Warung tengah ramai-ramainya. Pada saat jam makan siang seperti ini, memang kesibukan mereka luar biasa. Semenjak warungnya menawarkan kerjasama dengan Kanaya yang menjual bakso, Mbak Umi yang menjual ayam penyet, Mbak Tatik dengan lontong balapnya serta Kak Iyet yang berjualan sate padang, pelanggan makin ramai saja. Satu warung namun menunya beragam menurut pelanggan-pelangganya. Ditambah dengan harganya juga ramah di kantong, warungnya menjadi warung favorit para pekerja kantoran di sekitar warungnya. Alhamdullilah.
"Repot sekali ya kamu, Nay? Sini Mbak bantuin mengantarkan bakso-bakso ke meja pelanggan."
"Waduh, jadi nggak enak s
"Ayahmu sakit, Han." Suara lirih sang ibu membuat Jihan menghentikan kesibukannya menyusui. Akhirnya ia tahu juga apa yang membuat ibunya termenung sedari baru datang tadi."Semenjak kamu resmi bercerai, mantan mertuamu sudah tidak pernah lagi memberikan proyek-proyek besar pada ayahmu. Hotel barunya yang dilaunching bulan lalu, semua diisi dengan furniture dari pabrik mebel Pak Karto. Padahal sebelumnya Pak Anwar menjanjikan akan menggunakan semua furniture dari pabrik kita. Ditambah dengan beraninya toko-toko mebel saingan kita menurunkan harga lebih murah, mebel-mebel kita menjadi tidak laku, Han. Banyak stok bahan yang menumpuk di pabrik. Ayahmu stress. Dan sudah seminggu ini ayahmu jatuh sakit karena banyak pikiran.""Dari mana Ibu tahu? Bukannya Ibu bilang kalau ayah sudah dua minggu lebih pulang ke rumah Tante Rahmah, setelah ribut dengan Ibu?" tanya Jihan sambil lalu. Jihan menepuk-nepuk ringan punggung N
Jihan tiba di kediaman Azzam tepat pukul satu siang. Hari ini ia tidak menjaga warung. Permintaan Azzam untuk membantunya melenyapkan masa lalu, membuat Jihan tersanjung. Ia kini sadar bahwa Azzam benar-benar ingin merajut asa baru dengannya. Untuk itu ia menugaskan Retno, Narti dan Tini, karyawan barunya untuk mengurus warung. Sementara Niko dan Niki ia tinggalkan di rumah. Selain Bu Marni, ada ibunya juga yang akan ikut menjaga. Waktunya saat ini, khusus akan ia fokuskan untuk Azzam saja.Mengingat tugasnya akan membantu Azzam bersih-bersih ruangan, Jihan dengan sengaja mengenakan pakaian yang praktis. Berupa kaus oblong lengan panjang, dan kulot lebar. Dengan begitu gerakannya akan lebih leluasa."Ayo kita turun, Han." Azzam mematikan mesin mobil dan bersiap keluar. Jihan mengangguk dan mengikuti gerakan Azzam. Kini mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. Saat memasuki ruang tamu utama, suasana terasa lenggang. Kedua orang tua Azzam
Azzam menatap geram surat pengumuman hasil tender yang baru saja diantarkan kurir. Matanya nyalang saat membaca huruf demi huruf yang tertulis dalam surat itu. Surat pengumuman hasil tendernya itu bukan hanya satu. Ada empat surat lagi di laci mejanya. Bersama surat dengan yang ada dictangannya, berarti ada lima surat. Dan kelimanya berisikan pengumuman kalau perusahaannya kalah tender."Menurut keputusan dalam rapat tim pengadaan jasa PT Asia Graha Perumindo (Persero), setelah meninjau dari kompetensi dan pengalaman para peserta tender. Kami memutuskan untuk Pengadaan Jasa Perencanaan dan Implementasi akan diberikan kepada P.T Panca Karya Tbk."Azzam tidak melanjutkan bacaannya lagi. Ia sangat kecewa karena proyek-proyek yang sangat ia inginkan ini, jatuh satu persatu ke perusahaan-perusahan kompetitornya. Dan bukan sembarang kompetitor pula. Karena pemilik perusahaan Panca Karya Tbk itu adalah Tommy Wiranata. Mantan suami Jihan.
Jihan duduk termenung memandangi rintik hujan. Saat ini ia tengah berada di sebuah kafe tidak jauh dari warungnya. Ia menanti kehadiran Sandra. Sepupu Naima itu tadi menghubunginya via ponsel. Sandra mengatakan kalau ia ingin bertemu dengannya. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan terkait masalah Azzam. Tetapi Sandra tidak ingin berbicara di warungnya. Karena menurut Sandra akan ada kemungkinan kalau ia akan bertemu dengan Azam. Mengingat warungnya berada tepat di sebelah kantor Azam. Padahal Azzam telah mewanti-wantinya untuk tidak membicarakan masalah ini dengan dirinya. Sebenarnya Jihan tidak tertarik untuk menemui Sandra. Namun saat nama Azzam disebut dengan penekanan khusus, Jihan merasa ada baiknya juga ia menemui Sandra. Setidaknya ia jadi tahu, seperti apa kelakuan Sandra jika tidak ada Azzam di antara mereka.Jihan memindai jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit telah berlalu. Namun kehadiran Sandra belum terlihat. Wajar, karena jarak k
"Ya Mbak Jihan, ada angin apa tiba-tiba nelpon Salsa?"Jihan menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab pertanyaan Salsa. Ia berusaha menenangkan hatinya terlebih dahulu. Sejujurnya ia merasa bersalah karena telah memanfaatkan kepolosan Salsa. Namun ia kembali berpikir. Bahwa ini semua ia lakukan demi kebaikan bersama. Agar kebenaran bisa ditegakkan. Dan tiada lagi kecurigaan-kecurigaan di antara para pihak yang menyesatkan."Tiada angin apapun, Sal. Mbak hanya ingin minta tolong pada Salsa akan sesuatu." Jihan bertutur dengan hati-hati. Ia tidak ingin membuat Salsa curiga."Minta tolong apa itu, Mbak? Bilang aja. Kalau Salsa bisa, pasti akan Salsa bantu,"Riangnya suara Salsa mengisyaratkan bahwa ia tidak mencurigai sesuatu. Salsa memang polos. Sesungguhnya Salsa adalah pribadi yang baik."Begini, Sal. Mas Azzam 'kan akan berulang tahun sebentar lagi. Mbak ingi
Ada yang salah di sini. Entah mengapa Jihan merasa ada sesuatu yang lain dari cara Azzam menatapnya. Sinar mata Azzam yang biasanya walau datar, namun terasa teduh. Tetapi sesiangan ini berubah. Tatapan Azzam sedari tadi seperti menelisik. Ada apa sebenarnya? Ketika Azzam terus memandangnya tajam, bahkan pada saat ia tengah menggoreng ayam, cukup sudah. Jihan sudah tidak tahan lagi. Ia memang paling tidak bisa memendam sesuatu.Jihan membuka apron. Ia kemudian menugaskan Retno untuk melanjutkan menggoreng ayam. Ia ingin berbicara dari hati ke hati dengan Azzam. Pengalaman mengajarkannya untuk segera menyelesaikan masalah. Dengan memendam ujung-ujungnya bisa mendendam. Seperti itulah pengalaman hidupnya saat masih menjadi istri Tommy.Dengan tidak sabar, ia memberi isyarat pada untuk Azzam mengikutinya ke belakang. Saat membahas masalah pribadi seperti ini, tidak elok jika ada telinga lain yang ikut mendengar. Sekali pun itu adalah para pek
Sudah hampir satu jam Jihan duduk di kafetaria hotel. Hari ini ia mengikuti Azzam yang sedang mempresentasikan proyek-proyeknya di hotel ini. Sebenarnya ia datang bukan khusus untuk mendampingi Azzam presentasi. Hanya saja setelah ini ia dan Azzam akan mengurus dokumen-dokumen menyangkut data-data diri mereka yang baru.Masa iddahnya akan berakhir sekitar sebulan sepuluh hari lagi. Dan Azzam ingin mereka menikah secepatnya. Untuk itu mereka harus melengkapi dulu semua dokumen-dokumen yang belum valid. Seperti mengubah Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga dengan status janda atau duda cerai. Serta melengkapinya dengan surat akta cerai dari pengadilan. Khusus untuk Azzam, ia harus melengkapinya dengan Surat Kematian atau Akta Kematian almarhumah Naima. Berikut juga Surat Keterangan Kematian dari Kepala Desa atau Lurah setempat, yang menerangkannya sebagai duda ditinggal mati.Dan kebetulan hari ini akta cerainya sudah selesai, dan bisa di
"Sudah kalian tetapkan belum, akan tinggal di mana setelah menikah nanti?" Pertanyaan Bu Sahila ini tidak langsung dijawab oleh Jihan. Sebagai gantinya ia melirik kearah Azzam. Menurutnya Azzam lah yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.Saat ini ia tengah berada di ruang tamu kediaman keluarga Alkatiri, bersama dengan Azzam berikut dua buah hatinya. Niko dan Niki. Sebelum sampai di rumah ini, ia sudah terlebih dulu bertukar pikiran dengan ibunya, yang kebetulan datang. Ibunya rindu pada kedua cucunya katanya. Pada kesempatan itu, ia pun menceritakan sebab musabab memanasnya hubungannya dengan Bu Sahila, akibat peristiwa pembersihan paviliun tempo hari.Dan menurut ibunya, alangkah baiknya jika dirinya mengunjungi Bu Sahila untuk meminta maaf secara langsung. Jika ada perselisihan, sebaiknya dibicarakan secepatnya. Jangan menunda-nundanya dan mencari pembenaran sendiri. Bagaimanapun sebagai orang tua Bu Sahila pasti i