"Cepat keluar! aku mau membuat kopi. Awas saja, kalo kamu belum pergi saat aku kembali!" seru Thea memberi tatapan sinis.
Dengan cepat melangkah keluar lalu bergegas mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk membuat secangkir minuman serta menyiapkan sepiring kudapan sesuai anjuran Manda.
Namun langkah Thea berhenti setelah berpapasan dengan karyawan wanita, segera menoleh dan menatap lekat nampan berisi hidangan di atasnya. "Tunggu, kau mau kemana?"
Siapa sangka satu pertanyaab berhasil menghentikan langkah karyawan tadi, perlahan Thea melangkah mendekat dan menatap sekilas secangkir kopi hitam serta piring kecil berisi kue kering.
"Siapa kau---kenapa menghentikanku? Apa kau tidak lihat kalau aku sedang menyiapkan ini semua untuk Pak Nathan," ketusnya telah memastikan bahwa Thea bukanlah pemimpin atau orang dengan pangkat lebih tinggi darinya.
Tentu saja karyawan tadi tak merasa ragu untuk melangkah pergi,
"E-eh. Tunggu tunggu! biar aku saja yang bawa." tegas Thea berhasil merebut paksa nampan dari tangan wanita itu,
"Apa apaan sih!" sontaknya merasa kesal,
"E-eh santai dong, aku cuma mau bantuin. Kenalin, aku asisten barunya Pak Nathan---Udah tugasku buat nyiapin ini semua, jadi jangan merebut pekerjaan orang lain atau kau akan dihukum." ucap Thea tersenyum lebar, baru saja memberikan ancaman berkedok nasehat.
"Ck…" Wanita itu berdecak kesal merasa takut sekaligus enggan untuk berdebat, memilih untuk segera berbalik dan melangkah pergi.
"Wah, ternyata mudah juga. Ga kayak pria tadi! Susah banget dibilangin,"
"Terima kasih, kopinya!" teriak Thea menatap punggung yang semakin menjauh dari pandangan.
"Beruntung banget! kalo gini ga usah capek capek buatin lagi."
Gadis itu menerbitkan lengkung bibir semourna sambil berjalan membawa nampan, kembali melangkah masuk ke dalam ruangan. Siapa sangka senyuman tadi tak bertahan lama, kembali merasa kesal setelah melihat sosok yang masih belum beranjak dari tempat itu.
"Hei, berhenti!" sontak Thea mencegah pria yang ingin menyentuh kursi milik CEO.
"Dibilangin ngeyel banget sih!" Dengan cepat melangkah maju, sekilas beralih demi menata cangkir serta piring ke atas meja lalu kembali menatap sinis pria yang berdiri di depannya.
"Ayo, cepet keluar!" tegas Thea sekali lagi, namun mendapat perlakuan tak acuh dari pria yang masih terdiam dengan raut datar,
"Ayo--"
Ceklek.
Suara langkah kaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan membuat ucapan Thea berhenti. Dia berbalik menatap karyawan lain baru saja masuk dengan sebuah berkas di tangannya,
"Permisi, selamat pagi.." Menyapa dengan senyum ramah,
"Selamat pagi," ucap keduanya secara serentak,
"Ck. Ngapain sih, ikut ikut!" ketus Thea lirih, melirik tajam pria di belakang.
"Saya bawa berkas yang harus di tanda tangani,"
"Tanda tangan? perasaan tadi malam Manda ga pernah bilang kalo ada tugas ginian. Masa aku harus tanda tangan berkas?" pikir Thea merasa bingung,
Menatap karyawan yang sedang berjalan melewati dan lebih memilih untuk diam berdiri setelah menyodorkan map berisi kertas ke hadapan pria tadi.
Sedangkan kedua manik Thea masih tenang mengamati sosok yang baru saja menduduki kursi kerja lalu menyematkan goresan tinta ke atas kertas,
"Terima kasih, Pak Nathan.." Sekilas menunjuk sebagai tanda pamit sebelum berjalan keluar ruangan
Nathan Adelard merupakan CEO sekaligus pendiri dari Perusahaan Galaksi. Merupakan putra bungsu keluarga Adelard, pemilik Perusahaan Sun yang bergerak dalam bidang pengoperasian jaringan department store. Salah satu perusahan terbesar di 5 negara,
Nathan Adelard menolak menjadi pewaris perusahaan karena lebih memilih untuk membangun kerajaan bisnis miliknya sendiri. Sebuah perusahaan yang dirintis menggunakan semua jerih payahnya.
"P-pak Nathan?" gumam Thea tertegun dengan kedua manik membulat sempurna,
Gadis itu tengah berusaha memahami situasi yang baru saja terjadi. Hingga selang beberapa detik berhasil tersadar dari lamunan lalu menyadari sebuah kesalahan yang telah ia perbuat,
"Mampus. Dia--Pak CEO? Yang aku bentak dari tadi, pamannya Manda! Mana aku tahu kalo dia orangnya,"
"Manda bilang ini perusahaan pamannya tapi paman dari mananya kalo masih muda begini? Aku ga melihat satupun kerutan di wajah itu," gerutu Thea dalam hati,
"Jadi Nona Thea Briella. Silahkan ucapkan sesuatu," tegas Nathan menatap gadis yang masih berdiri terpaku dengan tatapan kosong.
"........" Thea tersadar lalu bergegas menundukkan kepala,
"Maaf Pak! Seharusnya saya lebih teliti lagi dan mengingat wajah atasan saya," sahut Thea merendahkan suara,
"Hhh, apa kamu bawa berkas data diri dan yang lainnya?"
"Bawa! s-sebentar saya ambil dulu."
Gadis itu melangkah ke samping meja, berusaha mengambil map miliknya yang ada di baris paling bawah di antara tumpukan berkas milik Nathan.
Brak.
Karena begitu tergesa gesa tanpa memikirkan akibat, ditariknya paksa map tadi dan secara tidak langsung membuat seluruh berkas terjatuh berserakan memenuhi lantai.
Hela nafas berat baru saja muncul sebagai usaha Nathan yang sedang menagan rasa kesal atas kecerobohan gadis itu. Menoleh ambang Thea yang sedang berdiri dengan raut penuh penyesalan sambil menggenggam erat ujung sebuah map,
Dengan cepat mengalihkan pandangan pada semua berkas yang jatuh ke atas lantai, berulang kali berkedip berusaha memberanikan diri menatap pria yang masih sigap mengawasinya dengan tatapan tajam.
"Ini, silahkan dilihat! T-tenang saja. S-saya, akan bereskan semuanya.." seru Thea segera menyodorkan map ke atas meja,
Sesuai janji untuk melaksanakan tanggung jawab, gadis itu menunduk sambil berjongkok demi mengutip satu persatu dokumen yang ada di atas lantai dan mengumpulkannya kembali seperti tadi.
"Aduh Thea---bisa ga sih, jangan bikin masalah? sehari aja!" oceh Thea dalam hati, tengah menggerutui sikapnya yang sedari tadi hanya mampu membuat kesalahan.Beruntung dia mampu mengembalikan semua dalam waktu singkat, segera berdiri dan meletakkan kembali tumpukan dokumen ke atas meja.
"Semuanya sudah beres.." ucap Thea tersenyum lebar,
Melirik sekilas ke arah lain sebelum menutup berkas berisi data yang dibawa gadis tadi. Segera beralih menatap sosok di sampingnya,
"Apa aja yang kamu tahu?"
"Ha?" sontak Thea merasa bingung dengan pertanyaan yang baru saja ia dengar.
"Apa saja, yang sudah kamu pelajari?"
"P-pelajari? Eh ng, saya sudah belajar tentang tugas tugas seorang asisten pribadi!" ujar Thea dengan raut antusias.
"Sebutkan…"
"Apanya?" tanya Thea dengan raut polos, hal yang wajar jika bertanya saat mengalami kesulitan. Terlebih lagi pria itu terkesan sedang menyulitkan Thea dengan kalimat penuh teka teki,
"Sebutkan tugas seorang asisten pribadi,"
"Oh baik. Tugas asisten pribadi adalah,"
"Yang pertama! Memantau email yang masuk tentang laporan kerja dan memberi respon jika diperlukan."
"Yang kedua! Menjawab panggilan telepon."
"Ketiga, mengatur rencana perjalanan."
***Bersambung.
"Keem.." "Cukup!" tegas Nathan menghentikan ocehan gadis itu, Sedikit merasa muak setelah mendengar jawaban tak sesuai harapan, dengan cepat tangannya beraluh membuka salah satu rak meja demi mengambil sebuah ipad. Segera disodorkan ke hadapan Thea, "Di dalam sini ada banyak file tentang rencana perjalanan, pertemuan dan beberapa catatan rapat tahun lalu." "Sekarang kamu siapkan kertas dan bolpoin, pilih 5 file lalu buat salinannya masing masing file 5 salinan." "T-tulis? semua yang tadi Bapak bilang, harus ditulis?" gumam Thea dengan raut terkejut, Setelah berkhayal mendapat beban tugas penuh hormat seperti pertunjukan dalam film, dia justru melaksanakan tugas remeh yang bahkan mampu dikerjakan oleh seorang bocah kecil. "Iya. Apa kamu tidak bisa menulis?" lugasnya dingin, "B-bisa!" "Lalu tunggu apalagi? Cepat kerjakan." "Saya ga bawa alat tulis." gumam Thea lirih sebelum menggigit bibir bawah,
"Sepertinya kemampuanmu sangat buruk. Saya kasih tambahan waktu, 3 jam harus selesai." ucap Nathan memalingkan muka,dan meraih berkas yang tadi gadis itu kerjakan. 3 jam kemudian. "Ehrg. Jariku sakit banget!" gerutu Thea, Berulang kali menjambak rambutnya untuk melupakan rasa sakit yang ia rasa. "Hhh, sampe mual lihat tulisan ini..Bosen woy, capek juga!" teriak gadis itu dalam hati, Tap. Ditaruhnya bolpoin tadi lalu Thea beranjak dari atas lantai,membawa buku itu dan disodorkan ke hadapan Nathan. "Ini Pak, sudah selesai.." Laki laki itu melirik sekilas ke arah tulisan yang ada di atas kertas. "Nanti malam latihan menulis, perbaiki gaya tulisannya. Ini terlalu jelek dan membuat sakit mata saya." ketus Nathan "Sial! mataku juga sakit.." celetuk Thea dalam hati, Mengepalkan kedua tangannya dengan erat,berusaha menahan emosi karena perkataan laki laki itu. "Ambil dan pelajari buku pedoman tul
"......" detiknya berlalu karena membisu, Thea terdiam sambil berulang kali membuka tutup telapak tangan kanan yang terasa nyeri. Seakan tengah berusaha memberi relaksasi bagi kelima jarinya, Ini pertama kali dia merasa begitu letih, mungkin wajar karena pengalaman pertama. Perlahan pandangannya beralih pada gadis yang masih setia memeluk selimut tebal, "Man. Ayo bangun! aku udah siap berangkat," ucap Thea mengeraskan suara. "Ng.." "Iya iya, ini aku bangun." gumam Manda perlahan membuka mata seraya menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong. "Ayo!" seru Thea sekali lagi demi mempersi
"Menurutku dia bukan gadis kompeten. Aku yakin dia masuk kesini dengan cara licik!" timpal suara gadis lain yang tak lagi asing di telinga Thea. Suara nyaring yang kemarin berhadapan dan sosok yang berhasil dihindari pagi tadi, "Ini suara wanita yang kemarin bawain kopi!" "Berarti--mereka beneran lagi gosipin aku?" benak Thea menggigit bibir bawah, semakin mendekatkan telinga pada pembatas demi memperlancar tujuannya sekarang. Menguping bukanlah hal baik tentu semua orang tahu akan hal itu, namun bagaimana lagi? Mendengar sesuatu tentang diri sendiri bukanlah suatu kejahatan. Jadi Thea tak merasa menyesal meski harus melakukan hal secara diam-diam, "Licik--apa maksudmu?" tanya Mia mengerutkan alis,
"Aduh, gila banget nih orang!" gumam Thea lirih, Kenapa dia selalu bertemu pria tidak waras atau memang seluruh dunia ini dipenuhi wajah tampan tanpa akal? Demi mempertahankan posisi, Thea harus segera pergi dan cara yang tersisa hanyalah kekerasan. Tak mau berpikir ulang, ditancapkannya kedua gigi taring pada pergelangan tangan yang masih mencengkram erat. "Aw.." rintihnya, reflek melepas tangan dan membiarkan Thea lari menjauh. Secepat mungkin memasuki lift, hanya saja karena keberuntungan yang telah berpaling. Gadis itu harus terjebak di tengah karyawan yang tengah aktif memanfaatkan waktu pada jam makan siang, Bersama dengan lima karyawan lain yang tentu saja lebih dulu datang, mau tidak mau dia harus sabar menunggu untuk bisa pergi pada lantai yang dituju. "Kak Mia, sudah makan siang?" sontak salah satu karyawan asing, Seketika membuat perhatian Thea beralih karena mendengar nama tad
"Sudah sampai mana?" "Ha?" sontak Thea merasa bingung dengan respon laki laki itu. Kenapa masih harus ada pertanyaan di ujung penantian, apakah tidak bisa membiarkannya tenang tanpa harus berpikir keras. "Aturan tadi. Kamu sudah hafal sampai mana?" "Oh. Saya sudah hafal sampe aturan ke 45," "Bawa pulang dan pelajari di rumah, dalam 3 hari kamu harus hafal semua aturan. Tapi mulai besok kamu sudah harus ikut kemanapun saya pergi---siap siaga selama 24 jam." ujar Nathan, "Baik Pak, nanti saya akan lanjut membaca dan menghafal sampe selesai! Kalo begitu saya pamit undur diri," "Tunggu.." sontaknya berhasil membuat langkah Thea terhenti. Sambil menghela nafas berat juga menggigit bibir bawah, gadis itu berbalik kembali pada posisi semula hanya demi menunggu perintah lain yang belum Nathan lontarkan. "Kamu sudah bisa berkumpul dengan karyawan departemen perencana. Meja kerjamu ada di barisan paling depan di pojok kan
"Buku paket." tegas Thea tanpa menoleh. "Ha? Buku paket apaan?" sahut Manda masih belum bisa menuntaskan rasa penasarannya, Apalagi yang didapat bukanlah sebuah penjelasan, gadis itu hanya diam perlahan mengangkat map coklat hingga menunjukkan sampul tertulis judul berkas. "Aturan kontrak? tebel amat!" "Ya gimana lagi! Pamanmu banyak maunya. Suruh hafal ratusan aturan ini dalam 3 hari----pantesan karyawan lain bilang, kalo sebelumnya asisten pribadi bakal diganti sebulan sekali." "Karena sekarang aku ngerasain posisi itu, aku jadi tau alasannya!" gerutu Thea masih sibuk mengamati tulisan yang tertera dengan raut kesal.
Sebuah pertanyaan terlontar dari salah satu karyawan yang masih penasaran menatap keberadaan wanita di depan meja Thea. Terlebih lagi dengan kalimat yang mengundang tanya bagi semua orang, "Oh, tidak ada! aku hanya memberi satu kaleng minuman soda, dan mengatakan kepadanya untuk tidak mendengar semua ocehan buruk yang karyawan lain katakan." ucap Lisa tersenyum ramah, berusaha menjadi pemeran baik di hadapan mereka. Dengan lihai menyembunyikan tawa licik yang menggema dalam benak karena berhasil menambah kericuhan, setidaknya ini semua pantas Thea dapat karena telah berani mengusik orang yang salah. "Hh, kau akan kewalahan menghadapi mereka. Suruh siapa kau berani merebut posisi ini---jabatan ini tidak pantas untukmu!" gumamnya dalam hati,
"Srup---ah!" celetuk suara puas dari bibir ranum yang baru saja menikmati beberapa teguk minuman.Cap..Cap..Cap..Berulang kali mengecap demi mengingat rasa manis yang tersisa di langit-langit mulut, lengkung sempurna perlahan muncul saat melihat sosok dengan setelan hitam putih tengah berjalan menghampiri.Sepoi angin siap menerpa rambut legam terkuncir tinggi bak ekor kuda, terasa begitu sejuk saat kutikula tubuh serta leher jenjangnya tertiup udara."Kenapa kau berikan padaku?" ucap Thea menegur wanita yang sedang berdiri sambil menyodorkan sebuah kelapa. Begitu bingung padahal dirinya sendiri juga telah memangku s
Mendengar logat halus yang begitu menyejukkan telinga juga sentuhan intim yang terasa nyata, padahal kedua hal itu adalah impian yang tak mungkin didapat.Tapi siapa sangka setelah menjadi kenyataan semua ini justru menyakitkan hati Thea, kata bak pinangan tadi berubah setajam pedang yang menoreh luka.Sakit yang menggores batin mengundang linang air di pelupuk mata, "Apa, Bapak bilang--layani?""Iya, tapi kenapa kau menangis? Ini bukan waktunya bersedih," tanya Nathan penuh kelembutan, sedikit merasa cemas melihat satu bulir bening menetes menyusuri pelipis."Apa Bapak pikir saya hanyalah wanita penghibur! Apa Bapak tidak tahu kalau perintah itu hanya pantas diajukan pada seorang pelacur,""Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan seorang pelacur," sanggah Nathan panik, sigap mengusap air mata yang mulai bercucuran.Segera Thea menepis tangan yang menurutnya hanya berbuat demi seuntai n
WARNING 21+ ________________________________ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ________________________________ Blush.. Begitu jelas terukir rona merah di kedua pipi Thea, wajah putihnya berubah bak kepiting rebus berkat perkataan penuh makna. "A-apa maksudnya, kenapa dia mengatakan hal itu? D-dan kenapa aku memikirkan hal kotor!" gumam Thea dalam hati menangkup kedua tangan ke dalam dada hingga memastikan seperti apa kondisi organ dibalik kerangka tubuhnya. Perlahan memberanikan diri melirik sosok yang terus berjalan dengan langkah normal, raut datar itu tetap terpasang hingga menaruh tanda tanya di benak Thea. Bibir yang hendak bergumam guna menanyakan maksud tak lagi melanjutkan niat setelah menyadari suara debaran yang berasal dari dada bidang yang kini tengah mendekapnya. Dengan keberanian yang tak seberapa telapak gadis itu terulur untuk menyentuh ambang kutikula Nathan,
Sigap gadis itu berdiri memandang Nathan yang siap menarik kaos hitam hingga memperlihatkan tubuh bagian atas. Mulai dari lekuk otot perut hingga kedua titik pada dada bidang, entah kenapa Thea belum menyadari jika kedua maniknya perlahan tersihir karena pemandangan tersebut. Bahu lebar itu terlihat begitu luas dari jarak dekat, kali ini Thea lebih lekat menatap setiap inci tubuh atletis seorang pria. "Itu ada 8," gumamnya tanpa sadar menganga tak mampu mengontrol ekspresi, Seketika berhasil mengundang tawa singkat di wajah Nathan, merasa senang melihat tingkah gadis yang terkesan menggemaskan. Perlahan menoleh demi melempar kaos ke sisi lain, "Apa kau menghitungnya?" sontak Nathan merendahkan suara sambil menerbitkan senyum licik, "Aa-tidak!" geleng Thea, baru menyadari apa yang telah dilakukan. Pasti wajahnya terlihat seperti orang bodoh saat tertegun hanya karena hal sepele, reflek Thea mengalihkan pandanga
"Huh! Apa dia bilang? Perutku penuh dengan lemak! Memangnya dia pernah melihat perutku--seenaknya saja menghina tanpa bukti." gerutu Thea mendengus kesal,Dengan hati yang terbakar amarah dia berdiri di depan cermin besar, meletakkan tumpukan kain ke atas penyangga kaca. Masih sigap memasang wajah muram karena terus teringat ucapan pria tadi,Sigap dilepasnya dress formal yang melekat demi segera mengenakan salah satu setelan lain. Entah kenapa sekilas muncul senyum cerah di wajah Thea,Tercipta satu tujuan jika dia harus bisa mematahkan hinaan tadi demi menjaga harga diri. Bahkan Thea mulai membayangkan ketika wajah angkuh itu terpesona dengan tubuh indahnya,Doeng!
Meski merasa terpaksa, gadis itu tetap melangkah maju hingga mendapati beberapa pelayan datang dengan meja dorong berisi berbagai macam hidangan.Seketika rasa kesal dalam hati Thea terganti dengan rasa lapar yang mengguncang penduduk di dalam perut. Lengkung bibir itu terukir sempurna seraya membuka jalan bagi pelayan untuk menyelesaikan tugasnya,"Taruh saja disitu. Aku akan menatanya sendiri," celetuk Thea begitu tak sabar mencicipi salah satu makanan yang sangat menggoda hingga membuatnya berulang kali menelan saliva.Beruntung dia masih bisa mempertahankan raut datar demi menjaga citra di hadapan mereka. Perlahan setiap pelayan berbaris dengan kepala tertunduk,"Karena malam masih panjang, apa setelah ini---Nyo
Aroma bunga lily yang masih melekat pada urai legam pria itu mampu membuat Thea mengernyit, sedikit bingung bagaimana bisa hidungnya dengan jelas menghirup wangi tersebut.Entah kenapa tanpa sadar dia terlelap sebelum menghabiskan setengah perjalanan, mungkin saja energi dalam tubuh Thea telah terisi penuh hingga menambah kepekaannya terhadap bau."Ng.." perlahan membuka mata, menemukan diri tengah bersandar pada jendela berukuran sedang.Seketika dia tersentak kaget karena menatap pemandangan awan yang begitu berbeda, sigap menoleh hingga menemukan sosok tinggi sedang duduk tepat di sampingnya. "Bapak! Kita ada dimana?""Pesawat," sahut Nathan datar tanpa menoleh,Mendengar kalimat tadi, tanpa ragu Thea menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kursi kosong layar televisi juga perabotan modern yang tak mungkin ditemukan di dalam mobil."Perasaan aku tadi ada di dalam mobil.." gumam Thea mengerutkan alis, ber
"Hah?! K-kenapa!"Tentu saja gadis itu terkejut tak mampu berkutik mendengar saran aneh dari mulut Zen. Bukannya mendukung dan membiarkan Thea membantu karena pasti mengerti tentang emosi yang dirasakan, dia justru menggunakan ide aneh Nathan untuk mengusir mereka."Tu--" nyaris saja sebuah panggilan hormat muncul berkat batin yang terlalu antusias, beruntung dia sadar pada waktu yang tepat."Aku mohon, izinkan aku membantu..""Bukankah tadi sudah kujelaskan, bahwa kaulah target mereka. Liburan adalah cara yang tepat untuk kau bersembunyi,""Kau harus menghilang selama beberapa hari untuk mengecoh mereka. Dan Nathan akan menemanimu," beralih menatap sosok lain."Kau tidak boleh pergi kemanapun dan pastikan Thea selalu berada di sampingmu sampai keadaan aman----biarkan aku menjalankan rencana yang telah kami setujui," lugas Zen berhasil membujuk,Meski tidak tahu apapun tentang rencana yang dim
Karena gadis yang masih bersikeras mengajak Nathan ke suatu tempat, mau tidak mau setelah berganti pakaian mereka berdua pergi menaiki mobil yang dibawa oleh Romi.Kedatangan pria itu juga menyelesaikan kesalahpahaman yang beberapa saat lalu terjadi. "Thea, kenapa kau memintaku membawa baju? Padahal tadi, Pak Nathan sudah memakai baju baru."Seperti biasa dia menempati kursi depan agar tak mengganggu kenyamanan tuan muda. "Itu tadi, baju milik sepupuku..""Apa?!" sontak Romi terkejut mendengar kebenaran yang belum pernah terjadi,"Sudahlah lupakan saja. Itu telah berlalu! Jangan sampai ada yang kesal karena kita membicarakan hal tadi," bisik Thea berhasil menghentikan perbincangan,Menit berlalu kendaraan beroda empat itu telah melewati gerbang besar yang menuntun ke depan gedung megah familiar milik keluarga Adelard.Muncul helaan nafas panjang, dari seorang pria berjas coklat yang tengah melirik sekilas