DAHANAPURA diguyur hujan pagi itu. Titik-titik air turun dengan derasnya ke bumi. Membasahi apa pun yang terlihat mata. Sesekali angin kencang berembus. Mengirim hawa dingin mencucuk tulang.
Jalanan tanah di Kotaraja Panjalu pun menjadi becek. Genangan air tampak di beberapa bagian jalan. Namun dalam keadaan seperti itu ternyata ada juga yang nekat melintas.
Diiringi bentakan-bentakan keras menggebah, seorang lelaki muda memacu kuda tunggangannya kencang-kencang. Lumpur dan air bercipratan ketika kaki hewan tersebut menjejak tanah basah.
"Heaaa! Heaaaa!"
Sesampai di depan sebuah bangunan besar berhalaman luas, dengan beberapa prajurit berjaga-jaga di gapura masuk, penunggang kuda itu berhenti. Setelah turun, hewan tunggangannya dituntun menuju gapura.
"Aku ingin menghadap Gusti Senopati. Ada kabar penting dari selatan yang harus segera aku sampaikan," ujar orang berkuda itu pada prajurit penjaga gapura.
Para prajurit penjaga agaknya me
Kata klobot dalam bahasa Jawa sebetulnya merujuk pada lembaran kulit jagung kering. Sebelum orang-orang di Nusantara mengenal kertas, rokok dibuat dengan menggunakan klobot sebagai pembungkus. Oleh sebab itu disebut sebagai rokok klobot. Saya menghindari kata 'rokok' dalam penuturan di atas, sehingga hanya menulis 'klobot'.
WANITA tua berambut putih itu jadi serba salah sendiri. Seorang tamu datang sepagi ini, mengatakan hendak bertemu dengan Bekel Kridapala. Ada kabar penting yang harus segera disampaikan, kata si tamu. Masalahnya, Kridapala masih berada di dalam kamar. Dan rasa-rasanya belum akan keluar dalam waktu setidaknya satu penanakan nasi. Bukan karena masih tidur, melainkan tengah berasyik masyuk dengan seorang perempuan muda. Di sinilah letak masalahnya. Wanita tua yang tak lain mbok emban di rumah Kridapala itu sudah paham kebiasaan sang majikan. Kalau bekel tersebut masuk kamar membawa perempuan, maka artinya tidak boleh diganggu sedikit pun. "Tolong tunggu sebentar ya, Gusti Bekel sedang tanggung ada urusan." Demikian alasan mbok emban tersebut ketika kembali lagi menemui tamu yang datang. "Maaf, Nyisanak. Aku tidak bisa menunggu lama-lama. Ki Bekel harus menerima kabar penting ini sekarang juga. Tidak boleh ditunda-tunda," balas si tamu, seorang lelaki mud
KRIDAPALA muncul menemui Jayeng sepeminuman teh berselang. Bekel Kerajaan Panjalu itu masih menampakkan air muka tidak senang.Kalau saja lelaki muda suruhan Senopati Arya Agreswara itu tidak datang. Tentulah Kridapala masih bersenang-senang di dalam kamar bersama perempuan tadi.Jayeng segera menghaturkan sembah begitu melihat kemunculan Kridapala. Lelaki muda tersebut dapat menangkap raut muka tak bersahabat dari bekel di hadapannya."Maafkan saya datang mengganggu sepagi ini, Ki Bekel," ujar Jayeng, seraya bungkukkan badan sedikit."Kabar penting apa?" tanya Kridapala tanpa menanggapi basa-basi tamunya."Ada dua kabar yang harus segera saya sampaikan, Ki Bekel. Pertama, mengenai rencana di Katang Katang yang gagal total ....""Hah? Bagaimana bisa gagal?" tukas Kridapala. Tampak sekali lelaki paruh baya itu tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar."Kegagalan itu ada kaitannya dengan kabar kedua, Ki Bekel. Yakni dugaan kembal
ARYA Agreswara tertawa lebar melihat perubahan Kridapala. Perut buncit sang senopati sampai terguncang-guncang akibat tawa itu. Untuk beberapa saat suasana di ruangan tersebut menjadi kaku."Tidak perlu merasa cemas seperti itu, Kridapala. Aku sama sekali tidak tertarik membahas soal itu," kata Arya Agreswara setelah puas tertawa.Hati Kridapala lega mendengarnya. Hampir saja bekel Panjalu tersebut kehabisan akal untuk menangkis tuduhan yang dilempar sang senopati."Aku hanya tertarik dengan satu hal. Yaitu, gerombolan rampok yang kau kerahkan terus-menerus mengacau daerah-daerah di sekeliling Kotaraja. Jangan pernah sekali pun gagal. Itu saja," kata Arya Agreswara lagi."Karenanya kegagalan yang terjadi di Katang Katang tadi malam tidak boleh terulang di tempat lain. Kau harus menekankan hal itu pada para gembong perampok yang kau galang."Jika tidak, apa boleh buat, kesepakatan yang telah terjalin dengan terpaksa harus dibatalkan. Mereka akan dig
LEWAT tengah hari Tumanggala tiba di perbatasan Kotaraja. Sejenak sang prajurit agak ragu untuk melanjutkan perjalanan. Ia mendadak khawatir ada kejadian buruk yang bakal menimpa. Orang yang mengarang cerita bahwa dirinya mati di Gua Lawendra, bisa dipastikan penghuni Kotaraja. Bahkan ia menebak siapa pun itu pasti seorang berpangkat. Karenanya sang prajurit merasa seperti hendak memasuki sarang harimau. "Tapi aku harus menemui Wyara. Hanya dia satu-satunya yang dapat aku percayai dalam keadaan seperti sekarang," pikir Tumanggala lagi. Bukan itu saja alasan Tumanggala hendak menemui Wyara. Sahabatnya sesama prajurit Panjalu itu merupakan orang terakhir yang bersamanya. Sebelum kemudian sang prajurit pergi ke Gua Lawendra dan menghilang selama nyaris tiga purnama. Jika kepergian Tumanggala ke gua tersebut diketahui orang lain, maka pastilah Wyara yang memberi keterangan. Ia berharap Wyara dapat menjawab banyak hal yang menjadi pertanyaan di benaknya.
WYARA membawa Tumanggala ke arah tapal batas Kotaraja. Kedua prajurit tersebut hentikan lari mereka saat tiba di satu tempat di tepian Bengawan Sigarada. Tepat di bawah naungan sebatang pohon beringin yang daunnya sangat lebat.Setelah menengok ke kiri-kanan dan memastikan tak ada orang lain lagi di situ, Wyara beri isyarat pada Tumanggala. Yang diberi isyarat hanya menampakkan air muka bingung di wajah."Apa maksudmu?" tanya Tumanggala keheranan."Kita naik ke atas," jawab Wyara singkat.Usai berkata begitu, Wyara langsung saja hentakkan kakinya ke tanah. Seperti seekor belalang, tubuh lelaki muda itu melenting dengan cepat. Tahu-tahu saja sudah berada di salah satu dahan.Tumanggala kerutkan kening melihat apa yang dilakukan temannya. Namun mau tak mau ia harus ikut naik ke atas. Mudah saja bagi murid petapa sakti di Teluk Secang itu untuk naik ke dahan tempat Wyara sudah menunggu."Kenapa harus naik ke sini segala?" tanya Tumanggala begit
WYARA paham betul sahabatnya tengah dikuasai hawa amarah nan memuncak. Hasratnya untuk membalaskan dendam pada Ranajaya sudah tak tertahankan lagi. Masalahnya, tak satu pun dari mereka berdua yang tahu di mana dapat menemukan Ranajaya."Sebelum menuntaskan dendammu, kau terlebih dahulu harus mencari tahu dimana tempat persembunyian Ranajaya," ujar Wyara mengingatkan.Tumanggala manggut-manggut."Ya, itu yang menjadi pekerjaan besarku sekarang," sahutnya.Tiba-tiba saja terbit satu penyesalan di benak Tumanggala. Kenapa ia tidak mengorek keterangan dari gembong Rampok Alas Kuwu yang dikalahkannya di Katang Katang? Sesama perampok biasanya tahu tempat persembunyian satu sama lain."Kau sendiri, bagaimana ceritanya bisa selamat? Ke mana saja selama ini menghilang?" tanya Wyara kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan."Baru semalam aku meninggalkan tempat di mana aku diselamatkan dan menepi selama hampir tiga purnama belakangan," jawab Tumang
PERTEMUAN dua sahabat itu berakhir dalam suasana menggantung. Namun Tumanggala merasa sudah cukup mendapat keterangan dari Wyara. Sehingga memutuskan melanjutkan pencarian terhadap Ranajaya.Mereka pun meninggalkan tempat tersebut. Tumanggala terlebih dahulu berpamitan dan melesat ke arah barat. Sedangkan Wyara kembali ke Kotaraja beberapa saat setelahnya.Sebelum mereka berpisah, Wyara menyarankan agar Tumanggala menuju ke Lusem. Di sana terdapat seorang tua bijak yang dikenal luas tahu banyak hal. Mungkin saja orang tua itu dapat memberi keterangan di mana Ranajaya berada.Lusem terletak di sebelah barat Kotaraja. Maka, ke sanalah Tumanggala menuju. Namun baru saja melewati tapal batas Kotaraja, sang prajurit merasa ada yang membuntuti di belakang. Perlahan kepalanya menoleh. Anehnya tak terlihat siapa-siapa."Ah, mungkin hanya perasaanku saja," batin Tumanggala mengusir kecurigaan di dalam hati.Akan tetapi suara-suara orang bergerak membuntuti
PARANG besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang nan tajam berkilat-kilat, mengarah tepat ke dada Tumanggala."Huh, ditanya baik-baik malah menyerang!" dengus Tumanggala sembari bergerak menangkis dengan tangan kosong.Dalam satu gerakan cepat, telapak tangan kanan Tumanggala berhasil memukul pergelangan tangan lawan. Pukulan tangan kosong itu dialiri tenaga dalam, sehingga si lelaki bercadar merasa bagai kena hantam balok kayu besar.Tak cuma itu, parang besar di tangan lelaki bercadar hitam juga lepas dari genggaman. Terdengar suara berkelontangan keras sewaktu senjata tersebut jatuh menimpa permukaan tanah.Melihat serangan rekannya dapat digagalkan dengan sangat mudah, tiga lelaki bercadar lainnya melesat pula ke depan. Mereka langsung masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Menyerang Tumanggala dengan sabetan parang besar.Wuuttt! Wuttt!Tiga bilah parang besar