SUARA berdentrangan keras terdengar saat pedang Tumanggala ditangkis golok besar si perampok. Tanpa diduga-duga oleh sang prajurit, rupanya dalam kejap berikutnya perampok itu kembali mengirim serangan. Kali ini berupa jotosan ke arah muka.
Tumanggala mendengus. Namun tinjuan lawan dengan mudah dapat ditangkis. Pada saat bersamaan sang prajurit balas menyerang dengan cara sama, menggunakan sebelah tangan lainnya.
Gerakan Tumanggala jauh lebih cepat. Membuat si perampok tak dapat mengelak.
Buuukk!
Bogem mentah Tumanggala mendarat di mata kanan si perampok bercambang bauk. Kulit di sekitar bola matanya seketika menjadi lebam membiru. Mulutnya menyerukan jeritan keras.
"Aaaaa!"
Belum lagi hilang kejut lelaki itu, sang prajurit kembali mengirim serangan. Sebuah tendangan yang mengarah lurus ke dada.
Tumanggala benar-benar memanfaatkan pertemuannya dengan gerombolan perampok ini. Dijadikannya sebagai kesempatan untuk menerapkan kemampuan b
BERBARENGAN dengan serbuan warga desa Katang Katang pada si gembong rampok, Tumanggala melesat pergi. Tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam sekejap saja tubuh sang prajurit sudah menghilang. Tumanggala tak ingin berlama-lama di tempat tersebut. Hari sudah lewat tengah malam, sedangkan dirinya belum beristirahat. Padahal besok pagi-pagi sang prajurit harus ke Kotaraja untuk menemui Wyara. Tapi prajurit Panjalu itu tidak bergeser terlalu jauh. Sejarak lima ribu depa (sekitar 9 km) dari Katang Katang ia berhenti. Sebuah bangunan penginapan di dekat pertigaan jalan menjadi tempat pemberhentian. "Selamat malam, Kisanak. Selamat datang di penginapan kami," sambut seorang pekatik begitu Tumanggala memasuki halaman penginapan. Sang prajurit hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Pekatik tadi sedianya bertugas membawa kuda tunggangan para tetamu ke istal. Namun karena Tumanggala tak membawa kuda, si pekatik tak perlu melakukan apa-apa. "Apa nama pengi
TUMANGGALA kerutkan kening sembari tajamkan pendengaran. Berusaha mencari tahu dari mana asal suara-suara tersebut. Saat jeritan dan bentakan itu kembali terdengar, tahulah ia keributan itu berasal dari ruangan di sebelah.Rasa penasaran mengantar Tumanggala ke tempat tersebut. Begitu melihat apa yang tengah terjadi di sana, darah sang prajurit seketika mendidih. Wajahnya berubah kelam memerah.Di dalam ruangan, dua lelaki berbadan kekar tampak tengah berusaha menyeret seorang perempuan muda. Yang diseret terus meronta-ronta, sesekali berpegangan pada apa saja yang dapat diraih agar tubuhnya tak terangkut.Beberapa perempuan lain yang juga ada di dalam ruangan itu terlihat tak ambil peduli. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang terjadi dari tempat duduk masing-masing."Hentikan!" seru Tumanggala geram.Dua lelaki yang tengah memegangi si perempuan sontak hentikan gerakan, lalu palingkan wajah. Melihat siapa yang barusan berteriak, keduanya saling
DUA lelaki kekar yang terkapar di lantai ruangan segera meloncat bangkit. Sejenak mereka saling pandang. Setelah sama-sama anggukkan kepala, keduanya cabut golok besar yang sedari tadi tergantung di pinggang. Sret! Sret! Diiringi seruan menggeram kedua lelaki tersebut menyerbu Tumanggala. Dua golok besar terayun deras, mengeluarkan suara berdesing. Mengincar batang leher dan bagian ulu hati sang prajurit. Melihat itu, para perempuan muda yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan kembali menjerit keras. Lalu berhamburan dan berebut keluar melalui satu-satunya pintu yang ada. "Huh, mereka rupanya tidak main-main," batin Tumanggala berdecak. Alih-alih menunggu serangan tiba, sang prajurit malah bergerak menyongsong ke depan. Kedua tangannya digerakkan sebat, menelusup masuk di antara sabetan golok. Menghantam pergelangan tangan kedua lawan. Des! Des! Dua lelaki kekar kembali menjerit keras. Pergelangan tangan mereka seolah dihanta
TAK dapat dielakkan lagi, pertempuran pun kembali pecah di ruangan tersebut. Kali ini lawan yang dihadapi Tumanggala berjumlah empat orang. Seluruhnya bersenjatakan golok besar nan tajam.Namun sang prajurit tidak merasa gentar sama sekali. Jika kemampuan empat pemuda bersenjata golok ini sama seperti dua lelaki yang dikalahkannya tadi, maka mereka bukanlah lawan berat baginya.Satu-satunya yang dirasa berat oleh si prajurit adalah perutnya yang semakin berkeroncongan minta segera diisi. Belum lagi kelopak mata yang memberat karena serangan kantuk."Pemuda lancang, rasakan ini!" seru salah satu dari keempat lelaki bergolok besar.Empat bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Tumanggala. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Tumanggala pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk sedemikian rupa, direndahkan hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua
SEWAKTU Tumanggala menyarungkan pedang tadi, pandangan Ki Juru Jalir memang menangkap ukiran di gagang senjata tersebut. Ketika diamat-amatinya dengan lebih teliti, lelaki paruh baya itu yakin dirinya tidak salah lihat.Pada ujung gagang pedang Tumanggala terdapat ukiran Narasingha. Ini sebutan bagi makhluk setengah manusia setengah singa. Lambang kebesaran Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya.Lelaki paruh baya itu pun segera maklum jika ia sebaiknya mengalah saja untuk saat ini. Lagi pula dirinya adalah seorang mangilala drawya haji, abdi kerajaan juga. Maka bergegas kakinya melangkah mendekati Tumanggala."Anak Muda, mohon maafkan kami karena telah bersikap kurang ajar terhadapmu," ujar Ki Juru Jalir begitu tiba di hadapan Tumanggala.Seraya berkata begitu, lelaki paruh baya tersebut mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Sebuah sikap menghormat yang biasa ditunjukkan kepada orang dengan kedudukan lebih tinggi.Empat lelaki berbadan tega
SELEPAS menuntaskan rasa lapar, Tumanggala langsung kembali ke kamarnya di lantai paling atas. Hari sudah jauh melewati pertengahan malam, menjelang dini hari. Hawa udara sudah semakin dingin mencucuk tulang.Begitu memasuki kamar, Tumanggala langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Tumanggala terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk yang tadi menghilang agar kembali datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Tumanggala langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."S-saya, Gusti Prajurit." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Tumanggala kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya
BAGAIKAN seorang pelancong yang terpesona, gadis itu tampak begitu menikmati pemandangan yang tersaji dari balik jendela. Penampakan Bengawan Sigaradara di malam hari terlihat memikat dalam pandangannya."Ah, ternyata bagus sekali pemandangan dari sini," ujar si gadis. Suaranya merdu mengggoda.Tumanggala menelan ludahnya sendiri. Dari tempatnya berdiri gadis itu tampak begitu memesona. Apalagi angin malam yang nakal sesekali menyibakkan pakaian di bagian dada si gadis."Nisanak, kenapa kau datang ke sini? Apakah ada seseorang yang memintamu datang menemuiku?" tanya Tumanggala dengan hati-hati.Gadis itu balikkan badan dengan perlahan. Sebuah gerakan yang sungguh sangat menggoda. Sebab seperti disengaja si gadis terkesan hendak menunjukkan sepasang tonjolan bulat di dadanya yang membusung.Tumanggala kembali menelan ludah. Dadanya seketika bergemuruh. Ada satu perasaan aneh yang muncul merayapi diri sang prajurit."Gusti, nama saya Citrakara
CITRAKARA agaknya dapat melihat ketegangan yang dirasakan Tumanggala. Gadis itu sekali lagi tertawa mengikik. Sebuah tawa yang dihadirkan dengan suara, serta mimik wajah yang menggoda."Kakang tidak tahu bagaimana gilanya Kramapala. Tidak ada seorang jalir pun di sini yang suka dengannya. Kalaupun ada yang mau melayani, biasanya itu penghuni baru. Atau mereka yang sangat membutuhkan uang."Sungguh tak terbayangkan rasa senang di hati saya saat terbebas dari kewajiban melayani dia. Untung Kakang datang menolong. Kalau tidak, malam ini akan jadi malam yang mengerikan untuk saya," lanjut Citrakara.Tak ada tanggapan. Tumanggala yang mulai terhanyut oleh pesona kecantikan wajah, serta indahnya lekuk tubuh Citrakara, hanya berdiri diam bagai patung. Tak tahu lagi harus berkata apa."Karena itulah saya ingin membagi perasaan senang itu dengan Kakang sebagai dewa penolong," kata Citrakara lagi sembari sunggingkan senyum manis.Usai berkata begitu kaki si
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!