TUMANGGALA menunggu kelanjutan cerita itu. Ia merasa lelaki tua di hadapannya kembali sengaja menggantung ucapan. Hanya untuk menarik napas sebentar sebelum melanjutkan lagi.
Akan tetapi setelah beberapa saat berlalu, rupanya si lelaki tua hanya diam. Justru kepalanya kemudian menunduk, menekuri pasir pantai di bawah kakinya.
"Aku belum pernah mengalami peperangan melawan Jenggala seperti dirimu, Ki. Melawan kerajaan-kerajaan lain juga tidak," ujar Tumanggala kemudian.
Sang prajurit memilih memberi tanggapan agar suasana di antara mereka tidak hening membisu. Terbukti si lelaki tua angkat kepalanya setelah mendengar ucapan Tumanggala.
"Ketika aku diterima sebagai prajurit, Panjalu adalah kerajaan pemenang perang yang menguasai seluruh bekas wilayah Kahuripan. Tidak ada lagi musuh yang harus diperangi, maupun datang memerangi Panjalu.
"Tugas-tugas yang aku jalankan lebih sering berupa pengawalan. Baik mengawal para petinggi kerajaan yang bepergian k
TAMAN luas itu begitu indah dengan aneka bunga bermekaran di sana-sini. Kupu-kupu bermacam warna terbang kian-kemari. Hinggap di satu kuncup, lalu berpindah ke yang satunya lagi. Ada pula kumbang-kumbang yang beterbangan mengintai putik sari. Dalam keluasan taman itu Tumanggala bermain-main dengan seorang bocah lelaki berusia tiga. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajah keduanya. Saling berkejaran sembari memperdengarkan gelak tawa. Sekali waktu ditangkapnya itu bocah kecil bergas, lalu dibawa bergulingan sembari dipeluk erat-erat. Pipi montok si bocah diciumi dengan gemas, membuat anak kecil tersebut merasa geli oleh tusukan kumisnya yang lebat. "Kena kau, bocah kecil!" ujar Tumanggala sembari menangkap si bocah. Yang ditangkap terkikik geli, bergerak meronta-ronta ingin melepaskan diri. Tapi Tumanggala semakin kencangkan pelukannya. Diangkatnya si bocah tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan kedua tangan diayun-ayun seolah terbang. "Aku terba
TUMANGGALA merasa pipinya ditepuk-tepuk. Kiri dan kanan berganti-ganti dengan cepat. Plak! Plak! Plak! Mulanya prajurit itu tak merasakan apa-apa. Tapi lama-lama terasa perih juga. Telinganya juga mendengar suara sayup-sayup. "Anak Muda, bangunlah ...." Akhirnya prajurit Kerajaan Panjalu itu pun terbangun dari tidur. Gerakannya seperti orang yang sedang ketakutan. Keringat mengalir deras membasahi wajah dan sekujur tubuh. Napas terengah-engah. Sementara kedua matanya terbuka nyalang. "Kau bermimpi buruk, Anak Muda?" tanya satu suara parau, yang ternyata adalah si lelaki tua. Sebelah tangan lelaki tersebut memegang bahu Tumanggala. Yang ditanya tidak menjawab. Tatapannya yang nyalang perlahan-lahan berubah sendu. Bukan saja karena teringat pada impiannya tadi, di mana isterinya membawa puteranya pergi menghilang. Meninggalkan Tumanggala sendirian. Tapi juga karena mimpi itu mengingatkan sang prajurit pada sesuatu. Pada kejadian
TUMANGGALA merasakan dadanya sakit terkena hantaman dua kelapa muda tersebut. Hampir saja tubuh sang prajurit jatuh terjengkang ke atas pasir, jika saja ia tak sigap menyeimbangkan tubuh.Si lelaki tua dibuat tertawa mengekeh melihatnya. Sebuah tawa yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Tumanggala.Sang prajurit beruntung karena lelaki tua itu tidak mengerahkan tenaga dalam pada lemparannya. Hanya lemparan kosong biasa. Tapi karena ukuran kedua kelapa yang besar, mau tak mau Tumanggala kesakitan juga."Ah, ternyata kau ini prajurit payah, Anak Muda. Aku tidak percaya kalau kaulah yang menghabisi Ranasura si gembong Begal Alas Wengker," ujar si lelaki tua, sengaja mengejek untuk memancing sang prajurit.Tumanggala hanya tersenyum tipis menanggapi itu."Aku tidak butuh pengakuanmu, Orang Tua. Kenyataannya, Prabu Jayabhaya memberiku anugerah serta kenaikan pangkat atas keberhasilanku menggulung gerombolan Ranasura," sahutnya, sengaja menyombong
USAI berkata begitu, si lelaki tua lantas memungut sebuah batu sebesar genggaman tangan dari atas pasir pantai.Sembari menimang-nimang batu di tangannya, lelaki tua itu berkata lagi."Aku akan melempar batu ini ke atas. Kalau kau bisa memetik sebutir kelapa untukku sebelum batu ini jatuh kembali ke atas pasir, aku akan mempertimbangkan untuk mengangkatmu jadi muridku."Ucapan tersebut membuat kedua bola mata Tumanggala membesar. Harapannya seketika tumbuh kembali."Baik, Ki. Aku bersedia," sahutnya cepat-cepat. Ia tidak mau berpikir panjang untuk menerima tantangan tersebut.Tanpa berkata-kata lagi si lelaki tua lemparkan batu di tangannya ke udara. Lemparan itu tidak terlalu tinggi ternyata. Kira-kira hanya setinggi tiga depa (5,5 meter) ke atas. Artinya, Tumanggala tak punya banyak waktu.Otak sang prajurit cepat berputar. Kalau memanjat naik jelas tidak akan cukup waktu baginya, secepat apapun ia merayap ke atas. Tinggi pohon kelapa itu se
SEJAK saat itu Tumanggala melatih kemampuan olah kanuragannya sebagai murid si lelaki tua. Seorang petapa berkempuan tinggi yang tetap belum mau menyebutkan nama. Lelaki tua tersebut hanya minta dipanggil Ki. Tanpa embel-embel lain. Semasa bertugas sebagai prajurit Kerajaan Panjalu, Tumanggala hanya berlatih ringan. Sekedar untuk membuat badannya tetap bugar. Kali ini, yang ia jalani adalah latihan untuk meningkatkan kemampuan. Sesuai saran gurunya, Tumanggala harus banyak-banyak melatih kecepatan gerak. Baik gerakan saat melakukan serangan, juga ketika menghindari serangan lawan. Sebab kecepatan merupakan salah satu penentu kemenangan di dalam sebuah pertarungan. "Jika kita dapat bergerak lebih cepat dalam mengirim serangan, maka akan semakin besar peluang kita untuk menggebuk lawan. Serangan yang cepat tentu lebih sulit dihindari." Demikian penjelasan sang guru, dalam satu kesempatan latihan di Teluk Secang. "Begitu pula ketika kita dalam keadaan di
MESKI kebenciannya terhadap Ranajaya setinggi gunung, tapi diam-diam Tumanggala membenarkan ucapan lelaki bercambang bauk lebat itu sewaktu di Gua Lawendra."Kau boleh saja menerima anugerah dari raja Panjalu karena telah menghabisi Ranasura. Tapi di gua ini aku pastikan kau bakal menyesal telah melakukan itu," demikian kata Ranajaya waktu itu.Setelah kematian isteri dan anaknya, bukan sekali-dua Tumanggala menyesali kenyataan. Kenapa harus dirinya yang membunuh Ranasura sewaktu penyergapan di Alas Wengker? Kenapa tidak prajurit lain saja, atau Wipaksa?Bukan bermaksud tidak bersyukur atas anugerah yang kemudian ia dapat. Namun kalau boleh mengulang apa yang telah terjadi, sang prajurit memilih lebih baik tetap menjadi prajurit rendahan asalkan dapat hidup tenang bersama anak dan isterinya di Surawana.Kini, apa yang terjadi membuat Tumanggala merasa dirinya telah mengorbankan nyawa anak dan isteri demi mendapat kenaikan pangkat dan anugerah dari raja. R
MALAM mulai merangkak menuju puncak kegelapan manakala Tumanggala tiba di Katang Katang. Sebuah pemukiman ramai di sisi barat laut Lodoyong. Deretan tiga warung makan tak jauh dari tempatnya berada menarik minat sang prajurit. Maklum saja. Setelah menempuh jarak sejauh nyaris tujuh belas ribu depa (sekitar 31 km) dari Teluk Secang, Tumanggala merasa kecapaian juga. Ia pun memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat tersebut. Selain itu, sang prajurit juga ingin menyirap kabar terbaru mengenai keadaan kerajaan. Terlebih situasi di Kotaraja. Tepat tiga purnama dirinya menghilang. Tentu banyak hal yang telah terjadi selama itu. "Mari, Kisanak, silakan mampir di sini," seru seorang penjual dari salah satu warung. Senyum lebar merayu terpentang di wajah wanita paruh baya itu. Tumanggala yang disapa hanya balas tersenyum dan anggukkan kepala. Tapi ia tetap lanjutkan langkah. Baru berhenti ketika sampai di warung yang terletak paling ujung. Warung te
TUMANGGALA juga ikut terkejut. Ada perasaan tidak enak dan juga malu yang seketika merambati dirinya. Membuat rona merah mewarnai wajah sang prajurit. Begitu dapat menguasai diri, Tumanggala buru-buru berdiri. Tubuhnya dihadapkan ke jurusan tiga lelaki yang tadi obrolannya ia curi dengar. Kedua tangannya ditangkupkan ke depan dada. Memberi sebuah sikap menghormat. "Mohon maafkan aku yang telah membuat kaget, Kisanak sekalian," ucap Tumanggala, sembari bungkukkan badan sedikit. Tiga lelaki yang diajak bicara sama mendesah panjang, lalu tersenyum tipis. Sejenak mereka berpandangan satu sama lain. "Tidak jadi masalah, Kisanak. Toh, kami tidak akan mati hanya karena kaget," sahut salah seorang dari ketiganya. Ucapan tersebut disambut gelak tawa oleh dua lelaki lain. Wanita pemilik warung yang mengamati pembicaraan itu dari kejauhan turut tertawa. Tumanggala tersenyum dibuatnya. Kesempatan bagus itu cepat ia pergunakan baik-baik. Sang praju
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!