Sinar terang serta gambar penuh warna memenuhi layar, bunyi bising yang ditimbulkan berhasil memenuhi seluruh ruang. Kedua gadis itu terlihat begitu khidmat menatap acara show sembari menikmati makanan di piring masing masing,
"The.."
"Hm?" Mengangkat alis dengan raut penuh tanda tanya,
"Terus, tadi nenekmu tahu kalau kau kabur?"
"Enggak! nenek kira aku ga dateng, soalnya pria itu ga ngeliat gadis baju kuning." sahutnya santai memasukkan sesuap makanan ke dalam mulut,
"Terus aku juga belum sempet bilang. Tiba tiba aku matiin telpon nenek, saking kagetnya." ucap Thea sambil menikmati rasa yang menjalar di setiap kunyahan,
"Lah terus---sekarang gimana? Kalo nenek tanya, kamu bakal jawab apa?"
"Ga tau, kayaknya aku ga mau pulang dulu. Aku numpang ya?" celetuk Thea memasang raut polos dengan sorot penuh harap,
"Gampang. Tinggal aja selama yang kau mau, gratis kok!"
"Hehe, makasih!" ujarnya tersenyum lebar, merasa lega karena telah berhasil mengatasi satu beban dalam hidup.
Setelah selesai menghabiskan makan malam, mereka berdua gadis bergegas pergi ke dalam kamar. Seperti biasa, membiarkan sampah serta perabotan kotor memenuhi meja dan lebih memilih membereskan itu semua selepas fajar.
Membaringkan diri ke atas ranjang berukuran besar di dalam kamar Manda. Saling menatap langit sembari mengumpulkan rasa kantuk,
"Tapi ya Thea, kalau emang bener. Apa coba alasan nenek mau jodohin kamu sama pria tua tadi?" sontak Manda tanpa menoleh,
"Itu juga yang aku pikirin dari tadi! Emangnya aku sehina itu, sampe dijodohin sama kakek kakek.." Menekuk bibir,
"........" Tanpa sadar benak mereka tengah memikirkan hal yang sama, mencari alasan dibalik kejadian tadi. Hingga memunculkan secuil spekulasi yang membuat Thea terbelalak, segera menundukkan diri.
"Ada apa?" tanya Manda melirik punggung gadis itu,
"Gimana kalo tebakanku benar? Jangan jangan sebenarnya aku sama nenek adalah orang miskin! T-terus selama ini, uang yang kami pake adalah hasil utang ke pria tua tadi!" lugasnya menoleh dengan raut cemas.
Membuat Manda tertegun merasa jengkel dengan jalan pikiran temannya yang terkesan berlebihan dan terlalu penuh khayalan. Begitu segan untuk segera beranjak duduk demi memukul kening Thea dengan sangat keras,
"Aw. Sakit! kok malah dipukul sih?" Berulang kali mengusap bagian tubuhnya yang terasa nyeri,
"Lagian kamu ngomong ga jelas! Ga usah halu jadi oranh miskin. Sejak kapan ada cerita keluarga Briella yang punya perusahaan, harus ngutang ke kakek kakek?" bantah Manda merasa kesal,
"Iya juga sih.." cicitnya menekuk bibir,
"Ya udah! Mending sekarang kamu mikir gimana cara jelasin ke nenek. Aku takut nanti kamu diusir dari rumah karena dikira jadi cucu durhaka," tegas Manda berusaha membujuk.
"Tenang aja! Aku itu cucu kesayangan nenek. Nenek pasti khawatir kalo tau aku ga pulang! Pasti besok langsung nelfon terus bilang----Thea cepet pulang, nenek janji ga bakal maksa kamu buat ikut perjodohan."
Gadis itu begitu antusias menyahuti kekhawatiran Manda sambil memperagakan logat khas neneknya.
******Keesokan hari.
Waktu berlalu begitu cepat meski harus dilalui dengan cara membosankan. Sebagai mahasiswa nyaris lulus, serta seorang pengangguran dia harus menghabiskan harinya di dalam ruang luas sembari menunggu kedatangan Manda yang telah memiliki kesibukan dalam kehidupan kerja.
Bak penjaga rumah, Thea hanya bisa berduduk santai menikmati tontonan juga makanan yang telah disediakan pemilik tempat hingga malam tiba.
Ceklek...
Sorot matanya sigap menatap ke arah lain, setelah mendengar suara pembatas. Tanpa lama mendapati sosok gadis menenteng tas baru saja pulang setelah menjalani beberapa pemotretan.
Kantong plastik putih transparan terlihat menggantung di sela jari, begitu mudah bagi Thea mendapati bungkus makanan di dalamnya.
"Wih. Bawa apaan tuh?" celetuknya datar, masih tenggelam dalam suasana paling membosankan dalam hidupnya.
"Nih, makan.." Meletakkan kantong yang diawa ke atas meja,
"Makasih..." gumam Thea dengan raut lesu,
Tubuh ramping itu merosot hingga menuruni kursi, membuatnya nyaris tergeletak di atas lantai. Perlahan membenarkan posisi sembari mengeluarkan makanan dalam kantong plastik tadi,
Ekspresi tanpa semangat di wajah Thea semakin mengundang rasa penasaran di hati Manda. Begitu jarang melihat raut tak berdaya yang mengisyaratkan rasa kecewa,
"Kamu kenapa? Pasti nenek belum nelpon kan?"
"Ng..." menganggukkan kepala sambil menekuk bibir bawah,
"Ya udah, cepat telpon dulu."
"Ga mau! Aku yakin nenek sekarang sedang menangis tersedu sedu." tolak Thea dengan pasti,
"Benarkah?" Mengangkat alis,
"Iya! Nenek pasti sengaja jual mahal." seru Thea bersikukuh,
_________________2 hari kemudian.
Drt..
Drt..Drt..Terdengar dering suara yang berhasil masuk ke telinga Thea. Meski belum menyelesaikan panggilan alam, dengan rasa panik dia bergegas keluar dari dalam kamar mandi hanya demi menerima panggilan tadi.
Begitu cepat menghentakkan kaki, berlari keluar hingga mendapati Manda sedang menata makanan di atas meja.
"Manda! Telfonnya udah kamu angkat? Nenek bilang apa?" celetuknya begitu antusias menanti kalimat yang telah dilontarkan wanita tua tadi.
"Nenek apanya?" sahut Manda mengerutkan alis, tak dapat memahami awal perbincangan mereka.
"Tadi--bunyi telfon! Gak kamu angkat?"
"Oh. Udah! Telpon dari petugas antar makanan," lugasnya singkat,
"Hah! Pengantar makanan? Jadi bukan nenek yang nelpon?" ucap Thea berusaha memastikan,
"Ng..." Menggelengkan kepala,
Begitu sedih, merasakan sakit berkat sebuah tombak kebenaran yang menghancurkan harapan. Dengan raut lesu dia melangkah pergi,
"Mau kemana? Ayo makan!" celetuk Manda menoleh, berusaha menghentikan langkah kaki temannya,
"Aku mau ganti celana dulu," sahut Thea lesu,
5 menit kemudian,
"Kamu yakin ga mau nelpon dulu?" tawar Manda melirik gadis yang baru saja duduk,
"Engga. Aku yakin kalo nenek masih nyari cara buat bujuk aku pulang,"
________________
3 hari kemudian
Doeng!
Nyaris sepekan berlalu sudah, tanpa sebuah pesan atau satu panggilan telpon. Siapa sangka wanita tua itu begitu mudah mencampakkan Thea, apakah selama ini kasih sayangnya hanyalah kepalsuan ataukah Barsha menjadikan perjodohan sebagai alasan untuk mengusir Thea dari rumah? Karena dia tahu cucunya tidak mungkin tahan dengan semua itu,
"Aaa!!" pekik Thea berhasil membuat temannya berlari keluar kamar denngan sebuah masker kecantikan yang tengah dipakai.
Begitu panik segera mendekat bahkan tak menghiraukan waktu yang sengaja diluangkan untuk bersantai. "Ada apa, ada apa?!"
Menatap penuh cemas gadis yang sedang bersandar sambil memejamkan mata.
"Hiks. Manda!!" seru Thea menunjukkan matanya yang berkaca kaca,
"Ada apa? Kamu ga enak badan---pusing? Mau ku belikan sesuatu.." Segera menyodorkan telapak tangan demi mengecek suhu tubuh Thea,
"Kayaknya aku diusir beneran. Buktinya nenek ga nelpon, padahal ini udah 6 hari aku ga pulang ke rumah!"
Plak.
Tanpa ragu ditepuknya dengan keras pipi kanan Thea hingga membuat gadis itu merintih kesakitan, mengusap cepat pipi yang meninggalkan bekas merah.
"Aduh, kok di pukul sih!" cicit Thea menekuk bibir bawah,
"Lagian kamu! Dari kemarin kemarin, udah aku bilangin kan? Thea, telpon dulu---telpon nenek terus jelasin. Aku bilang gitu kan dari kemarin.."
"Udah sana, cepetan telpon!"
"Ga mau. Nanti aku dipaksa nikah sama pria tua! Emangnya kamu tega biarin aku dijodohin sama kakek kakek," sanggah Thea dengan raut sedih
"Yah terus, kamu mau gimana? Pasrah karena udah diusir?"
"Ya enggak gitu juga. Aku udah memutuskan hal lain,"
"Mulai hari ini aku bakal hidup mandiri. Jadi kamu harus bantu aku! Ya?"
"Mandiri kok minta bantuan," cibir Manda lirih sambil mengalihkan muka,
"Ih, kok gitu sih! Bantuin dong.."
"Yaudah iya. Aku bantuin, mau minta bantu apa?" tegasnya berusaha sabar,
"Kan kartu atm ku pasti diblokir sama nenek! jadi aku ga punya uang--"
"Itu gampang. Pake uang aku kan bisa!" timpal Manda segera menempatkan tubuhnya ke atas sofa. Berusaha kembali tenang sambil menepuk pelan area wajah,
"Engga engga! mendingan kamu bantuin aku cari kerja."
"Kerja---hah! Kerja?" sontaknya terbelalak ingin memastikan permintaan gadis itu,
"Iya. Besok kan aku wisuda, setelah itu lulus dapet gelar sarjana! Udah waktu yang tepat dong, buat nyari kerja."
"Dasar! Kamu baru nyadar? Kemana aja kemarin waktu teman yang lain pada kerja---kenapa baru mikirin itu sekarang."
"Kayaknya bagus juga nenek jodohin kamu! Kalo ga gitu, kamu ga akan kabur terus ga akan pernah mikir buat kerja." ketus Manda,
"Aduh, jangan ungkit itu dong! Jadi sekarang kamu mau bantuin ga?"
"Iya mau…" ujar Manda dengan logat malas,
"Yeay!!"
***Bersambung.Pukul 20.00 Di tempat yang sama, sofa panjang itu terisi dua gadis dengan kesibukan masing masing. Thea terlihat begitu antusias menatap iklan melalui layar televisi sedangkan Manda sedang sibuk mengokak atik benda dalam pangkuannya, "Oh ya. Kamu lulusan administrasi bisnis kan?" "He.em," gumam Thea mengangguk sambil mengunyah sisa snack yang ada di dalam mulut, "Kenapa emangnya?" "Mm, gimana kalo kamu kerja di kantor pamanku! Dia lagi butuh asisten pribadi." tawar Manda, "Asisten pribadi? Mm, emangnya harus lulusan administrasi bisnis?" "Ya enggak sih. Tapi setidaknya kamu ga terlalu sulit buat belajar jadi asisten pribadi." sahut Manda menjelaskan. "Bener juga sih. Kayaknya cocok, berapa gajinya?" Sedikit menaruh antusias pada harapan yang akan melepaskan sebagian beban hidup. "10 juta per bulan," "Lumayan--" angguk Thea menekuk bibir, "Lumayan jidatmu! Kalo di dunia kantor, gaji segitu u
"Huh, untung sama sama karyawan baru. Kalo ngga! Udah aku pukul pake ini," gerutu Thea dalam hati, mencengkram erat setumpuk dokumen serta map tadi lalu diletakkannya ke atas meja. "Cepat keluar! aku mau membuat kopi. Awas saja, kalo kamu belum pergi saat aku kembali!" seru Thea memberi tatapan sinis. Dengan cepat melangkah keluar lalu bergegas mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk membuat secangkir minuman serta menyiapkan sepiring kudapan sesuai anjuran Manda. Namun langkah Thea berhenti setelah berpapasan dengan karyawan wanita, segera menoleh dan menatap lekat nampan berisi hidangan di atasnya. "Tunggu, kau mau kemana?" Siapa sangka satu pertanyaab berhasil menghentikan langkah karyawan tadi, perlahan Thea melangkah mendekat dan menatap sekilas secangkir kopi hitam serta piring kecil berisi kue kering. "Siapa kau---kenapa menghentikanku? Apa kau tidak lihat kalau aku sedang menyiapkan ini semua untuk Pak Nathan," ketusnya te
"Keem.." "Cukup!" tegas Nathan menghentikan ocehan gadis itu, Sedikit merasa muak setelah mendengar jawaban tak sesuai harapan, dengan cepat tangannya beraluh membuka salah satu rak meja demi mengambil sebuah ipad. Segera disodorkan ke hadapan Thea, "Di dalam sini ada banyak file tentang rencana perjalanan, pertemuan dan beberapa catatan rapat tahun lalu." "Sekarang kamu siapkan kertas dan bolpoin, pilih 5 file lalu buat salinannya masing masing file 5 salinan." "T-tulis? semua yang tadi Bapak bilang, harus ditulis?" gumam Thea dengan raut terkejut, Setelah berkhayal mendapat beban tugas penuh hormat seperti pertunjukan dalam film, dia justru melaksanakan tugas remeh yang bahkan mampu dikerjakan oleh seorang bocah kecil. "Iya. Apa kamu tidak bisa menulis?" lugasnya dingin, "B-bisa!" "Lalu tunggu apalagi? Cepat kerjakan." "Saya ga bawa alat tulis." gumam Thea lirih sebelum menggigit bibir bawah,
"Sepertinya kemampuanmu sangat buruk. Saya kasih tambahan waktu, 3 jam harus selesai." ucap Nathan memalingkan muka,dan meraih berkas yang tadi gadis itu kerjakan. 3 jam kemudian. "Ehrg. Jariku sakit banget!" gerutu Thea, Berulang kali menjambak rambutnya untuk melupakan rasa sakit yang ia rasa. "Hhh, sampe mual lihat tulisan ini..Bosen woy, capek juga!" teriak gadis itu dalam hati, Tap. Ditaruhnya bolpoin tadi lalu Thea beranjak dari atas lantai,membawa buku itu dan disodorkan ke hadapan Nathan. "Ini Pak, sudah selesai.." Laki laki itu melirik sekilas ke arah tulisan yang ada di atas kertas. "Nanti malam latihan menulis, perbaiki gaya tulisannya. Ini terlalu jelek dan membuat sakit mata saya." ketus Nathan "Sial! mataku juga sakit.." celetuk Thea dalam hati, Mengepalkan kedua tangannya dengan erat,berusaha menahan emosi karena perkataan laki laki itu. "Ambil dan pelajari buku pedoman tul
"......" detiknya berlalu karena membisu, Thea terdiam sambil berulang kali membuka tutup telapak tangan kanan yang terasa nyeri. Seakan tengah berusaha memberi relaksasi bagi kelima jarinya, Ini pertama kali dia merasa begitu letih, mungkin wajar karena pengalaman pertama. Perlahan pandangannya beralih pada gadis yang masih setia memeluk selimut tebal, "Man. Ayo bangun! aku udah siap berangkat," ucap Thea mengeraskan suara. "Ng.." "Iya iya, ini aku bangun." gumam Manda perlahan membuka mata seraya menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong. "Ayo!" seru Thea sekali lagi demi mempersi
"Menurutku dia bukan gadis kompeten. Aku yakin dia masuk kesini dengan cara licik!" timpal suara gadis lain yang tak lagi asing di telinga Thea. Suara nyaring yang kemarin berhadapan dan sosok yang berhasil dihindari pagi tadi, "Ini suara wanita yang kemarin bawain kopi!" "Berarti--mereka beneran lagi gosipin aku?" benak Thea menggigit bibir bawah, semakin mendekatkan telinga pada pembatas demi memperlancar tujuannya sekarang. Menguping bukanlah hal baik tentu semua orang tahu akan hal itu, namun bagaimana lagi? Mendengar sesuatu tentang diri sendiri bukanlah suatu kejahatan. Jadi Thea tak merasa menyesal meski harus melakukan hal secara diam-diam, "Licik--apa maksudmu?" tanya Mia mengerutkan alis,
"Aduh, gila banget nih orang!" gumam Thea lirih, Kenapa dia selalu bertemu pria tidak waras atau memang seluruh dunia ini dipenuhi wajah tampan tanpa akal? Demi mempertahankan posisi, Thea harus segera pergi dan cara yang tersisa hanyalah kekerasan. Tak mau berpikir ulang, ditancapkannya kedua gigi taring pada pergelangan tangan yang masih mencengkram erat. "Aw.." rintihnya, reflek melepas tangan dan membiarkan Thea lari menjauh. Secepat mungkin memasuki lift, hanya saja karena keberuntungan yang telah berpaling. Gadis itu harus terjebak di tengah karyawan yang tengah aktif memanfaatkan waktu pada jam makan siang, Bersama dengan lima karyawan lain yang tentu saja lebih dulu datang, mau tidak mau dia harus sabar menunggu untuk bisa pergi pada lantai yang dituju. "Kak Mia, sudah makan siang?" sontak salah satu karyawan asing, Seketika membuat perhatian Thea beralih karena mendengar nama tad
"Sudah sampai mana?" "Ha?" sontak Thea merasa bingung dengan respon laki laki itu. Kenapa masih harus ada pertanyaan di ujung penantian, apakah tidak bisa membiarkannya tenang tanpa harus berpikir keras. "Aturan tadi. Kamu sudah hafal sampai mana?" "Oh. Saya sudah hafal sampe aturan ke 45," "Bawa pulang dan pelajari di rumah, dalam 3 hari kamu harus hafal semua aturan. Tapi mulai besok kamu sudah harus ikut kemanapun saya pergi---siap siaga selama 24 jam." ujar Nathan, "Baik Pak, nanti saya akan lanjut membaca dan menghafal sampe selesai! Kalo begitu saya pamit undur diri," "Tunggu.." sontaknya berhasil membuat langkah Thea terhenti. Sambil menghela nafas berat juga menggigit bibir bawah, gadis itu berbalik kembali pada posisi semula hanya demi menunggu perintah lain yang belum Nathan lontarkan. "Kamu sudah bisa berkumpul dengan karyawan departemen perencana. Meja kerjamu ada di barisan paling depan di pojok kan
"Srup---ah!" celetuk suara puas dari bibir ranum yang baru saja menikmati beberapa teguk minuman.Cap..Cap..Cap..Berulang kali mengecap demi mengingat rasa manis yang tersisa di langit-langit mulut, lengkung sempurna perlahan muncul saat melihat sosok dengan setelan hitam putih tengah berjalan menghampiri.Sepoi angin siap menerpa rambut legam terkuncir tinggi bak ekor kuda, terasa begitu sejuk saat kutikula tubuh serta leher jenjangnya tertiup udara."Kenapa kau berikan padaku?" ucap Thea menegur wanita yang sedang berdiri sambil menyodorkan sebuah kelapa. Begitu bingung padahal dirinya sendiri juga telah memangku s
Mendengar logat halus yang begitu menyejukkan telinga juga sentuhan intim yang terasa nyata, padahal kedua hal itu adalah impian yang tak mungkin didapat.Tapi siapa sangka setelah menjadi kenyataan semua ini justru menyakitkan hati Thea, kata bak pinangan tadi berubah setajam pedang yang menoreh luka.Sakit yang menggores batin mengundang linang air di pelupuk mata, "Apa, Bapak bilang--layani?""Iya, tapi kenapa kau menangis? Ini bukan waktunya bersedih," tanya Nathan penuh kelembutan, sedikit merasa cemas melihat satu bulir bening menetes menyusuri pelipis."Apa Bapak pikir saya hanyalah wanita penghibur! Apa Bapak tidak tahu kalau perintah itu hanya pantas diajukan pada seorang pelacur,""Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan seorang pelacur," sanggah Nathan panik, sigap mengusap air mata yang mulai bercucuran.Segera Thea menepis tangan yang menurutnya hanya berbuat demi seuntai n
WARNING 21+ ________________________________ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ________________________________ Blush.. Begitu jelas terukir rona merah di kedua pipi Thea, wajah putihnya berubah bak kepiting rebus berkat perkataan penuh makna. "A-apa maksudnya, kenapa dia mengatakan hal itu? D-dan kenapa aku memikirkan hal kotor!" gumam Thea dalam hati menangkup kedua tangan ke dalam dada hingga memastikan seperti apa kondisi organ dibalik kerangka tubuhnya. Perlahan memberanikan diri melirik sosok yang terus berjalan dengan langkah normal, raut datar itu tetap terpasang hingga menaruh tanda tanya di benak Thea. Bibir yang hendak bergumam guna menanyakan maksud tak lagi melanjutkan niat setelah menyadari suara debaran yang berasal dari dada bidang yang kini tengah mendekapnya. Dengan keberanian yang tak seberapa telapak gadis itu terulur untuk menyentuh ambang kutikula Nathan,
Sigap gadis itu berdiri memandang Nathan yang siap menarik kaos hitam hingga memperlihatkan tubuh bagian atas. Mulai dari lekuk otot perut hingga kedua titik pada dada bidang, entah kenapa Thea belum menyadari jika kedua maniknya perlahan tersihir karena pemandangan tersebut. Bahu lebar itu terlihat begitu luas dari jarak dekat, kali ini Thea lebih lekat menatap setiap inci tubuh atletis seorang pria. "Itu ada 8," gumamnya tanpa sadar menganga tak mampu mengontrol ekspresi, Seketika berhasil mengundang tawa singkat di wajah Nathan, merasa senang melihat tingkah gadis yang terkesan menggemaskan. Perlahan menoleh demi melempar kaos ke sisi lain, "Apa kau menghitungnya?" sontak Nathan merendahkan suara sambil menerbitkan senyum licik, "Aa-tidak!" geleng Thea, baru menyadari apa yang telah dilakukan. Pasti wajahnya terlihat seperti orang bodoh saat tertegun hanya karena hal sepele, reflek Thea mengalihkan pandanga
"Huh! Apa dia bilang? Perutku penuh dengan lemak! Memangnya dia pernah melihat perutku--seenaknya saja menghina tanpa bukti." gerutu Thea mendengus kesal,Dengan hati yang terbakar amarah dia berdiri di depan cermin besar, meletakkan tumpukan kain ke atas penyangga kaca. Masih sigap memasang wajah muram karena terus teringat ucapan pria tadi,Sigap dilepasnya dress formal yang melekat demi segera mengenakan salah satu setelan lain. Entah kenapa sekilas muncul senyum cerah di wajah Thea,Tercipta satu tujuan jika dia harus bisa mematahkan hinaan tadi demi menjaga harga diri. Bahkan Thea mulai membayangkan ketika wajah angkuh itu terpesona dengan tubuh indahnya,Doeng!
Meski merasa terpaksa, gadis itu tetap melangkah maju hingga mendapati beberapa pelayan datang dengan meja dorong berisi berbagai macam hidangan.Seketika rasa kesal dalam hati Thea terganti dengan rasa lapar yang mengguncang penduduk di dalam perut. Lengkung bibir itu terukir sempurna seraya membuka jalan bagi pelayan untuk menyelesaikan tugasnya,"Taruh saja disitu. Aku akan menatanya sendiri," celetuk Thea begitu tak sabar mencicipi salah satu makanan yang sangat menggoda hingga membuatnya berulang kali menelan saliva.Beruntung dia masih bisa mempertahankan raut datar demi menjaga citra di hadapan mereka. Perlahan setiap pelayan berbaris dengan kepala tertunduk,"Karena malam masih panjang, apa setelah ini---Nyo
Aroma bunga lily yang masih melekat pada urai legam pria itu mampu membuat Thea mengernyit, sedikit bingung bagaimana bisa hidungnya dengan jelas menghirup wangi tersebut.Entah kenapa tanpa sadar dia terlelap sebelum menghabiskan setengah perjalanan, mungkin saja energi dalam tubuh Thea telah terisi penuh hingga menambah kepekaannya terhadap bau."Ng.." perlahan membuka mata, menemukan diri tengah bersandar pada jendela berukuran sedang.Seketika dia tersentak kaget karena menatap pemandangan awan yang begitu berbeda, sigap menoleh hingga menemukan sosok tinggi sedang duduk tepat di sampingnya. "Bapak! Kita ada dimana?""Pesawat," sahut Nathan datar tanpa menoleh,Mendengar kalimat tadi, tanpa ragu Thea menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kursi kosong layar televisi juga perabotan modern yang tak mungkin ditemukan di dalam mobil."Perasaan aku tadi ada di dalam mobil.." gumam Thea mengerutkan alis, ber
"Hah?! K-kenapa!"Tentu saja gadis itu terkejut tak mampu berkutik mendengar saran aneh dari mulut Zen. Bukannya mendukung dan membiarkan Thea membantu karena pasti mengerti tentang emosi yang dirasakan, dia justru menggunakan ide aneh Nathan untuk mengusir mereka."Tu--" nyaris saja sebuah panggilan hormat muncul berkat batin yang terlalu antusias, beruntung dia sadar pada waktu yang tepat."Aku mohon, izinkan aku membantu..""Bukankah tadi sudah kujelaskan, bahwa kaulah target mereka. Liburan adalah cara yang tepat untuk kau bersembunyi,""Kau harus menghilang selama beberapa hari untuk mengecoh mereka. Dan Nathan akan menemanimu," beralih menatap sosok lain."Kau tidak boleh pergi kemanapun dan pastikan Thea selalu berada di sampingmu sampai keadaan aman----biarkan aku menjalankan rencana yang telah kami setujui," lugas Zen berhasil membujuk,Meski tidak tahu apapun tentang rencana yang dim
Karena gadis yang masih bersikeras mengajak Nathan ke suatu tempat, mau tidak mau setelah berganti pakaian mereka berdua pergi menaiki mobil yang dibawa oleh Romi.Kedatangan pria itu juga menyelesaikan kesalahpahaman yang beberapa saat lalu terjadi. "Thea, kenapa kau memintaku membawa baju? Padahal tadi, Pak Nathan sudah memakai baju baru."Seperti biasa dia menempati kursi depan agar tak mengganggu kenyamanan tuan muda. "Itu tadi, baju milik sepupuku..""Apa?!" sontak Romi terkejut mendengar kebenaran yang belum pernah terjadi,"Sudahlah lupakan saja. Itu telah berlalu! Jangan sampai ada yang kesal karena kita membicarakan hal tadi," bisik Thea berhasil menghentikan perbincangan,Menit berlalu kendaraan beroda empat itu telah melewati gerbang besar yang menuntun ke depan gedung megah familiar milik keluarga Adelard.Muncul helaan nafas panjang, dari seorang pria berjas coklat yang tengah melirik sekilas