MALAM mulai merangkak menuju puncak kegelapan manakala Tumanggala tiba di Katang Katang. Sebuah pemukiman ramai di sisi barat laut Lodoyong. Deretan tiga warung makan tak jauh dari tempatnya berada menarik minat sang prajurit.
Maklum saja. Setelah menempuh jarak sejauh nyaris tujuh belas ribu depa (sekitar 31 km) dari Teluk Secang, Tumanggala merasa kecapaian juga. Ia pun memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat tersebut.
Selain itu, sang prajurit juga ingin menyirap kabar terbaru mengenai keadaan kerajaan. Terlebih situasi di Kotaraja. Tepat tiga purnama dirinya menghilang. Tentu banyak hal yang telah terjadi selama itu.
"Mari, Kisanak, silakan mampir di sini," seru seorang penjual dari salah satu warung. Senyum lebar merayu terpentang di wajah wanita paruh baya itu.
Tumanggala yang disapa hanya balas tersenyum dan anggukkan kepala. Tapi ia tetap lanjutkan langkah. Baru berhenti ketika sampai di warung yang terletak paling ujung.
Warung te
Katang Katang adalah sebuah daerah yang dipercaya sebagai tempat asal Mapanji Jayakerta. Kita lebih mengenalnya dengan nama setelah ia menjadi akuwu Tumapel, yakni Tunggul Ametung. Beberapa sejarawan lokal Jawa Timur meyakini Katang Katang terletak di Desa Kalangbret, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.
TUMANGGALA juga ikut terkejut. Ada perasaan tidak enak dan juga malu yang seketika merambati dirinya. Membuat rona merah mewarnai wajah sang prajurit. Begitu dapat menguasai diri, Tumanggala buru-buru berdiri. Tubuhnya dihadapkan ke jurusan tiga lelaki yang tadi obrolannya ia curi dengar. Kedua tangannya ditangkupkan ke depan dada. Memberi sebuah sikap menghormat. "Mohon maafkan aku yang telah membuat kaget, Kisanak sekalian," ucap Tumanggala, sembari bungkukkan badan sedikit. Tiga lelaki yang diajak bicara sama mendesah panjang, lalu tersenyum tipis. Sejenak mereka berpandangan satu sama lain. "Tidak jadi masalah, Kisanak. Toh, kami tidak akan mati hanya karena kaget," sahut salah seorang dari ketiganya. Ucapan tersebut disambut gelak tawa oleh dua lelaki lain. Wanita pemilik warung yang mengamati pembicaraan itu dari kejauhan turut tertawa. Tumanggala tersenyum dibuatnya. Kesempatan bagus itu cepat ia pergunakan baik-baik. Sang praju
DARI penjelasan tiga lelaki tadi, Tumanggala jadi tahu jika dirinya diberitakan telah mati. Pasukan Panjalu yang melakukan pencarian menemukan mayat lelaki dan perempuan di dalam Gua Lawendra.Disebutkan bahwa lelaki-perempuan tersebut adalah Tumanggala dan isteri. Kotaraja pun berduka atas kematian prajurit muda yang baru saja menanamkan jasa pada Kerajaan Panjalu."Itu cerita karangan kentut busuk! Dusta!" sergah Tumanggala setelah lelaki di hadapannya selesai bercerita.Tentu saja Tumanggala jadi ternganga mendengar cerita tersebut. Kembali ia mengingat kejadian di Gua Lawendra. Bertanya-tanya jasad siapa kiranya yang kemudian disebutkan sebagai dirinya."Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi aku adalah Tumanggala yang dalam kabar itu diceritakan telah mati," lanjut sang prajurit. "Kejadian di Gua Lawendra itu memang nyata, tapi yang mati di sana bukan aku!"Tiga lelaki di hadapan Tumanggala saling pandang. Jelas sekali wajah mereka menampakkan
GEROMBOLAN berkuda itu terdiri atas lima orang. Seluruhnya memiliki cambang bauk lebat meranggas di wajah. Tampang mereka bengis. Sepasang mata mereka yang kemerahan senantiasa menyorotkan tatapan menakutkan.Benar dugaan Tumanggala. Begitu tiba di tengah-tengah perkampungan, kelima lelaki tersebut enak saja melemparkan obor-obor di tangan mereka. Benda berujung kobaran api itu mendarat di atas atap rumah-rumah penduduk.Karena rumah-rumah di tempat tersebut terbuat dari jalinan ilalang kering, api obor menjalar dengan cepat ke segala arah. Dalam beberapa kejap saja lima rumah sudah terbakar hebat.Pemilik rumah-rumah yang terbakar itu kontan menjadi geger. Terdengar suara perempuan-perempuan menjerit, diikuti tangisan anak kecil. Lalu pintu-pintu terbuka, dan para penghuni rumah berhamburan keluar."Kebakaran! Kebakaran!"Orang-orang keluar dari dalam rumah dengan serabutan. Lalu berlarian dengan panik sembari berteriak-teriak. Tapi teriakan merek
TAWA perampok di atas kuda lenyap. Tak mau terkena sabetan pedang, penjahat itu langsung jatuhkan badan ke belakang. Tubuhnya dirapatkan sedemikian rupa sehingga sama rata dengan punggung kuda.Tebasan Tumanggala pun gagal mengenai sasaran.Tapi sang prajurit punya serangan susulan.Begitu sabetan pedangnya gagal, Tumanggala putar tubuh satu kali di udara untuk kemudian turun tepat ke atas dada lawan. Tangannya yang memegang pedang menusuk lurus ke bawah.Lelaki di atas kuda menggembor marah. Sebelah kakinya bergerak cepat ke atas, hendak memotong tusukan Tumanggala. Suara menderu yang ditimbulkan oleh sapuan kaki itu menandakan ada aliran tenaga dalam yang dikerahkan di dalamnya.Wuuuttt!Namun kaget si lelaki bukan alang kepalang. Secara tak terduga arah pedang tiba-tiba saja berubah. Dari tadinya menusuk ke bawah, menjadi menyabet ke samping menyasar kaki si lelaki yang hendak menangkis.Sungguh sebuah perubahan sasaran yang dilakuka
TUMANGGALA tersentak. Jeritan pilu itu membuatnya teringat pada sang isteri. Lebih tepatnya pada peristiwa keji yang dialami perempuan muda itu di Gua Lawendra. Gerahamnya seketika keluarkan suara bergemeletuk keras."Rudapaksa! Itu pasti rudapaksa," desis sang prajurit dengan wajah mengelam.Bergegas Tumanggala mencari arah asal suara. Saat melewati sebuah rumah yang belum terbakar, kembali jeritan perempuan itu terdengar. Kali ini disertai gelak tawa beberapa lelaki.Sepasang mata Tumanggala nyalang mencari-cari. Setelah berjalan ke bagian samping rumah, pemandangan menjijikkan itu pun terlihat. Hanya beberapa langkah dari tempatnya berhenti.Seorang perempuan muda, dalam keadaan hanya terbalut kain yang sudah koyak-moyak tak karuan, melejang-lejangkan sepasang kakinya dalam tindihan seorang lelaki. Satu lelaki lagi tampak memegangi kedua tangan si perempuan sambil tertawa-tawa."Jahanam!" bentak Tumanggala. Suaranya keras menggelegar.Ber
UNTUK kesekian kali suara berdentrangan keras terdengar. Kali ini diikuti seruan si perampok karena sekali lagi golok besar di tangannya mencelat lepas dari dalam genggaman.Belum habis rasa kejutnya, Tumanggala sudah datang dengan satu tendangan cepat."Bangsat!"Si perampok hanya dapat memaki kesal. Ia berusaha menghindari serangan, tapi gerakannya sudah sangat terlambat.Bukkk!Tanpa ampun dada lelaki tersebut terhantam telapak kaki Tumanggala. Rasanya seperti ditimpa balok kayu raksasa. Lenguhan keras keluar dari mulutnya. Tubuh besarnya terjengkang ke belakang, lalu jatuh tergeletak di tanah.Tumanggala ganda tertawa. Sebelum lawan kembali bangkit, pedang di tangannya dilemparkan ke arah perampok tersebut. Sebuah serangan yang didasarkan pada satu perhitungan cepat.Dugaan sang prajurit tepat. Setelah diam sesaat mengumpulkan tenaga, si perampok memang segera bangun. Tepat pada saat itulah pedang Tumanggala datang dan ....
SUARA berdentrangan keras terdengar saat pedang Tumanggala ditangkis golok besar si perampok. Tanpa diduga-duga oleh sang prajurit, rupanya dalam kejap berikutnya perampok itu kembali mengirim serangan. Kali ini berupa jotosan ke arah muka.Tumanggala mendengus. Namun tinjuan lawan dengan mudah dapat ditangkis. Pada saat bersamaan sang prajurit balas menyerang dengan cara sama, menggunakan sebelah tangan lainnya.Gerakan Tumanggala jauh lebih cepat. Membuat si perampok tak dapat mengelak.Buuukk!Bogem mentah Tumanggala mendarat di mata kanan si perampok bercambang bauk. Kulit di sekitar bola matanya seketika menjadi lebam membiru. Mulutnya menyerukan jeritan keras."Aaaaa!"Belum lagi hilang kejut lelaki itu, sang prajurit kembali mengirim serangan. Sebuah tendangan yang mengarah lurus ke dada.Tumanggala benar-benar memanfaatkan pertemuannya dengan gerombolan perampok ini. Dijadikannya sebagai kesempatan untuk menerapkan kemampuan b
BERBARENGAN dengan serbuan warga desa Katang Katang pada si gembong rampok, Tumanggala melesat pergi. Tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam sekejap saja tubuh sang prajurit sudah menghilang. Tumanggala tak ingin berlama-lama di tempat tersebut. Hari sudah lewat tengah malam, sedangkan dirinya belum beristirahat. Padahal besok pagi-pagi sang prajurit harus ke Kotaraja untuk menemui Wyara. Tapi prajurit Panjalu itu tidak bergeser terlalu jauh. Sejarak lima ribu depa (sekitar 9 km) dari Katang Katang ia berhenti. Sebuah bangunan penginapan di dekat pertigaan jalan menjadi tempat pemberhentian. "Selamat malam, Kisanak. Selamat datang di penginapan kami," sambut seorang pekatik begitu Tumanggala memasuki halaman penginapan. Sang prajurit hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Pekatik tadi sedianya bertugas membawa kuda tunggangan para tetamu ke istal. Namun karena Tumanggala tak membawa kuda, si pekatik tak perlu melakukan apa-apa. "Apa nama pengi