Namun apapun itu, laki-laki setengah baya yang kini tengah berjalan ke arahnya adalah ayah kandungnya sendiri. Darah dan dagingnya berasal dari laki-laki di depannya ini. Jihan wajib menghormatinya, walaupun sang ayah tidak pernah merasa kalau dirinya menghormati sang ayah.
"Kamu ini memang benar-benar keras kepala, Han! Kamu tidak pernah sekalipun menuruti kemauan Ayah seperti, kakakmu, Nihan! Kamu mau jadi anak durhaka hah?!" Belum juga menyalim tangan ayahnya, ia sudah lebih dulu diamuk sang ayah.
"Masuk dulu ke dalam, Yah. Nanti Jihan jelaskan semuanya. Tidak enak dilihat tetangga, Yah." Jihan yang berdiri di ambang pintu, melebarka
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa tiga bulan telah berlalu. Karena pihak Tommy tidak lagi mempersulit perceraian, maka sidang perceraiannya pun berjalan lancar. Dalam kurun waktu tiga bulan saja, mereka berdua telah melalui tahapan persidangan. Dan hari ini adalah sidang terakhir pembacaan keputusan cerainya.Selama menjadi persidangan berikutnya, Tommy tidak sekalipun pernah lagi menghadirinya. Kecuali saat sidang pertama. Tommy telah menguasakan segala urusannya pada pengacaranya. Makanya semua tahapan mereka lalui dengan lancar jaya.Jihan tidak henti-hentinya mengucapkan kata alhamdullilah dalam hati, ketika hakim akhirnya mengetuk palu sebanyak tiga kali. Artinya ia kini telah resmi bercerai dengan Tommy.Jihan masih merasa tidak percaya. Bahkan saat pengacara Tommy menyalaminya, Jihan menyambut dengan air muka datar. Ia masih percaya dan tidak percaya. Bayangkan saja, Tommy yang b
Jihan memindai jam dinding. Waktu telah menunjukkan pukul 16.05 WIB. Sebaiknya sekarang saja ia berbelanja sembako yang telah menipis di rumah. Mumpung hypermart sedang mengadakan promo besar-besaran, sebaiknya ia berbelanja di sana saja. Selama ini kalau kepepet ia akan berbelanja di mini market seberang warung. Tentu saja harganya relatif lebih mahal dari hypermart. Makanya saat ia mempunyai waktu luang dan rezeki berlebih, ia lebih suka berbelanja di hypermart."Ibu tidak jadi belanja?" Retno yang baru saja mengantarkan minuman pada pengunjung menyapanya sekilas."Jadi, Ret. Makanya ini Ibu mau mandi sebentar dulu. Badan Ibu rasanya lengket semua karena minyak dan keringat. Oh ya, Ibu nanti akan langsung pulang setelah selesai berbelanja. Kamu dan Narti saja yang menutup warung nanti ya, Ret?" pesan Jihan seraya berjalan ke kamar mandi."Baik, Bu. Nanti saya dan Narti akan menutup warung. Sesuai pesan Ibu yang biasa, ka
Jihan panas dingin saat mobil Azzam meluncur mulus memasuki satu kompleks perumahan elit. Jihan tahu kalau perumahan eksklusif ini rata-rata dihuni oleh para pejabat dan konglomerat negeri ini. Selain itu ada beberapa artis papan atas yang juga mendiami kompleks ini. Wajar Azzam tinggal di sini mengingat status sosial keluarga Alkatiri. Nadiem Alkatiri, ayah Azzam, memiliki beberapa perusahaan raksasa yang tengah berkembang pesat saat ini.Mobil terus melaju hingga berhenti pada pintu gerbang satu rumah mewah dan megah. Dari relief-relief pagarnya saja, rumah ini seolah-olah meneriakkan kata mahal pada setiap orang yang datang.Saat Azzam meraih remote untuk membuka pagar, Jihan iseng mengamati pagar artistik di depannya. Gerbangnya tinggi menjulang. Pada bagian pagar besi ada pola belah ketupat yang menjadikan pagar terlihat estetik. Hal lainnya yang menjadikan pagar ini mewah adalah bagian gapuranya.Material gapura dibuat menggunak
Warung tengah ramai-ramainya. Pada saat jam makan siang seperti ini, memang kesibukan mereka luar biasa. Semenjak warungnya menawarkan kerjasama dengan Kanaya yang menjual bakso, Mbak Umi yang menjual ayam penyet, Mbak Tatik dengan lontong balapnya serta Kak Iyet yang berjualan sate padang, pelanggan makin ramai saja. Satu warung namun menunya beragam menurut pelanggan-pelangganya. Ditambah dengan harganya juga ramah di kantong, warungnya menjadi warung favorit para pekerja kantoran di sekitar warungnya. Alhamdullilah.Jihan menhampiri Kanaya saat melihatnya keteteran melayani pelanggan. Harus meracik bakso sendiri dan mengantarkannya ke meja masing-masing pemesan, memang merepotkan. Jihan bermaksud membantu Kanaya menghidangkan bakso-bakso yang telah selesai diracik."Repot sekali ya kamu, Nay? Sini Mbak bantuin mengantarkan bakso-bakso ke meja pelanggan.""Waduh, jadi nggak enak s
"Ayahmu sakit, Han." Suara lirih sang ibu membuat Jihan menghentikan kesibukannya menyusui. Akhirnya ia tahu juga apa yang membuat ibunya termenung sedari baru datang tadi."Semenjak kamu resmi bercerai, mantan mertuamu sudah tidak pernah lagi memberikan proyek-proyek besar pada ayahmu. Hotel barunya yang dilaunching bulan lalu, semua diisi dengan furniture dari pabrik mebel Pak Karto. Padahal sebelumnya Pak Anwar menjanjikan akan menggunakan semua furniture dari pabrik kita. Ditambah dengan beraninya toko-toko mebel saingan kita menurunkan harga lebih murah, mebel-mebel kita menjadi tidak laku, Han. Banyak stok bahan yang menumpuk di pabrik. Ayahmu stress. Dan sudah seminggu ini ayahmu jatuh sakit karena banyak pikiran.""Dari mana Ibu tahu? Bukannya Ibu bilang kalau ayah sudah dua minggu lebih pulang ke rumah Tante Rahmah, setelah ribut dengan Ibu?" tanya Jihan sambil lalu. Jihan menepuk-nepuk ringan punggung N
Jihan tiba di kediaman Azzam tepat pukul satu siang. Hari ini ia tidak menjaga warung. Permintaan Azzam untuk membantunya melenyapkan masa lalu, membuat Jihan tersanjung. Ia kini sadar bahwa Azzam benar-benar ingin merajut asa baru dengannya. Untuk itu ia menugaskan Retno, Narti dan Tini, karyawan barunya untuk mengurus warung. Sementara Niko dan Niki ia tinggalkan di rumah. Selain Bu Marni, ada ibunya juga yang akan ikut menjaga. Waktunya saat ini, khusus akan ia fokuskan untuk Azzam saja.Mengingat tugasnya akan membantu Azzam bersih-bersih ruangan, Jihan dengan sengaja mengenakan pakaian yang praktis. Berupa kaus oblong lengan panjang, dan kulot lebar. Dengan begitu gerakannya akan lebih leluasa."Ayo kita turun, Han." Azzam mematikan mesin mobil dan bersiap keluar. Jihan mengangguk dan mengikuti gerakan Azzam. Kini mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. Saat memasuki ruang tamu utama, suasana terasa lenggang. Kedua orang tua Azzam
Azzam menatap geram surat pengumuman hasil tender yang baru saja diantarkan kurir. Matanya nyalang saat membaca huruf demi huruf yang tertulis dalam surat itu. Surat pengumuman hasil tendernya itu bukan hanya satu. Ada empat surat lagi di laci mejanya. Bersama surat dengan yang ada dictangannya, berarti ada lima surat. Dan kelimanya berisikan pengumuman kalau perusahaannya kalah tender."Menurut keputusan dalam rapat tim pengadaan jasa PT Asia Graha Perumindo (Persero), setelah meninjau dari kompetensi dan pengalaman para peserta tender. Kami memutuskan untuk Pengadaan Jasa Perencanaan dan Implementasi akan diberikan kepada P.T Panca Karya Tbk."Azzam tidak melanjutkan bacaannya lagi. Ia sangat kecewa karena proyek-proyek yang sangat ia inginkan ini, jatuh satu persatu ke perusahaan-perusahan kompetitornya. Dan bukan sembarang kompetitor pula. Karena pemilik perusahaan Panca Karya Tbk itu adalah Tommy Wiranata. Mantan suami Jihan.
Jihan duduk termenung memandangi rintik hujan. Saat ini ia tengah berada di sebuah kafe tidak jauh dari warungnya. Ia menanti kehadiran Sandra. Sepupu Naima itu tadi menghubunginya via ponsel. Sandra mengatakan kalau ia ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan terkait masalah Azzam. Tetapi Sandra tidak ingin berbicara di warungnya. Karena menurut Sandra akan ada kemungkinan kalau ia akan bertemu dengan Azam. Mengingat warungnya berada tepat di sebelah kantor Azam. Padahal Azzam telah mewanti-wantinya untuk tidak membicarakan masalah ini dengan dirinya. Sebenarnya Jihan tidak tertarik untuk menemui Sandra. Namun saat nama Azzam disebut dengan penekanan khusus, Jihan merasa ada baiknya juga ia menemui Sandra. Setidaknya ia jadi tahu, seperti apa kelakuan Sandra jika tidak ada Azzam di antara mereka.Jihan memindai jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit telah berlalu. Namun kehadiran Sandra belum terlihat. Wajar, karena jarak k