TENDANGAN Tumanggala mendarat tepat di ulu hati tiga lawannya. Tubuh ketiga lelaki tersebut tersuruk semakin jauh ke belakang, untuk kemudian terbadai lesu di tanah. Parang di tangan mereka terlepas.
Tumanggala menyeringai dingin melihat keadaan lawan-lawannya. Prajurit berkumis lebat itu langkahkan kakinya perlahan-lahan menghampiri tempat jatuhnya ketiga lelaki bercadar.
Sementara di tempat mereka, kawanan lelaki bercadar dengan tertatih bangkit berdiri sambil memegangi dada. Wajah ketiganya tampak mengernyit kesakitan. Mata mereka memandang ke arah Tumanggala dengan tatapan tak percaya.
"Kalian tidak apa-apa?" Lelaki yang pertama kali menyerang Tumanggala mendekati tiga rekannya.
"Sialan! Prajurit satu ini ternyata memiliki kemampuan cukup tinggi, Kang," sahut salah satu di antara tiga lelaki bercadar yang barusan dihajar Tumanggala.
"Benar sekali, Kang. Kemampuan prajurit muda ini jauh di atas rata-rata prajurit Panjalu," sahut yang lain dengan
TIGA lelaki bercadar hitam keluarkan pekik ngeri tertahan. Pedang di tangan Tumanggala tinggal sedikit lagi menyentuh kulit leher mereka, dan mereka sama sekali tak punya kesempatan menghindar.Suasana tegang seketika menyelimuti tempat tersebut. Bagi ketiga lelaki bercadar yang tengah terancam nyawanya, waktu berjalan dengan sangat lambat.Crass!Tanpa ampun mata pedang Tumanggala membabat putus leher salah satu lelaki bercadar. Kepala lelaki malang itu pun lepas dari badan, lalu menggelinding di tanah. Tubuhnya jatuh berdebam keras. Darah segar mengucur deras dari kutungan leher yang memerah.Dalam ketegangan itu, dua lelaki bercadar yang tersisa tiba-tiba saja jatuhkan diri ke tanah dan bersujud. Dengan begitu kedua lelaki tersebut selamat dari sambaran mata pedang Tumanggala yang tinggal sejengkal lagi menebas batang lehernya."Gusti Prajurit, mohon ampuni kami!" seru salah satu dari dua lelaki yang bersujud tersebut.Tumanggala sigap he
TAK kalah cepat, sang prajurit gerakkan pedang di tangannya sedemikian rupa sehingga tampak sebagai kitiran. Anak-anak panah lawan yang menghujani dirinya pun berpentalan ketika menghantam kitiran tersebut. Sembari menghalau serbuan anak panah, Tumanggala terus merangsek maju mendekati lawan. Ia harus memperpendek jarak agar kedua penyerangnya itu tidak mempunyai jarak tembak yang cukup. Dua lelaki bercadar hitam merutuki kecerdikan Tumanggala tersebut dalam hati. Mau tak mau mereka pun melangkah mundur. Jika tidak, mereka tidak akan dapat melepas serangan dengan panah secara leluasa. "Ah, kalian ini rupanya sebangsa undur-undur. Makanya kalian berdua hanya bisa berjalan mundur seperti ini," ujar Tumanggala mengejek kedua lawan. Yang diejek hanya diam. Namun di dalam hati mereka terus merutuk. Salah satu dari mereka memberi isyarat mata pada temannya. Isyarat itu ditanggapi dengan anggukan kepala. Rupanya dua lelaki tersebut kemudian berlaku c
TUMANGGALA serasa tak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan. Sang prajurit ucak-ucak kedua mata berkali-kali. Berharap wajah di hadapannya berubah. Tapi tetap saja, orang itu memang Wipaksa. Mau tak mau Tumanggala harus menerima kenyataan. Orang yang baru saja hendak membunuhnya benar-benar Wipaksa. Tapi, ia merasa tidak punya masalah apa pun dengan lurah prajurit itu. Lalu, kalau pun benar orang ini Wipaksa, apa yang membuat si lurah prajurit tega hendak menghabisi nyawanya? Kecamuk pikiran itu membuat wajah Tumanggala menegang. "Siapa namamu?" tanya Tumanggala kemudian. Di dalam hatinya Tumanggala masih berharap salah orang. Atau mungkin lelaki yang tengah sekarat di hadapannya saat ini hanyalah berwajah mirip dengan Wipaksa. Namun harapan tersebut tak terwujud. Lelaki yang ditanyai keluarkan suara tawa mengekeh. Meski kemudian terhenti akibat terbatuk-batuk. Terluka dalam. "Tidak usah berpura-pura, Tumanggala. Kau sudah mengena
SETIBA di Kotaraja, satu pemikiran tiba-tiba saja muncul di kepala Wyara. Apa tidak sebaiknya ia laporkan saja kemunculan Tumanggala pada Senopati Arya Lembana?Kenyataan bahwa Tumanggala masih hidup pasti akan menyenangkan hati sang senopati. Selain itu, apa yang dikatakan Tumanggala tadi menurutnya bisa jadi masukan berharga bagi sang junjungan.Tapi sejenak Wyara meragu. Sebelum berpisah Tumanggala berpesan untuk merahasiakan pertemuan mereka. Itu berarti sahabatnya tersebut tidak mau kemunculannya diketahui siapa-siapa."Agaknya Tumanggala merasa khawatir pada orang-orang yang menaruh dendam padanya. Terlalu berbahaya baginya jika keberadaanya diketahui," batin Wyara sewaktu menimbang-nimbang."Ah, tapi kan yang hendak aku beri tahu Gusti Senopati Arya Lembana. Mana mungkin Gusti Senopati punya pikiran untuk mencelakai Tumanggala," kata Wyara lagi di dalam hati.Berpikir sampai di situ Wyara bergegas ambil kudanya. Lalu sekejap kemudian prajuri
LAPORAN Wyara langsung disikapi dengan sungguh-sungguh oleh Arya Lembana. Sang senopati buru-buru menyudahi pertemuannya dengan Arya Agreswara. Lalu pergi menghadap Rakryan Rangga.Wyara turut dibawa ke sana. Pada pikir Arya Lembana, Rakryan Rangga harus mendengar keterangan mencengangkan ini dari mulut Wyara sendiri. Bukan orang lain.Rakryan Rangga tak kalah kaget mendengar penuturan Wyara. Kaget bercampur marah, sebab itu artinya Kerajaan telah dibohongi mentah-mentah. Lantas, jasad siapa yang diperabukan dengan upacara kehormatan waktu itu?"Aku mencium bau busuk, Lembana. Rupanya ada bangkai di Kotaraja ini," desis Rakryan Rangga dengan wajah merah mengeras.Arya Lembana hanya diam, tak berani menanggapi. Apatah lagi Wyara. Prajurit itu terus tundukkan kepala. Pandangannya menekuri lantai pendopo dalam remang cahaya lampu minyak."Bayangkan, upacara perabuan jasad yang dikatakan sebagai Tumanggala itu disaksikan langsung oleh Sang Prabu!
MENURUTI saran Wyara, Tumanggala lanjutkan pencarian ke arah barat. Tujuannya adalah Lusem, sebuah pemukiman ramai nan asri di kaki Gunung Pawinihan. Boleh dikatakan Lusem merupakan pintu gerbang menuju gunung suci tersebut. Orang-orang yang hendak menuju ke gunung dari arah Kotaraja, bisa dipastikan melewati Lusem sebagai jalur utama. Tumanggala musti menempuh jarak sejauh hampir lima ribu depa (sekitar 9 km) menuju ke sana. Karena itu sang prajurit memutuskan untuk mencari kuda demi menghemat tenaga. Terlebih hari sudah memasuki rembang petang. "Kalau urusan ini tidak selesai secepat yang aku harapkan, agaknya aku terpaksa menginap di sana," batin Tumanggala dalam perjalanan. Hujan deras terus mengguyur sepanjang perjalanan sang prajurit. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit. Akibatnya, Tumanggala tak dapat memacu kuda kencang-kencang. Alih-alih menyuruh kudanya berlari, Tumanggala musti mengendalikan hewan tunggangannya den
SEMULA Tumanggala mengira semua itu hanyalah bunga tidur. Namun ternyata kemudian telinganya semakin jelas mendengar suara-suara jerit-pekik tersebut. Sang prajurit jadi terlonjak dari tidurnya dengan wajah tegang. "Perampokan?" desis Tumanggala, seraya tajamkan pendengaran. Sepasang matanya membeliak lebar akibat ketegangan yang seketika menyergap. Suara-suara mencekam tadi bertambah jelas terdengar di telinga sang prajurit. Menandakan peristiwa apa pun yang menyebabkan keributan tersebut, berada tak jauh dari penginapan. Tumanggala bergegas menuju ke jendela. Pandangannya dilemparkan ke sekeliling. Kening sang prajurit langsung berkerut dalam. Kepulan asap tebal tampak membubung tinggi di udara. Lalu di bawah kepulan asap itu, kobaran api terlihat jelas dalam gelapnya malam. Merah membara. Tumanggala kertakkan rahang dibuatnya. "Sial! Aku tidak boleh membiarkan ini terus terjadi!" geram sang prajurit. Kejap berikutnya Tumanggala suda
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!