SEWAKTU Tumanggala menyarungkan pedang tadi, pandangan Ki Juru Jalir memang menangkap ukiran di gagang senjata tersebut. Ketika diamat-amatinya dengan lebih teliti, lelaki paruh baya itu yakin dirinya tidak salah lihat.
Pada ujung gagang pedang Tumanggala terdapat ukiran Narasingha. Ini sebutan bagi makhluk setengah manusia setengah singa. Lambang kebesaran Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya.
Lelaki paruh baya itu pun segera maklum jika ia sebaiknya mengalah saja untuk saat ini. Lagi pula dirinya adalah seorang mangilala drawya haji, abdi kerajaan juga. Maka bergegas kakinya melangkah mendekati Tumanggala.
"Anak Muda, mohon maafkan kami karena telah bersikap kurang ajar terhadapmu," ujar Ki Juru Jalir begitu tiba di hadapan Tumanggala.
Seraya berkata begitu, lelaki paruh baya tersebut mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Sebuah sikap menghormat yang biasa ditunjukkan kepada orang dengan kedudukan lebih tinggi.
Empat lelaki berbadan tega
SELEPAS menuntaskan rasa lapar, Tumanggala langsung kembali ke kamarnya di lantai paling atas. Hari sudah jauh melewati pertengahan malam, menjelang dini hari. Hawa udara sudah semakin dingin mencucuk tulang.Begitu memasuki kamar, Tumanggala langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Tumanggala terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk yang tadi menghilang agar kembali datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Tumanggala langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."S-saya, Gusti Prajurit." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Tumanggala kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya
BAGAIKAN seorang pelancong yang terpesona, gadis itu tampak begitu menikmati pemandangan yang tersaji dari balik jendela. Penampakan Bengawan Sigaradara di malam hari terlihat memikat dalam pandangannya."Ah, ternyata bagus sekali pemandangan dari sini," ujar si gadis. Suaranya merdu mengggoda.Tumanggala menelan ludahnya sendiri. Dari tempatnya berdiri gadis itu tampak begitu memesona. Apalagi angin malam yang nakal sesekali menyibakkan pakaian di bagian dada si gadis."Nisanak, kenapa kau datang ke sini? Apakah ada seseorang yang memintamu datang menemuiku?" tanya Tumanggala dengan hati-hati.Gadis itu balikkan badan dengan perlahan. Sebuah gerakan yang sungguh sangat menggoda. Sebab seperti disengaja si gadis terkesan hendak menunjukkan sepasang tonjolan bulat di dadanya yang membusung.Tumanggala kembali menelan ludah. Dadanya seketika bergemuruh. Ada satu perasaan aneh yang muncul merayapi diri sang prajurit."Gusti, nama saya Citrakara
CITRAKARA agaknya dapat melihat ketegangan yang dirasakan Tumanggala. Gadis itu sekali lagi tertawa mengikik. Sebuah tawa yang dihadirkan dengan suara, serta mimik wajah yang menggoda."Kakang tidak tahu bagaimana gilanya Kramapala. Tidak ada seorang jalir pun di sini yang suka dengannya. Kalaupun ada yang mau melayani, biasanya itu penghuni baru. Atau mereka yang sangat membutuhkan uang."Sungguh tak terbayangkan rasa senang di hati saya saat terbebas dari kewajiban melayani dia. Untung Kakang datang menolong. Kalau tidak, malam ini akan jadi malam yang mengerikan untuk saya," lanjut Citrakara.Tak ada tanggapan. Tumanggala yang mulai terhanyut oleh pesona kecantikan wajah, serta indahnya lekuk tubuh Citrakara, hanya berdiri diam bagai patung. Tak tahu lagi harus berkata apa."Karena itulah saya ingin membagi perasaan senang itu dengan Kakang sebagai dewa penolong," kata Citrakara lagi sembari sunggingkan senyum manis.Usai berkata begitu kaki si
DAHANAPURA diguyur hujan pagi itu. Titik-titik air turun dengan derasnya ke bumi. Membasahi apa pun yang terlihat mata. Sesekali angin kencang berembus. Mengirim hawa dingin mencucuk tulang. Jalanan tanah di Kotaraja Panjalu pun menjadi becek. Genangan air tampak di beberapa bagian jalan. Namun dalam keadaan seperti itu ternyata ada juga yang nekat melintas. Diiringi bentakan-bentakan keras menggebah, seorang lelaki muda memacu kuda tunggangannya kencang-kencang. Lumpur dan air bercipratan ketika kaki hewan tersebut menjejak tanah basah. "Heaaa! Heaaaa!" Sesampai di depan sebuah bangunan besar berhalaman luas, dengan beberapa prajurit berjaga-jaga di gapura masuk, penunggang kuda itu berhenti. Setelah turun, hewan tunggangannya dituntun menuju gapura. "Aku ingin menghadap Gusti Senopati. Ada kabar penting dari selatan yang harus segera aku sampaikan," ujar orang berkuda itu pada prajurit penjaga gapura. Para prajurit penjaga agaknya me
WANITA tua berambut putih itu jadi serba salah sendiri. Seorang tamu datang sepagi ini, mengatakan hendak bertemu dengan Bekel Kridapala. Ada kabar penting yang harus segera disampaikan, kata si tamu. Masalahnya, Kridapala masih berada di dalam kamar. Dan rasa-rasanya belum akan keluar dalam waktu setidaknya satu penanakan nasi. Bukan karena masih tidur, melainkan tengah berasyik masyuk dengan seorang perempuan muda. Di sinilah letak masalahnya. Wanita tua yang tak lain mbok emban di rumah Kridapala itu sudah paham kebiasaan sang majikan. Kalau bekel tersebut masuk kamar membawa perempuan, maka artinya tidak boleh diganggu sedikit pun. "Tolong tunggu sebentar ya, Gusti Bekel sedang tanggung ada urusan." Demikian alasan mbok emban tersebut ketika kembali lagi menemui tamu yang datang. "Maaf, Nyisanak. Aku tidak bisa menunggu lama-lama. Ki Bekel harus menerima kabar penting ini sekarang juga. Tidak boleh ditunda-tunda," balas si tamu, seorang lelaki mud
KRIDAPALA muncul menemui Jayeng sepeminuman teh berselang. Bekel Kerajaan Panjalu itu masih menampakkan air muka tidak senang.Kalau saja lelaki muda suruhan Senopati Arya Agreswara itu tidak datang. Tentulah Kridapala masih bersenang-senang di dalam kamar bersama perempuan tadi.Jayeng segera menghaturkan sembah begitu melihat kemunculan Kridapala. Lelaki muda tersebut dapat menangkap raut muka tak bersahabat dari bekel di hadapannya."Maafkan saya datang mengganggu sepagi ini, Ki Bekel," ujar Jayeng, seraya bungkukkan badan sedikit."Kabar penting apa?" tanya Kridapala tanpa menanggapi basa-basi tamunya."Ada dua kabar yang harus segera saya sampaikan, Ki Bekel. Pertama, mengenai rencana di Katang Katang yang gagal total ....""Hah? Bagaimana bisa gagal?" tukas Kridapala. Tampak sekali lelaki paruh baya itu tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar."Kegagalan itu ada kaitannya dengan kabar kedua, Ki Bekel. Yakni dugaan kembal
ARYA Agreswara tertawa lebar melihat perubahan Kridapala. Perut buncit sang senopati sampai terguncang-guncang akibat tawa itu. Untuk beberapa saat suasana di ruangan tersebut menjadi kaku."Tidak perlu merasa cemas seperti itu, Kridapala. Aku sama sekali tidak tertarik membahas soal itu," kata Arya Agreswara setelah puas tertawa.Hati Kridapala lega mendengarnya. Hampir saja bekel Panjalu tersebut kehabisan akal untuk menangkis tuduhan yang dilempar sang senopati."Aku hanya tertarik dengan satu hal. Yaitu, gerombolan rampok yang kau kerahkan terus-menerus mengacau daerah-daerah di sekeliling Kotaraja. Jangan pernah sekali pun gagal. Itu saja," kata Arya Agreswara lagi."Karenanya kegagalan yang terjadi di Katang Katang tadi malam tidak boleh terulang di tempat lain. Kau harus menekankan hal itu pada para gembong perampok yang kau galang."Jika tidak, apa boleh buat, kesepakatan yang telah terjalin dengan terpaksa harus dibatalkan. Mereka akan dig
LEWAT tengah hari Tumanggala tiba di perbatasan Kotaraja. Sejenak sang prajurit agak ragu untuk melanjutkan perjalanan. Ia mendadak khawatir ada kejadian buruk yang bakal menimpa. Orang yang mengarang cerita bahwa dirinya mati di Gua Lawendra, bisa dipastikan penghuni Kotaraja. Bahkan ia menebak siapa pun itu pasti seorang berpangkat. Karenanya sang prajurit merasa seperti hendak memasuki sarang harimau. "Tapi aku harus menemui Wyara. Hanya dia satu-satunya yang dapat aku percayai dalam keadaan seperti sekarang," pikir Tumanggala lagi. Bukan itu saja alasan Tumanggala hendak menemui Wyara. Sahabatnya sesama prajurit Panjalu itu merupakan orang terakhir yang bersamanya. Sebelum kemudian sang prajurit pergi ke Gua Lawendra dan menghilang selama nyaris tiga purnama. Jika kepergian Tumanggala ke gua tersebut diketahui orang lain, maka pastilah Wyara yang memberi keterangan. Ia berharap Wyara dapat menjawab banyak hal yang menjadi pertanyaan di benaknya.