ARYA Agreswara tertawa lebar melihat perubahan Kridapala. Perut buncit sang senopati sampai terguncang-guncang akibat tawa itu. Untuk beberapa saat suasana di ruangan tersebut menjadi kaku.
"Tidak perlu merasa cemas seperti itu, Kridapala. Aku sama sekali tidak tertarik membahas soal itu," kata Arya Agreswara setelah puas tertawa.
Hati Kridapala lega mendengarnya. Hampir saja bekel Panjalu tersebut kehabisan akal untuk menangkis tuduhan yang dilempar sang senopati.
"Aku hanya tertarik dengan satu hal. Yaitu, gerombolan rampok yang kau kerahkan terus-menerus mengacau daerah-daerah di sekeliling Kotaraja. Jangan pernah sekali pun gagal. Itu saja," kata Arya Agreswara lagi.
"Karenanya kegagalan yang terjadi di Katang Katang tadi malam tidak boleh terulang di tempat lain. Kau harus menekankan hal itu pada para gembong perampok yang kau galang.
"Jika tidak, apa boleh buat, kesepakatan yang telah terjalin dengan terpaksa harus dibatalkan. Mereka akan dig
LEWAT tengah hari Tumanggala tiba di perbatasan Kotaraja. Sejenak sang prajurit agak ragu untuk melanjutkan perjalanan. Ia mendadak khawatir ada kejadian buruk yang bakal menimpa. Orang yang mengarang cerita bahwa dirinya mati di Gua Lawendra, bisa dipastikan penghuni Kotaraja. Bahkan ia menebak siapa pun itu pasti seorang berpangkat. Karenanya sang prajurit merasa seperti hendak memasuki sarang harimau. "Tapi aku harus menemui Wyara. Hanya dia satu-satunya yang dapat aku percayai dalam keadaan seperti sekarang," pikir Tumanggala lagi. Bukan itu saja alasan Tumanggala hendak menemui Wyara. Sahabatnya sesama prajurit Panjalu itu merupakan orang terakhir yang bersamanya. Sebelum kemudian sang prajurit pergi ke Gua Lawendra dan menghilang selama nyaris tiga purnama. Jika kepergian Tumanggala ke gua tersebut diketahui orang lain, maka pastilah Wyara yang memberi keterangan. Ia berharap Wyara dapat menjawab banyak hal yang menjadi pertanyaan di benaknya.
WYARA membawa Tumanggala ke arah tapal batas Kotaraja. Kedua prajurit tersebut hentikan lari mereka saat tiba di satu tempat di tepian Bengawan Sigarada. Tepat di bawah naungan sebatang pohon beringin yang daunnya sangat lebat.Setelah menengok ke kiri-kanan dan memastikan tak ada orang lain lagi di situ, Wyara beri isyarat pada Tumanggala. Yang diberi isyarat hanya menampakkan air muka bingung di wajah."Apa maksudmu?" tanya Tumanggala keheranan."Kita naik ke atas," jawab Wyara singkat.Usai berkata begitu, Wyara langsung saja hentakkan kakinya ke tanah. Seperti seekor belalang, tubuh lelaki muda itu melenting dengan cepat. Tahu-tahu saja sudah berada di salah satu dahan.Tumanggala kerutkan kening melihat apa yang dilakukan temannya. Namun mau tak mau ia harus ikut naik ke atas. Mudah saja bagi murid petapa sakti di Teluk Secang itu untuk naik ke dahan tempat Wyara sudah menunggu."Kenapa harus naik ke sini segala?" tanya Tumanggala begit
WYARA paham betul sahabatnya tengah dikuasai hawa amarah nan memuncak. Hasratnya untuk membalaskan dendam pada Ranajaya sudah tak tertahankan lagi. Masalahnya, tak satu pun dari mereka berdua yang tahu di mana dapat menemukan Ranajaya."Sebelum menuntaskan dendammu, kau terlebih dahulu harus mencari tahu dimana tempat persembunyian Ranajaya," ujar Wyara mengingatkan.Tumanggala manggut-manggut."Ya, itu yang menjadi pekerjaan besarku sekarang," sahutnya.Tiba-tiba saja terbit satu penyesalan di benak Tumanggala. Kenapa ia tidak mengorek keterangan dari gembong Rampok Alas Kuwu yang dikalahkannya di Katang Katang? Sesama perampok biasanya tahu tempat persembunyian satu sama lain."Kau sendiri, bagaimana ceritanya bisa selamat? Ke mana saja selama ini menghilang?" tanya Wyara kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan."Baru semalam aku meninggalkan tempat di mana aku diselamatkan dan menepi selama hampir tiga purnama belakangan," jawab Tumang
PERTEMUAN dua sahabat itu berakhir dalam suasana menggantung. Namun Tumanggala merasa sudah cukup mendapat keterangan dari Wyara. Sehingga memutuskan melanjutkan pencarian terhadap Ranajaya.Mereka pun meninggalkan tempat tersebut. Tumanggala terlebih dahulu berpamitan dan melesat ke arah barat. Sedangkan Wyara kembali ke Kotaraja beberapa saat setelahnya.Sebelum mereka berpisah, Wyara menyarankan agar Tumanggala menuju ke Lusem. Di sana terdapat seorang tua bijak yang dikenal luas tahu banyak hal. Mungkin saja orang tua itu dapat memberi keterangan di mana Ranajaya berada.Lusem terletak di sebelah barat Kotaraja. Maka, ke sanalah Tumanggala menuju. Namun baru saja melewati tapal batas Kotaraja, sang prajurit merasa ada yang membuntuti di belakang. Perlahan kepalanya menoleh. Anehnya tak terlihat siapa-siapa."Ah, mungkin hanya perasaanku saja," batin Tumanggala mengusir kecurigaan di dalam hati.Akan tetapi suara-suara orang bergerak membuntuti
PARANG besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang nan tajam berkilat-kilat, mengarah tepat ke dada Tumanggala."Huh, ditanya baik-baik malah menyerang!" dengus Tumanggala sembari bergerak menangkis dengan tangan kosong.Dalam satu gerakan cepat, telapak tangan kanan Tumanggala berhasil memukul pergelangan tangan lawan. Pukulan tangan kosong itu dialiri tenaga dalam, sehingga si lelaki bercadar merasa bagai kena hantam balok kayu besar.Tak cuma itu, parang besar di tangan lelaki bercadar hitam juga lepas dari genggaman. Terdengar suara berkelontangan keras sewaktu senjata tersebut jatuh menimpa permukaan tanah.Melihat serangan rekannya dapat digagalkan dengan sangat mudah, tiga lelaki bercadar lainnya melesat pula ke depan. Mereka langsung masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Menyerang Tumanggala dengan sabetan parang besar.Wuuttt! Wuttt!Tiga bilah parang besar
TENDANGAN Tumanggala mendarat tepat di ulu hati tiga lawannya. Tubuh ketiga lelaki tersebut tersuruk semakin jauh ke belakang, untuk kemudian terbadai lesu di tanah. Parang di tangan mereka terlepas.Tumanggala menyeringai dingin melihat keadaan lawan-lawannya. Prajurit berkumis lebat itu langkahkan kakinya perlahan-lahan menghampiri tempat jatuhnya ketiga lelaki bercadar.Sementara di tempat mereka, kawanan lelaki bercadar dengan tertatih bangkit berdiri sambil memegangi dada. Wajah ketiganya tampak mengernyit kesakitan. Mata mereka memandang ke arah Tumanggala dengan tatapan tak percaya."Kalian tidak apa-apa?" Lelaki yang pertama kali menyerang Tumanggala mendekati tiga rekannya."Sialan! Prajurit satu ini ternyata memiliki kemampuan cukup tinggi, Kang," sahut salah satu di antara tiga lelaki bercadar yang barusan dihajar Tumanggala."Benar sekali, Kang. Kemampuan prajurit muda ini jauh di atas rata-rata prajurit Panjalu," sahut yang lain dengan
TIGA lelaki bercadar hitam keluarkan pekik ngeri tertahan. Pedang di tangan Tumanggala tinggal sedikit lagi menyentuh kulit leher mereka, dan mereka sama sekali tak punya kesempatan menghindar.Suasana tegang seketika menyelimuti tempat tersebut. Bagi ketiga lelaki bercadar yang tengah terancam nyawanya, waktu berjalan dengan sangat lambat.Crass!Tanpa ampun mata pedang Tumanggala membabat putus leher salah satu lelaki bercadar. Kepala lelaki malang itu pun lepas dari badan, lalu menggelinding di tanah. Tubuhnya jatuh berdebam keras. Darah segar mengucur deras dari kutungan leher yang memerah.Dalam ketegangan itu, dua lelaki bercadar yang tersisa tiba-tiba saja jatuhkan diri ke tanah dan bersujud. Dengan begitu kedua lelaki tersebut selamat dari sambaran mata pedang Tumanggala yang tinggal sejengkal lagi menebas batang lehernya."Gusti Prajurit, mohon ampuni kami!" seru salah satu dari dua lelaki yang bersujud tersebut.Tumanggala sigap he
TAK kalah cepat, sang prajurit gerakkan pedang di tangannya sedemikian rupa sehingga tampak sebagai kitiran. Anak-anak panah lawan yang menghujani dirinya pun berpentalan ketika menghantam kitiran tersebut. Sembari menghalau serbuan anak panah, Tumanggala terus merangsek maju mendekati lawan. Ia harus memperpendek jarak agar kedua penyerangnya itu tidak mempunyai jarak tembak yang cukup. Dua lelaki bercadar hitam merutuki kecerdikan Tumanggala tersebut dalam hati. Mau tak mau mereka pun melangkah mundur. Jika tidak, mereka tidak akan dapat melepas serangan dengan panah secara leluasa. "Ah, kalian ini rupanya sebangsa undur-undur. Makanya kalian berdua hanya bisa berjalan mundur seperti ini," ujar Tumanggala mengejek kedua lawan. Yang diejek hanya diam. Namun di dalam hati mereka terus merutuk. Salah satu dari mereka memberi isyarat mata pada temannya. Isyarat itu ditanggapi dengan anggukan kepala. Rupanya dua lelaki tersebut kemudian berlaku c