hadist yang artinya
**“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam”
(HR Muslim no 222).**
Dalam hadits ini, Nabi SAW mengaitkan antara berkata baik dengan keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir.
Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati dalam lisan ku.
Pagi pun menyingsing, sinarnya menyeruak dari ufuk timur. Malam dingin berganti dengan pagi yang hangat.Ayam berkokok saling bersautan, bagai alarm yang setia setiap pagi berbunyi. Membantu orang-orang terbangun dari lelapnya tidur dimalam hari.***Saat menjelang shalat subuh, kami semua di bangunkan oleh para santri yang berjaga. Gembok di luar pintu pun dibuka, agar kami semua bisa shalat berjamaah di musholla.Saat malam selepas ba'da insya, pintu asrama akan di gembok dari luar dan dibuka lagi menjelang subuh. Begitulah setiap malam.Para santriwan akan berjaga di sekeliling pesantren, menyusuri lorong-lorong asrama yang temaram karena minimnya pencahayaan dan setiap sudut pesantren guna memastikan keadaan sekitar aman.Terkadang mereka juga akan minta dibuatka
**Sungguh indah kuasa-Mu, takjub netra memandang hasil karya luar biasa. Tak' pernah bosan aku bersyukur, sanubari tersenyum bahagia tatkala matahari menyongsong pagi.** 🌹🌹🌹 Kami terus bercerita, tanpa terasa kami sudah separuh jalan. Hutan yang lebat dan sepi, terdengar riuh tatkala kami melintasi nya. Canda tawa kami seakan bergemah didalam hutan. Saat ini kami sudah melewati hutan yang berganti hamparan sawah yang membentang sejauh mata memandang. Aku selalu terkagum saat melihat hamparan yang indah ini, mataku seakan dimanjakan dengan pesonanya. Para petani berkumpul di bawah pondok-pondok kecil sambil terus memantau padi mereka. Burung-burung Pipit beterbangan di atas tanaman padi, bunyi-bunyi
**Makan nasi pakai sambalSambal ditumbuk hingga halusPersahabatan bukan abal-abalNamun, disertai rasa yang tulus*****Sekitar setengah jam, kami berempat berada di atas perahu. Pasti ada yang nanya 'kenapa berempat ya, bukannya tadi cuma bertiga?'Ya ... berempat, Aku, Mila, Budi dan satu lagi adalah saudara laki-laki Budi. Dia ikut sebab perahu akan dibawa kembali kesawah saat setelah mengantar kami bertiga.Kami berhenti tepat didepan bilah bambu bertiangkan kayu ulin, yang di susun dipinggir sungai, sebagai labuhan untuk perahu yang kami tumpangi.Setela
"Ayo ... sini nanti kuajarkan berenang!" seru Mila terhadapku yang hanya duduk di bilah bambu yang ada di sungai tersebut."Tidak mau ah ... aku takut tenggelam, nanti kamu melepaskan genggaman tanganmu lagi," ucapku sambil cengengesan, karena aku sudah tahu apa yang bakalan ia ucapkan."Memangnya kamu pikir aku gak ada perasaan gitu, memangnya aku tega buat kamu tenggelam di sungai, memangnya aku sekejam itu. Tega ya kamu!" ucapnya sambil cemberut."Tuh kan, sudah kuduga ocehan anpaedah nya keluar," pikirku sambil menggaruk lengan yang tak gatal."Terimakasih Mila karena sudah mau jadi sahabatku," gumamku dalam hati sambil tersenyum sangat manis kepadanya."Kebiasaan ya ... kamu itu suka banget godain aku, kan jadi keluar cerewetnya aku," ucapnya masih cemberut.
Setengah jam berlalu setelah kepergian Mila, aku pun mulai membereskan peralatan mandi yang tadi kami bawa bersama, saat ingin turun ke sungai.Badanku terasa sangat segar setelah berendam begitu lama, penat yang kurasakan tadi tak lagi melanda.Aku mulai menapaki tanjakan yang dibentuk seperti tangga tersebut, satu-persatu anak tangga kulalui, seolah enggan untuk beranjak dari posisiku yang sekarang.Namun 'tak mungkin juga aku hanya menghabiskan waktu di dalam sungai dan terus menghitung anak tangga.Saat melanjutkan langkahku, diam-diam aku tersenyum, teringat akan pepatah lama 'roda terus berputar' begitu juga dengan yang kualami sekarang.Menapaki anak tangga, seolah kita memulai fase dalam kehidupan. Memulai dari bawah untuk terus menanjak ke atas, selalu berusaha walaupun keadaan tak semudah melalui jalan yang lurus.Kehidupan —, kadang aku berpikir.
Setelah selesai berkeliling, kami semua mulai menaiki perahu untuk menyeberang ke hulu sungai. Total kami sekarang ada enam orang, sedangkan yang menjalankan perahu adalah Budi.Tak ada wajah ketegangan, yang kulihat hanya wajah bahagia yang terukir indah dalam tatapan netra. Kalau ada yang bertanya keadaanku bagaimana? jawabanya hanya satu kata 'bahagia'. Ya, bahagia itulah yang aku rasakan.Entah mengapa, saat bersentuhan dengan air aku merasa sangat bahagia. Tangan mulai terulur membelai air seiring berjalannya perahu yang kami tumpangi. Membelah sungai, dihari nan cerah matahari seolah berpihak."Kak Lia! kakakkan tidak bisa berenang, apa tidak takut kalau seumpama perahu terbalik dan kakak akan tenggelam?" tanya Mirna, salah satu adik kelaku di pesantren yang ikut dalam rombongan."Alhamdulillah tidak takut dek, walaupun kakak tidak bisa berenang," seketika sedikit rasa takut menyelinap dalam sa
Tatapan itu seolah mengunci pergerakan langkahku.Hati bergumam namun mulut tak mau berucap.Rasa ingin melawan, dikala mulut tak mampu berujar dari tatapan seolah bermakna.***Kami menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rumah penduduk, pemandangan yang masih asri tersuguh dihadapan, guna memanjakan mata yang melihatnya.Perjalanan kali ini terasa sangat menyenangkan, aku benar-benar bisa melupakan kerinduan tentang keluargaku nan jauh di sana barang sejenak.Namun, aku tak memungkiri rasa itu akan hadir menyelinap ke relung hati yang sepi dikala aku sendiri.Aku menatap wajah Mila sejenak yang berada di sampingku, sangat terlukis nyata, gambaran kebahagiaan di wajahnya. Tanpa sadar ataupun tidak rasa itu ikut menjalar ke relung sukma."Lia, kamu kenapa liatin aku gitu amat," protesnya setelah menangkap basah aku sedang memandangnya.
Lia hanya diam, tidak berniat menerima ataupun menolak. Dia bingung dengan hatinya, menolak takut menyakiti sedangkan menerima takut tersiksa perasaan sendiri. Keheningan mengiringi langkah mereka berdua, Erik juga tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat Lia tidak nyaman. Sebenarnya dia tahu akan perasaan Lia. Namun, dia menepis semua itu. Sedangkan Lia tak ingin menerima Erik lantaran seminggu sebelum ini, Erik pernah menyatakan cinta kepada seseorang temannya. Tak mungkin bagi Lia jika menerima seseorang, yang belum jelas akan perasaannya sendiri. Apa memang benar Erik mencintainya, atau cuma sekedar mencari pelarian lantaran baru ditolak seorang wanita. ***Sore menjelang, sumburat cahaya jingga menghiasi langit senja. Matahari mulai turun ke peraduan, malam mulai menyongsong mengantikan siang. Kini Lia dan Mila telah berada di rumah, bersiap untuk shalat magri