Azzam menatap geram surat pengumuman hasil tender yang baru saja diantarkan kurir. Matanya nyalang saat membaca huruf demi huruf yang tertulis dalam surat itu. Surat pengumuman hasil tendernya itu bukan hanya satu. Ada empat surat lagi di laci mejanya. Bersama surat dengan yang ada dictangannya, berarti ada lima surat. Dan kelimanya berisikan pengumuman kalau perusahaannya kalah tender.
"Menurut keputusan dalam rapat tim pengadaan jasa PT Asia Graha Perumindo (Persero), setelah meninjau dari kompetensi dan pengalaman para peserta tender. Kami memutuskan untuk Pengadaan Jasa Perencanaan dan Implementasi akan diberikan kepada P.T Panca Karya Tbk."
Azzam tidak melanjutkan bacaannya lagi. Ia sangat kecewa karena proyek-proyek yang sangat ia inginkan ini, jatuh satu persatu ke perusahaan-perusahan kompetitornya. Dan bukan sembarang kompetitor pula. Karena pemilik perusahaan Panca Karya Tbk itu adalah Tommy Wiranata. Mantan suami Jihan.
Jihan duduk termenung memandangi rintik hujan. Saat ini ia tengah berada di sebuah kafe tidak jauh dari warungnya. Ia menanti kehadiran Sandra. Sepupu Naima itu tadi menghubunginya via ponsel. Sandra mengatakan kalau ia ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan terkait masalah Azzam. Tetapi Sandra tidak ingin berbicara di warungnya. Karena menurut Sandra akan ada kemungkinan kalau ia akan bertemu dengan Azam. Mengingat warungnya berada tepat di sebelah kantor Azam. Padahal Azzam telah mewanti-wantinya untuk tidak membicarakan masalah ini dengan dirinya. Sebenarnya Jihan tidak tertarik untuk menemui Sandra. Namun saat nama Azzam disebut dengan penekanan khusus, Jihan merasa ada baiknya juga ia menemui Sandra. Setidaknya ia jadi tahu, seperti apa kelakuan Sandra jika tidak ada Azzam di antara mereka.Jihan memindai jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit telah berlalu. Namun kehadiran Sandra belum terlihat. Wajar, karena jarak k
"Ya Mbak Jihan, ada angin apa tiba-tiba nelpon Salsa?"Jihan menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab pertanyaan Salsa. Ia berusaha menenangkan hatinya terlebih dahulu. Sejujurnya ia merasa bersalah karena telah memanfaatkan kepolosan Salsa. Namun ia kembali berpikir. Bahwa ini semua ia lakukan demi kebaikan bersama. Agar kebenaran bisa ditegakkan. Dan tiada lagi kecurigaan-kecurigaan di antara para pihak yang menyesatkan."Tiada angin apapun, Sal. Mbak hanya ingin minta tolong pada Salsa akan sesuatu." Jihan bertutur dengan hati-hati. Ia tidak ingin membuat Salsa curiga."Minta tolong apa itu, Mbak? Bilang aja. Kalau Salsa bisa, pasti akan Salsa bantu,"Riangnya suara Salsa mengisyaratkan bahwa ia tidak mencurigai sesuatu. Salsa memang polos. Sesungguhnya Salsa adalah pribadi yang baik."Begini, Sal. Mas Azzam 'kan akan berulang tahun sebentar lagi. Mbak ingi
Ada yang salah di sini. Entah mengapa Jihan merasa ada sesuatu yang lain dari cara Azzam menatapnya. Sinar mata Azzam yang biasanya walau datar, namun terasa teduh. Tetapi sesiangan ini berubah. Tatapan Azzam sedari tadi seperti menelisik. Ada apa sebenarnya? Ketika Azzam terus memandangnya tajam, bahkan pada saat ia tengah menggoreng ayam, cukup sudah. Jihan sudah tidak tahan lagi. Ia memang paling tidak bisa memendam sesuatu.Jihan membuka apron. Ia kemudian menugaskan Retno untuk melanjutkan menggoreng ayam. Ia ingin berbicara dari hati ke hati dengan Azzam. Pengalaman mengajarkannya untuk segera menyelesaikan masalah. Dengan memendam ujung-ujungnya bisa mendendam. Seperti itulah pengalaman hidupnya saat masih menjadi istri Tommy.Dengan tidak sabar, ia memberi isyarat pada untuk Azzam mengikutinya ke belakang. Saat membahas masalah pribadi seperti ini, tidak elok jika ada telinga lain yang ikut mendengar. Sekali pun itu adalah para pek
Sudah hampir satu jam Jihan duduk di kafetaria hotel. Hari ini ia mengikuti Azzam yang sedang mempresentasikan proyek-proyeknya di hotel ini. Sebenarnya ia datang bukan khusus untuk mendampingi Azzam presentasi. Hanya saja setelah ini ia dan Azzam akan mengurus dokumen-dokumen menyangkut data-data diri mereka yang baru.Masa iddahnya akan berakhir sekitar sebulan sepuluh hari lagi. Dan Azzam ingin mereka menikah secepatnya. Untuk itu mereka harus melengkapi dulu semua dokumen-dokumen yang belum valid. Seperti mengubah Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga dengan status janda atau duda cerai. Serta melengkapinya dengan surat akta cerai dari pengadilan. Khusus untuk Azzam, ia harus melengkapinya dengan Surat Kematian atau Akta Kematian almarhumah Naima. Berikut juga Surat Keterangan Kematian dari Kepala Desa atau Lurah setempat, yang menerangkannya sebagai duda ditinggal mati.Dan kebetulan hari ini akta cerainya sudah selesai, dan bisa di
"Sudah kalian tetapkan belum, akan tinggal di mana setelah menikah nanti?" Pertanyaan Bu Sahila ini tidak langsung dijawab oleh Jihan. Sebagai gantinya ia melirik kearah Azzam. Menurutnya Azzam lah yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.Saat ini ia tengah berada di ruang tamu kediaman keluarga Alkatiri, bersama dengan Azzam berikut dua buah hatinya. Niko dan Niki. Sebelum sampai di rumah ini, ia sudah terlebih dulu bertukar pikiran dengan ibunya, yang kebetulan datang. Ibunya rindu pada kedua cucunya katanya. Pada kesempatan itu, ia pun menceritakan sebab musabab memanasnya hubungannya dengan Bu Sahila, akibat peristiwa pembersihan paviliun tempo hari.Dan menurut ibunya, alangkah baiknya jika dirinya mengunjungi Bu Sahila untuk meminta maaf secara langsung. Jika ada perselisihan, sebaiknya dibicarakan secepatnya. Jangan menunda-nundanya dan mencari pembenaran sendiri. Bagaimanapun sebagai orang tua Bu Sahila pasti i
"Ini kopinya, Yah." Jihan meletakkan kopi yang masih mengepul itu di atas meja kaca. Beginilah panggilannya pada Pak Nadiem dan Bu Sahila. Azzam memintanya memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan ayah dan ibu. Biar lebih akrab katanya. Untuknya Pak Nadiem dan Bu Sahila tidak keberatan. Mereka tidak mengatakan apa-apa atas berubahnya panggilannya."Terima kasih, Han. Iya, letakkan saja di sana. Setelah agak dingin nanti, baru akan Ayah minum." Pak Nadiem menjawab sambil lalu. Ia masih asyik menyusun satu persatu puzzle bersama Niko.Setelah menghidangkan kopi pada Pak Nadiem, Jihan celingukan. Ia tidak melihat bayangan Bu Sahila di ruang tamu ini."Ibu mana, Mas?" bisik Jihan pada Azzam, seraya meletakkan kopi di meja samping. Ia gelisah. Soalnya Bu Sahila membawa Niki bersamanya. Ia khawatir kalau Niki rewel dan akhirnya merepotkan Bu Sahila."Ibu membawa Niki berkeliling rumah, biar
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima