"......" detiknya berlalu karena membisu, Thea terdiam sambil berulang kali membuka tutup telapak tangan kanan yang terasa nyeri. Seakan tengah berusaha memberi relaksasi bagi kelima jarinya,
Ini pertama kali dia merasa begitu letih, mungkin wajar karena pengalaman pertama. Perlahan pandangannya beralih pada gadis yang masih setia memeluk selimut tebal,
"Man. Ayo bangun! aku udah siap berangkat," ucap Thea mengeraskan suara.
"Ng.."
"Iya iya, ini aku bangun." gumam Manda perlahan membuka mata seraya menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong.
"Ayo!" seru Thea sekali lagi demi mempersingkat waktu, jika tidak mendapat sorakan pasti temannya akan kembali terlelap.
"Iya, ayo!" sontaknya bergegas beranjak dari tempat tidur,
Langkah kaki gontai Manda tengah berjalan masuk ke dalam pembatas, namun kembali keluar setelah waktu berjalan kurang dari 5 menit.
Tentu saja itu semakin mengundang perhatian Thea, terlebih lagi setelah melihat muka bantal temannya masih menyimpan sisa air.
Seakan tak sadar sekaligus tak ingin menghiraukan, dia berjalan ke arah towel hanger demi meraih kain penyeka. Mengusap dengan cepat lalu beralih menyisir urai rambut dengan kelima jari lentiknya,
Terbit senyuman singkat sebelum meraih dompet kecil di atas laci, "Ayo!"
"Aku udah siap," seru Manda menyengir,
"Nih pake mobil aku aja!"
"Kenapa?"
"Itu mobil baru aku keluarin, kan kasian kalo dianggurin.." ucap Thea setelah berhasil merogoh benda kecil dari dalam tasnya.
"Oh oke. Tapi aku pinjem buat belanja juga, ya?"
Sebuah anggukan muncul guna mengiyakan sebelum tungkai panjangnya berjalan pergi mendahului. Meski sedikit tergesa gesa karena tak ingin terlambat, Thea tak lupa memakai pump shoes demi mendukung tampilan formalnya,
****
"Man…" panggil Thea melirik ke arah gadis yang tengah sibuk mengemudikan mobil.
"Hm?" menyahuti dengan pandangan masih menatap rantai jalan,
"Pamanmu itu--kayak gimana sih?" tanya Thea merendahkan suara, sedikit ragu untuk mengungkapkan rasa penasaran.
Entah mengapa muncul sebuah ide untuk segera mencari tahu lebih dalam tentang pria angkuh yang harus dihadapi demi memperpanjang jangka karir kerjanya.
Dengan begitu dia dapat menghindari beberapa hal terlarang dan mampu melakukan sesuatu yang baik sebelum diperintahkan,
"Kayak gimana apanya?"
"Ya, apa ajalah! Kayak sifatnya---terus dia suka apaan, ga suka apaan. Jadi, biar aku lebih tau aja.."
"Biar aku bisa hati hati kalo bertindak. Kan ribet nantinya, kalau dia marah terus ngasih hukuman yang aneh aneh kayak kemarin!" sanggah Thea menjelaskan,
"Ng--apa ya, aku ga tau banyak tentang paman! Soalnya kan kita ga deket sama jarang ketemu juga. Pokoknya paman tuh tipe orang yang suka kebersihan!"
"O-oh, aku tahu! Dia itu orangnya perfeksionis banget."
"Perfeksionis?" gumam Thea mengangkat alis, secara samar menyandingkan gelar pada sosok yang langsung muncul dalam benak.
"Iya…" sahut Manda menganggukan kepala.
"Mm, perfeksionis? Bener juga sih, tapi kan--se perfeksionisnya dia, masa sih harus nyuruh ganti gaya tulisan!" protes Thea merasa kesal mengingat kejadian tempo hari,
"Ganti tulisan gimana?"
"Ya, dia bilang kalo tulisanku jelek terus bikin sakit mata! Dan aku disuruh latihan nulis lagi---emangnya dia pikir aku bocah? Ga ngotak banget,"
"Eurhg, kek sebel gitu! Padahal kan aku cuma ngebentak dikit gara gara ga tau siapa dia. Masa sih udah dapet hukuman seluas lautan," rengek Thea menekuk bibir.
"Ck, ya sabar! Namanya aja bos. Kasta tertinggi yang ga bisa kita lawan! Lagian baru hari kedua kerja,"
"Tahan aja, mumpung dapat gaji gede! Sulit lo, kalo mau cari gaji segitu di perusahaan lain."
"Itu 'mah gausah kamu omongin, udah tau! Kamu pikir aku sekarang ngelakuin ini demi apa kalau bukan demi gaji?"
"Padahal dari kemarin, ni tangan udah pengen banget rasanya ngelempar pake buku!" gertak Thea mengepalkan tangan.
"Hhh, sabar.." menghela nafas panjang demi meredam emosinya.
Beberapa menit kemudian, kendaraan beroda empat itu berhasil sampai ke area perkantoran. Melambatkan laju tepat di sekitar gerbang,
"Wih, udah lama ga kesini. Makin bagus aja ni kantor," gumam Manda memandang penuh takjub,
"Yaudah masuk aja. Kan kantor milik paman sendiri," seru Thea melepas sabuk pengaman.
"Ih ogah! Ya kali aku masuk pake baju tidur. Lagian aku itu hampir ga pernah ngobrol sama paman,"
"Kenapa sih kamu panggil paman? kan dia anak bungsu, seharusnya manggil om dong.." tegur Thea masih enggan melangkah keluar meski telah membuka pembatas mobil.
"Ceritanya ga terlalu panjang sih. Tapi ini udah mepet masuk jam kantor. Kalo aku cerita, nanti kamu telat terus dapat hukuman lain!"
Kalimat itu reflek membuat Thea melirik pada angka yang tertera di layar ponsel, hingga membuat kedua maniknya membulat sempurna. Sigap beranjak pergi sambil merapikan diri,
"Eh, yaudah cerita nanti aja ya! aku masuk dulu.." sontak Thea dengan raut panik bergegas melangkah secepat mungkin,
Tak merasa lega meski telah memijakkan kaki ke dalam gedung kantor, segera dilihatnya sekilas para karyawan yang telah berlalu lalang. Hingga menemukan salah satu pintu lift terbuka,
Tidak ingin kehilangan waktu, Thea berjalan menyalip beberapa orang demi menyusup ke dalam kotak yang telah diisi tiga karyawan perempuan.
Salah satu diantara mereka berhasil mengundang perhatian karena teringat wajah familiar, sosok yang kemarin telah menyiapkan secangkir kopi juga camilan atau lebih tepatnya seorang lawan yang ingin merebut posisi Thea.
"Waduh, itu beneran cewek kemarin! Gimana kalo dia ngenalin aku? Terus ngajak temennya buat balas dendam gara-gara kejadian kemarin." pikir Thea menggigit bibir, sibuk melangkah ke sudut ruang dengan kepala tertunduk.
"Semoga ga lihat kesini! Moga aja nggak. Moga aja nggak,"
Tak henti gadis itu bergumam demi melampiaskan rasa cemas yang begitu membara, padahal tidak semestinya Thea takut hanya untuk hal sepele. Apalagi sikap yang dilakukan bukan sebuah kesalahan karena memang ingin melakukan tugasnya sebagai seorang asisten,
Tring.
Bunyi dering sekaligus terbukanya pintu menjadi awal baru bagi keselamatan, tanpa ragu Thea berlari menyalip barisan karyawan bagai pencuri yang tengah kabur dari kejaran warga.
"Apaan sih, tuh cewek!" hardik seorang karyawan yang merasa terganggu karena kemunculan gadis tadi,
"Karyawan baru ya? Perasaan ga pernah lihat?"
"Iya, dia asisten barunya Pak Nathan." sahutnya melirik malas punggung yang telah menjauh,
Secuil kalimat yang mengatasnamakan dirinya membuat Thea semakin panik, tidak lagi memperhatikan citra anggun atau pesona seorang dewi, dia memilih untuk terus melangkah hingga masuk ke dalam ruangan.
"Hhh," Tangannya masih menggenggam erat knop pintu seraya menyandarkan sisi tubuh ke samping pembatas,
Dengan nafas terengah engah, kedua lutut menekuk sembari mendengar debar jantung yang berhasil menyusup ke dalam telinga.
"Tuh kan, mereka lagi ngomongin aku! Untung aja aku bisa kabur." seru Thea terengah engah,
Dengan susah payah menelan saliva, perlahan dia beranjak ditemani pandangan yang beralih menatap sosok di sudut lain.
Aura gelap terpancar di sekeliling laki laki yang sedang duduk sambil mempertahankan raut datar, sebuah tatapan menusuk yang sedari tadi telah terlontar ke arah Thea berhasil membuatnya diam tak berkutik.
"Hh, dia ga marah kan? Masa ga boleh---cuma numpang nyandar ke pintu.." pikir Thea berusaha untuk tetap tenang,
Entah kenapa pandangan tadi seperti tatapan muak yang selalu ditunjukkan pada orang aneh. Meski tak berbuat apapun, sikap tak acuh Nathan justru membuat gadis itu ragu untuk bertindak seperti apa.
"Selamat pagi, Pak." sapanya, sedikit menundukkan kepala.
"Hm---cepat kesini."
"Baik.." seru Thea bergegas melangkah maju ke depan meja kerja.
Sebuah penyangga kayu berisi berbagai macam berkas telah tersaji di hadapan mereka. Namun map kulit berwarna hitam berhasil menjadi perhatian Thea, khususnya karena sebuah tulisan kontrak pada sampul tersebut.
"Dokumen kontrak kerja, disini tertulis bahwa kamu akan bekerja selama 2 tahun di perusahaan saya. Untuk aturan lainnya, silahkan baca sendiri.."
"Tanda tangan, jika semua aturan dapat kamu patuhi."
"Baca aturan? Sekali lihat aja, udah ketebak seberapa banyak aturan dalam dokumen ini. Masa pakai dibaca satu satu.."
"Jadi inget kejadian kemarin. Mending langsung tanda tangan, toh aku emang butuh kerjaan ini! Tapi kalo langsung tanda tangan, nanti dia merasa aku itu orang yang ga teliti." pikir Thea merasa bimbang,
"Ambil dokumennya. Saya nyuruh untuk dibaca bukan dilihat," ketus Nathan dengan logat angkuh,
"H-hah? O-oh iya, saya baca sekarang!" dengan sigap meraih dokumen tadi dan berbalik,
Dia berjalan sambil memilih kursi mana yang harus ditempati. Hingga menyesuaikan posisi sambil menatap ambang berkas di tangannya, "Ng, kira kira ini ada berapa lembar ya?"
"Kalo setebel ini. Kayaknya butuh waktu baca paling cepat 20 menit!" gumam Thea dalam hati.
Lembar pertama berisi penuh goresan tinta telah berhasil membuat gadis itu merasa muak, entah kenapa dia harus melakukan prosedur rumit hanya untuk tanda tangan kontrak. Tidak bisakah dia belajar aturan tanpa membaca?
Tanpa kehilangan akal, Thea duduk berdiam diri seakan tengah membaca demi menaikkan citra bak karyawan yang memiliki sikap tekun juga teliti.
5 menit kemudian.
"Kayaknya ini udah cukup.." pikir Thea tersenyum singkat sebelum melirik pada benda penunjuk waktu yang tersemat di dinding.
"Hah--masih 5 menit?!" celetuk Thea, tanpa sadar mengeraskan suara.
Seketika membuat pria yang masih duduk di dalam ruang menoleh berkat terkejut dengan teriakan tadi. Namun segera Nathan menghela nafas dan kembali mengabaikan tingkah konyol yang tak berarti apapun,
"Aduh. Keceplosan!" gumam Thea dalam hati, sontak terpejam sambil menyesali setiap kata yang baru saja terlontar.
Perlahan memberanikan diri untuk kembali membuka sebelah mata, memastikan kenapa masih tersimpan keheningan setelah kecerobohan tadi.
Mengamati bibir mengatup rapat tersemat pada wajah datar Nathan, "Loh. Tumben ga ngeliat kesini? biasanya kan kalo aku bikin salah dikit langsung melotot,"
"Apa ga denger ya? Mungkin dia lagi serius ngerjain kerjaan makanya ga sadar sama suaraku,"
"........."
"Ng, biarin deh. Syukur kalo ga ngamuk--lebih baik aku fokus ngurusin ini." benaknya, kembali pada tujuan awal.
Tengah berusaha untuk membaca isi setiap lembar dalam dokumen. Namun tentu saja hanya membaca sekilas tanpa mencermati maksud kalimat yang tertera di atasnya,
Selang 10 menit seperti telah menyelesaikan tugas besar, dengan bangga Thea menoleh ke arah lain dan mendapati keheningan serupa juga sosok serupa yang masih sigap mengamati setiap berkas berisi hasil laporan para karyawan.
Entah berapa banyak tugas yang telah merusak pria tampan itu hingga membuat Nathan terlatih menjadi sosok menyeramkan.
Tidak akan menjadi orang berpengaruh jika pria itu tak memiliki kepekaan tinggi, instingnya bahkan dapat merasakan jika ada sorot mata yang tengah terlontar.
Secepat kilat melirik tajam hingga membidik pandangan Thea, "E-eh, ini saya udah baca semua."
Begitu terbata bata menjelaskan maksud, batinnya nyaris meledak karena terkejut. Segera dia beranjak dari tempat duduk demi melangkah dan meletakkan berkas ke hadapan pria tadi,
"Sudah ditandatangani?" ungkapnya datar,
"B-belum, saya tidak bawa bolpoin."
Dihelanya nafas panjang sembari membuang muka karena merasa muak dengan tingkah Thea yang dinilai ceroboh dan tidak mampu mengurus apapun. Meski begitu dia terpaksa merekrut karyawan payah hanya untuk menghormati permintaan keluarga,
Tentu saja Nathan tengah berusaha untuk mengontrol amarah karena mengingat jika yang ada disana adalah sahabat karib keponakannya. Jika tidak, mungkin Thea akan langsung dipecat setelah pertemuan pertama.
"Ambil bolpoin yang ada di rak! Setelah itu tanda tangan disini." tegas Nathan membuka salah satu lembar halaman.
Thea mengangguk pelan lalu berbalik. Semua berjalan mulus sebelum sifat malasnya terbangun, hingga bertingkah bodoh untuk menuruti hasrat bergejolak dalam hati dan melawan perintah yang telah didapat.
Seketika terfokus pada pena hitam yang tersaji pada saku jas Nathan, tanpa berpikir ulang segera diraihnya benda itu demi membubuhkan gores tinta ke atas dokumen.
Tanpa sadar sekali lagi dia menyulut api amarah yang berhasil melewati batas kesabaran. Sontak pria itu beranjak bangun sambil menatap geram,
Mengepalkan kedua tangan juga mengeratkan gigi, pertama kali dia mendapat perlakuan tak pantas dari karyawan rendah.
Sedangkan gadis yang masih belum menyadari kesalahan hanya bisa tersenyum sembari menyodorkan kembali bolpoin yang telah diambil. "M-makasih, saya cuma pinjam sebentar.."
Plak.
Dengan kasar Nathan menepis jari lentik itu hingga membuat pena di tangan Thea terpental, seketika berhasil membuat Thea bergidik ngeri karena mendapati amarah dari sorot mata yang terlontar padanya.
Rasa kesal pada tingkat tertinggi dan berkali kali lipat dari yang pernah dilihat, bahkan berhasil membuat jantungnya berdegup kencang karena merasa takut.
"M-maaf, Pak." sontak Thea menundukkan kepala sebagai tanda penyesalan juga minta maaf.
"Jangan buat saya mengulangi sesuatu!" bentak Nathan dengan kasar,
"Yang saya tegaskan bukan sebuah peringatan tapi perintah! Jadi ingat dan kalau perlu---tulis di setiap lembar ingatanmu!"
"........." Gadis itu terdiam seribu bahasa, tak tahu harus bereaksi atau bertindak bagaimana untuk menenangkan seorang singa.
"Sekarang, keluar dari ruangan saya." tegas Nathan datar,
Thea yang ingin membela diri berusaha mendongak dan melawan rasa takutnya. Berusaha memastikan apa arti pengusiran tadi,
"T-tapi Pak.."
"Keluar!" perintah Nathan meninggikan suara,
Teriakan keras itu berhasil menciptakan linang air mata di kedua pelupuk Thea, tentu saja ini pertama kali dia mendapat perlakuan kasar bahkan belum pernah ada yang berani membentaknya.
Rasa kecewa sekaligus takut mendorong Thea untuk segera melangkah pergi, bahkan tak menghiraukan beberapa karyawan yang baru saja berpapasan dan menatap tingkah anehnya.
Seluruh mata tertuju hingga terkejut melihat seorang karyawan berlari keluar dari ruangan CEO dalam keadaan memprihatinkan,
Dengan cepat Thea mengusap air mata yang nyaris membasahi pipi, seakan bertingkah tegar sambil membangun muka tembok demi terus berjalan melewati lorong penuh karyawan.
Beruntung tak menunggu lama kakinya menemukan tujuan, ruang yang akan menjadi tempat persembunyian aman. Segera membuka salah satu pembatas toilet lalu menduduki kloset yang masih dibiarkan tertutup,
Linangan air yang berhasil turun tak mampu lagi dibendung, gadis itu berharap jika semua akan kembali normal setelah dia menyelesaikan tangisnya.
"Kenapa sih--padahal cuma gitu doang, sampe ngebentak segala." rengek Thea semakin membasahi kedua pipi yang mulai memerah,
Prak.
"Sial, kenapa sih Pak Nathan harus nerima cewek itu?" gertak suara wanita di balik pembatas,
"Ada orang?" pikir Thea segera menghentikan tangis agar tak terdengar, demi menelaah apa yang tengah dimaksud oleh perempuan yang tiba-tiba datang sambil meneriakkan kekesalan.
"Padahal posisi asisten selalu berganti setiap bulannya! Dan aku pikir itu karena ulah karyawan yang tidak becus bekerja."
"Beberapa bulan ini, posisi itu dibiarkan kosong karena pimpinan melarang adanya perekrutan! Jadi aku berusaha melakukan yang terbaik,"
"Bahkan aku bersedia melakukan tugas rendahan hanya untuk berada di dekat pimpinan. Tapi kenapa tiba-tiba ada cewe ga jelas masuk, dan jadi asisten baru," tambahnya semakin membuat Thea berantusias untuk menguping,
"Pimpinan? Sepertinya dia lagi ngomongin Pak Nathan."
"Terus---yang dimaksud cewek ga jelas itu aku?" ucap Thea dalam hati telah berhasil melupakan kesedihannya tadi.
"Iya Kak. Aku juga ga habis pikir tiba tiba pimpinan ngerekrut asisten baru,"
"Padahal aku pikir Kak Mia yang bakal dapat posisi itu, dilihat dari kedekatan kakak sama pimpinan."
"Aku juga sering lihat kalo Pak Nathan paling banyak ngobrol sama kak Lisa,"
***Bersambung.
"Menurutku dia bukan gadis kompeten. Aku yakin dia masuk kesini dengan cara licik!" timpal suara gadis lain yang tak lagi asing di telinga Thea. Suara nyaring yang kemarin berhadapan dan sosok yang berhasil dihindari pagi tadi, "Ini suara wanita yang kemarin bawain kopi!" "Berarti--mereka beneran lagi gosipin aku?" benak Thea menggigit bibir bawah, semakin mendekatkan telinga pada pembatas demi memperlancar tujuannya sekarang. Menguping bukanlah hal baik tentu semua orang tahu akan hal itu, namun bagaimana lagi? Mendengar sesuatu tentang diri sendiri bukanlah suatu kejahatan. Jadi Thea tak merasa menyesal meski harus melakukan hal secara diam-diam, "Licik--apa maksudmu?" tanya Mia mengerutkan alis,
"Aduh, gila banget nih orang!" gumam Thea lirih, Kenapa dia selalu bertemu pria tidak waras atau memang seluruh dunia ini dipenuhi wajah tampan tanpa akal? Demi mempertahankan posisi, Thea harus segera pergi dan cara yang tersisa hanyalah kekerasan. Tak mau berpikir ulang, ditancapkannya kedua gigi taring pada pergelangan tangan yang masih mencengkram erat. "Aw.." rintihnya, reflek melepas tangan dan membiarkan Thea lari menjauh. Secepat mungkin memasuki lift, hanya saja karena keberuntungan yang telah berpaling. Gadis itu harus terjebak di tengah karyawan yang tengah aktif memanfaatkan waktu pada jam makan siang, Bersama dengan lima karyawan lain yang tentu saja lebih dulu datang, mau tidak mau dia harus sabar menunggu untuk bisa pergi pada lantai yang dituju. "Kak Mia, sudah makan siang?" sontak salah satu karyawan asing, Seketika membuat perhatian Thea beralih karena mendengar nama tad
"Sudah sampai mana?" "Ha?" sontak Thea merasa bingung dengan respon laki laki itu. Kenapa masih harus ada pertanyaan di ujung penantian, apakah tidak bisa membiarkannya tenang tanpa harus berpikir keras. "Aturan tadi. Kamu sudah hafal sampai mana?" "Oh. Saya sudah hafal sampe aturan ke 45," "Bawa pulang dan pelajari di rumah, dalam 3 hari kamu harus hafal semua aturan. Tapi mulai besok kamu sudah harus ikut kemanapun saya pergi---siap siaga selama 24 jam." ujar Nathan, "Baik Pak, nanti saya akan lanjut membaca dan menghafal sampe selesai! Kalo begitu saya pamit undur diri," "Tunggu.." sontaknya berhasil membuat langkah Thea terhenti. Sambil menghela nafas berat juga menggigit bibir bawah, gadis itu berbalik kembali pada posisi semula hanya demi menunggu perintah lain yang belum Nathan lontarkan. "Kamu sudah bisa berkumpul dengan karyawan departemen perencana. Meja kerjamu ada di barisan paling depan di pojok kan
"Buku paket." tegas Thea tanpa menoleh. "Ha? Buku paket apaan?" sahut Manda masih belum bisa menuntaskan rasa penasarannya, Apalagi yang didapat bukanlah sebuah penjelasan, gadis itu hanya diam perlahan mengangkat map coklat hingga menunjukkan sampul tertulis judul berkas. "Aturan kontrak? tebel amat!" "Ya gimana lagi! Pamanmu banyak maunya. Suruh hafal ratusan aturan ini dalam 3 hari----pantesan karyawan lain bilang, kalo sebelumnya asisten pribadi bakal diganti sebulan sekali." "Karena sekarang aku ngerasain posisi itu, aku jadi tau alasannya!" gerutu Thea masih sibuk mengamati tulisan yang tertera dengan raut kesal.
Sebuah pertanyaan terlontar dari salah satu karyawan yang masih penasaran menatap keberadaan wanita di depan meja Thea. Terlebih lagi dengan kalimat yang mengundang tanya bagi semua orang, "Oh, tidak ada! aku hanya memberi satu kaleng minuman soda, dan mengatakan kepadanya untuk tidak mendengar semua ocehan buruk yang karyawan lain katakan." ucap Lisa tersenyum ramah, berusaha menjadi pemeran baik di hadapan mereka. Dengan lihai menyembunyikan tawa licik yang menggema dalam benak karena berhasil menambah kericuhan, setidaknya ini semua pantas Thea dapat karena telah berani mengusik orang yang salah. "Hh, kau akan kewalahan menghadapi mereka. Suruh siapa kau berani merebut posisi ini---jabatan ini tidak pantas untukmu!" gumamnya dalam hati,
Derita sama terulang, seperti hari sebelumnya meski telah bekerja selama tiga hari di setiap akhir waktu Thea selalu selalu kembali dengan raut lesu bahkan langkah kakinya melemah bagai wanita tua yang berjalan lambat sambil menunduk. Entah kenapa dia masih sangat sulit untuk beradaptasi dengan dunia kerja yang selalu membuatnya tersiksa. Bos angkuh, cibiran rekan kerja, dan sekarang ditambah rumor buruk. Apapun itu setidaknya sekarang dia mampu menghela nafas lega karena telah sampai ke tempat tinggalnya. Dengan tatapan kosong Thea berjalan melewati lorong, Sekilas merenungi nasib yang berubah sejak beberapa hari terakhir, padahal dulu dia adalah nona muda kaya yang selalu menjalani kehidupan tenang dan menyelesaikan semua masalah dengan uang. &nb
Ditaruhnya kain penyeka ke sebuah gantungan yang ada di dalam kamar mandi.Gadis itu mulai melepas satu persatu setelan yang menutupi tubuhnya. Selang 20 menit,Thea telah selesai bebersih diri. Rambut basah dan handuk putih yang terlilit di bagian atas tubuh, dia berjalan ke arah kamar Manda. Meski terdapat 3 kamar dalam apartemen. Gadis itu lebih memilih, berbagi kamar dan juga perabotan lain dengan temannya karena tidak ingin repot beberes ruangan. Terlebih lagi,kini Thea telah bekerja dan membuatnya lebih lama di luar. Dibukanya pintu lemari lalu meraih salah satu baju tidur berwarna kuning. "Ih, kok aku tiba tiba kepikiran soal tadi!" gerutu Thea,bergegas menggelengkan kepala agar semua ingatan yang baru saja terbesit segera menghilang. "Aneh juga ngeliat dia kayak tadi." "Tapi ujung ujungnya juga tetep ngeselin. Semuanya aku juga yang beresin," gerutu Thea sambil membenarkan pakaiannya. Membiarkan rambutnya yang mas
"Kamu dimana?" tanya Nathan,menjawab pertanyaan gadis itu dengan pertanyaan lain. "Mobil Bapak yang mana? jadi saya bisa langsung lari." "Mobil Rolls Royce" "A-apa pak?" seru Thea, Bertepatan dengan ucapannya, sebuah kendaraan ambulans baru saja melintas. Bunyi sirine mobil membuat gadis itu tidak terlalu mendengar ucapan Nathan. "Katakan saja kamu dimana? biar saya yang kesana." sanggahnya "Tap…" "Jangan buat saya mengulang!" tegas Nathan sedikit membentak, "B-baik…" "Aku turun dulu ya," pamit Thea lirih, Gadis itu menoleh ke arah Manda,sambil menutup lubang speaker yang ada di bagian ponselnya. Manda mengangguk, mengiyakan ucapan Thea,setelah itu dia bergegas membuka pintu mobil dan melangkah keluar. "Saya ada di seberang toko kue, pake baju merah di samping kotak surat." ucap Thea melirik ke arah papan nama yang tersemat di bagian atas toko dan menoleh sekilas ke arah benda yang ada di
"Srup---ah!" celetuk suara puas dari bibir ranum yang baru saja menikmati beberapa teguk minuman.Cap..Cap..Cap..Berulang kali mengecap demi mengingat rasa manis yang tersisa di langit-langit mulut, lengkung sempurna perlahan muncul saat melihat sosok dengan setelan hitam putih tengah berjalan menghampiri.Sepoi angin siap menerpa rambut legam terkuncir tinggi bak ekor kuda, terasa begitu sejuk saat kutikula tubuh serta leher jenjangnya tertiup udara."Kenapa kau berikan padaku?" ucap Thea menegur wanita yang sedang berdiri sambil menyodorkan sebuah kelapa. Begitu bingung padahal dirinya sendiri juga telah memangku s
Mendengar logat halus yang begitu menyejukkan telinga juga sentuhan intim yang terasa nyata, padahal kedua hal itu adalah impian yang tak mungkin didapat.Tapi siapa sangka setelah menjadi kenyataan semua ini justru menyakitkan hati Thea, kata bak pinangan tadi berubah setajam pedang yang menoreh luka.Sakit yang menggores batin mengundang linang air di pelupuk mata, "Apa, Bapak bilang--layani?""Iya, tapi kenapa kau menangis? Ini bukan waktunya bersedih," tanya Nathan penuh kelembutan, sedikit merasa cemas melihat satu bulir bening menetes menyusuri pelipis."Apa Bapak pikir saya hanyalah wanita penghibur! Apa Bapak tidak tahu kalau perintah itu hanya pantas diajukan pada seorang pelacur,""Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan seorang pelacur," sanggah Nathan panik, sigap mengusap air mata yang mulai bercucuran.Segera Thea menepis tangan yang menurutnya hanya berbuat demi seuntai n
WARNING 21+ ________________________________ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ________________________________ Blush.. Begitu jelas terukir rona merah di kedua pipi Thea, wajah putihnya berubah bak kepiting rebus berkat perkataan penuh makna. "A-apa maksudnya, kenapa dia mengatakan hal itu? D-dan kenapa aku memikirkan hal kotor!" gumam Thea dalam hati menangkup kedua tangan ke dalam dada hingga memastikan seperti apa kondisi organ dibalik kerangka tubuhnya. Perlahan memberanikan diri melirik sosok yang terus berjalan dengan langkah normal, raut datar itu tetap terpasang hingga menaruh tanda tanya di benak Thea. Bibir yang hendak bergumam guna menanyakan maksud tak lagi melanjutkan niat setelah menyadari suara debaran yang berasal dari dada bidang yang kini tengah mendekapnya. Dengan keberanian yang tak seberapa telapak gadis itu terulur untuk menyentuh ambang kutikula Nathan,
Sigap gadis itu berdiri memandang Nathan yang siap menarik kaos hitam hingga memperlihatkan tubuh bagian atas. Mulai dari lekuk otot perut hingga kedua titik pada dada bidang, entah kenapa Thea belum menyadari jika kedua maniknya perlahan tersihir karena pemandangan tersebut. Bahu lebar itu terlihat begitu luas dari jarak dekat, kali ini Thea lebih lekat menatap setiap inci tubuh atletis seorang pria. "Itu ada 8," gumamnya tanpa sadar menganga tak mampu mengontrol ekspresi, Seketika berhasil mengundang tawa singkat di wajah Nathan, merasa senang melihat tingkah gadis yang terkesan menggemaskan. Perlahan menoleh demi melempar kaos ke sisi lain, "Apa kau menghitungnya?" sontak Nathan merendahkan suara sambil menerbitkan senyum licik, "Aa-tidak!" geleng Thea, baru menyadari apa yang telah dilakukan. Pasti wajahnya terlihat seperti orang bodoh saat tertegun hanya karena hal sepele, reflek Thea mengalihkan pandanga
"Huh! Apa dia bilang? Perutku penuh dengan lemak! Memangnya dia pernah melihat perutku--seenaknya saja menghina tanpa bukti." gerutu Thea mendengus kesal,Dengan hati yang terbakar amarah dia berdiri di depan cermin besar, meletakkan tumpukan kain ke atas penyangga kaca. Masih sigap memasang wajah muram karena terus teringat ucapan pria tadi,Sigap dilepasnya dress formal yang melekat demi segera mengenakan salah satu setelan lain. Entah kenapa sekilas muncul senyum cerah di wajah Thea,Tercipta satu tujuan jika dia harus bisa mematahkan hinaan tadi demi menjaga harga diri. Bahkan Thea mulai membayangkan ketika wajah angkuh itu terpesona dengan tubuh indahnya,Doeng!
Meski merasa terpaksa, gadis itu tetap melangkah maju hingga mendapati beberapa pelayan datang dengan meja dorong berisi berbagai macam hidangan.Seketika rasa kesal dalam hati Thea terganti dengan rasa lapar yang mengguncang penduduk di dalam perut. Lengkung bibir itu terukir sempurna seraya membuka jalan bagi pelayan untuk menyelesaikan tugasnya,"Taruh saja disitu. Aku akan menatanya sendiri," celetuk Thea begitu tak sabar mencicipi salah satu makanan yang sangat menggoda hingga membuatnya berulang kali menelan saliva.Beruntung dia masih bisa mempertahankan raut datar demi menjaga citra di hadapan mereka. Perlahan setiap pelayan berbaris dengan kepala tertunduk,"Karena malam masih panjang, apa setelah ini---Nyo
Aroma bunga lily yang masih melekat pada urai legam pria itu mampu membuat Thea mengernyit, sedikit bingung bagaimana bisa hidungnya dengan jelas menghirup wangi tersebut.Entah kenapa tanpa sadar dia terlelap sebelum menghabiskan setengah perjalanan, mungkin saja energi dalam tubuh Thea telah terisi penuh hingga menambah kepekaannya terhadap bau."Ng.." perlahan membuka mata, menemukan diri tengah bersandar pada jendela berukuran sedang.Seketika dia tersentak kaget karena menatap pemandangan awan yang begitu berbeda, sigap menoleh hingga menemukan sosok tinggi sedang duduk tepat di sampingnya. "Bapak! Kita ada dimana?""Pesawat," sahut Nathan datar tanpa menoleh,Mendengar kalimat tadi, tanpa ragu Thea menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kursi kosong layar televisi juga perabotan modern yang tak mungkin ditemukan di dalam mobil."Perasaan aku tadi ada di dalam mobil.." gumam Thea mengerutkan alis, ber
"Hah?! K-kenapa!"Tentu saja gadis itu terkejut tak mampu berkutik mendengar saran aneh dari mulut Zen. Bukannya mendukung dan membiarkan Thea membantu karena pasti mengerti tentang emosi yang dirasakan, dia justru menggunakan ide aneh Nathan untuk mengusir mereka."Tu--" nyaris saja sebuah panggilan hormat muncul berkat batin yang terlalu antusias, beruntung dia sadar pada waktu yang tepat."Aku mohon, izinkan aku membantu..""Bukankah tadi sudah kujelaskan, bahwa kaulah target mereka. Liburan adalah cara yang tepat untuk kau bersembunyi,""Kau harus menghilang selama beberapa hari untuk mengecoh mereka. Dan Nathan akan menemanimu," beralih menatap sosok lain."Kau tidak boleh pergi kemanapun dan pastikan Thea selalu berada di sampingmu sampai keadaan aman----biarkan aku menjalankan rencana yang telah kami setujui," lugas Zen berhasil membujuk,Meski tidak tahu apapun tentang rencana yang dim
Karena gadis yang masih bersikeras mengajak Nathan ke suatu tempat, mau tidak mau setelah berganti pakaian mereka berdua pergi menaiki mobil yang dibawa oleh Romi.Kedatangan pria itu juga menyelesaikan kesalahpahaman yang beberapa saat lalu terjadi. "Thea, kenapa kau memintaku membawa baju? Padahal tadi, Pak Nathan sudah memakai baju baru."Seperti biasa dia menempati kursi depan agar tak mengganggu kenyamanan tuan muda. "Itu tadi, baju milik sepupuku..""Apa?!" sontak Romi terkejut mendengar kebenaran yang belum pernah terjadi,"Sudahlah lupakan saja. Itu telah berlalu! Jangan sampai ada yang kesal karena kita membicarakan hal tadi," bisik Thea berhasil menghentikan perbincangan,Menit berlalu kendaraan beroda empat itu telah melewati gerbang besar yang menuntun ke depan gedung megah familiar milik keluarga Adelard.Muncul helaan nafas panjang, dari seorang pria berjas coklat yang tengah melirik sekilas