TIGA lelaki bercadar hitam keluarkan pekik ngeri tertahan. Pedang di tangan Tumanggala tinggal sedikit lagi menyentuh kulit leher mereka, dan mereka sama sekali tak punya kesempatan menghindar.
Suasana tegang seketika menyelimuti tempat tersebut. Bagi ketiga lelaki bercadar yang tengah terancam nyawanya, waktu berjalan dengan sangat lambat.
Crass!
Tanpa ampun mata pedang Tumanggala membabat putus leher salah satu lelaki bercadar. Kepala lelaki malang itu pun lepas dari badan, lalu menggelinding di tanah. Tubuhnya jatuh berdebam keras. Darah segar mengucur deras dari kutungan leher yang memerah.
Dalam ketegangan itu, dua lelaki bercadar yang tersisa tiba-tiba saja jatuhkan diri ke tanah dan bersujud. Dengan begitu kedua lelaki tersebut selamat dari sambaran mata pedang Tumanggala yang tinggal sejengkal lagi menebas batang lehernya.
"Gusti Prajurit, mohon ampuni kami!" seru salah satu dari dua lelaki yang bersujud tersebut.
Tumanggala sigap he
TAK kalah cepat, sang prajurit gerakkan pedang di tangannya sedemikian rupa sehingga tampak sebagai kitiran. Anak-anak panah lawan yang menghujani dirinya pun berpentalan ketika menghantam kitiran tersebut. Sembari menghalau serbuan anak panah, Tumanggala terus merangsek maju mendekati lawan. Ia harus memperpendek jarak agar kedua penyerangnya itu tidak mempunyai jarak tembak yang cukup. Dua lelaki bercadar hitam merutuki kecerdikan Tumanggala tersebut dalam hati. Mau tak mau mereka pun melangkah mundur. Jika tidak, mereka tidak akan dapat melepas serangan dengan panah secara leluasa. "Ah, kalian ini rupanya sebangsa undur-undur. Makanya kalian berdua hanya bisa berjalan mundur seperti ini," ujar Tumanggala mengejek kedua lawan. Yang diejek hanya diam. Namun di dalam hati mereka terus merutuk. Salah satu dari mereka memberi isyarat mata pada temannya. Isyarat itu ditanggapi dengan anggukan kepala. Rupanya dua lelaki tersebut kemudian berlaku c
TUMANGGALA serasa tak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan. Sang prajurit ucak-ucak kedua mata berkali-kali. Berharap wajah di hadapannya berubah. Tapi tetap saja, orang itu memang Wipaksa. Mau tak mau Tumanggala harus menerima kenyataan. Orang yang baru saja hendak membunuhnya benar-benar Wipaksa. Tapi, ia merasa tidak punya masalah apa pun dengan lurah prajurit itu. Lalu, kalau pun benar orang ini Wipaksa, apa yang membuat si lurah prajurit tega hendak menghabisi nyawanya? Kecamuk pikiran itu membuat wajah Tumanggala menegang. "Siapa namamu?" tanya Tumanggala kemudian. Di dalam hatinya Tumanggala masih berharap salah orang. Atau mungkin lelaki yang tengah sekarat di hadapannya saat ini hanyalah berwajah mirip dengan Wipaksa. Namun harapan tersebut tak terwujud. Lelaki yang ditanyai keluarkan suara tawa mengekeh. Meski kemudian terhenti akibat terbatuk-batuk. Terluka dalam. "Tidak usah berpura-pura, Tumanggala. Kau sudah mengena
SETIBA di Kotaraja, satu pemikiran tiba-tiba saja muncul di kepala Wyara. Apa tidak sebaiknya ia laporkan saja kemunculan Tumanggala pada Senopati Arya Lembana?Kenyataan bahwa Tumanggala masih hidup pasti akan menyenangkan hati sang senopati. Selain itu, apa yang dikatakan Tumanggala tadi menurutnya bisa jadi masukan berharga bagi sang junjungan.Tapi sejenak Wyara meragu. Sebelum berpisah Tumanggala berpesan untuk merahasiakan pertemuan mereka. Itu berarti sahabatnya tersebut tidak mau kemunculannya diketahui siapa-siapa."Agaknya Tumanggala merasa khawatir pada orang-orang yang menaruh dendam padanya. Terlalu berbahaya baginya jika keberadaanya diketahui," batin Wyara sewaktu menimbang-nimbang."Ah, tapi kan yang hendak aku beri tahu Gusti Senopati Arya Lembana. Mana mungkin Gusti Senopati punya pikiran untuk mencelakai Tumanggala," kata Wyara lagi di dalam hati.Berpikir sampai di situ Wyara bergegas ambil kudanya. Lalu sekejap kemudian prajuri
LAPORAN Wyara langsung disikapi dengan sungguh-sungguh oleh Arya Lembana. Sang senopati buru-buru menyudahi pertemuannya dengan Arya Agreswara. Lalu pergi menghadap Rakryan Rangga.Wyara turut dibawa ke sana. Pada pikir Arya Lembana, Rakryan Rangga harus mendengar keterangan mencengangkan ini dari mulut Wyara sendiri. Bukan orang lain.Rakryan Rangga tak kalah kaget mendengar penuturan Wyara. Kaget bercampur marah, sebab itu artinya Kerajaan telah dibohongi mentah-mentah. Lantas, jasad siapa yang diperabukan dengan upacara kehormatan waktu itu?"Aku mencium bau busuk, Lembana. Rupanya ada bangkai di Kotaraja ini," desis Rakryan Rangga dengan wajah merah mengeras.Arya Lembana hanya diam, tak berani menanggapi. Apatah lagi Wyara. Prajurit itu terus tundukkan kepala. Pandangannya menekuri lantai pendopo dalam remang cahaya lampu minyak."Bayangkan, upacara perabuan jasad yang dikatakan sebagai Tumanggala itu disaksikan langsung oleh Sang Prabu!
MENURUTI saran Wyara, Tumanggala lanjutkan pencarian ke arah barat. Tujuannya adalah Lusem, sebuah pemukiman ramai nan asri di kaki Gunung Pawinihan. Boleh dikatakan Lusem merupakan pintu gerbang menuju gunung suci tersebut. Orang-orang yang hendak menuju ke gunung dari arah Kotaraja, bisa dipastikan melewati Lusem sebagai jalur utama. Tumanggala musti menempuh jarak sejauh hampir lima ribu depa (sekitar 9 km) menuju ke sana. Karena itu sang prajurit memutuskan untuk mencari kuda demi menghemat tenaga. Terlebih hari sudah memasuki rembang petang. "Kalau urusan ini tidak selesai secepat yang aku harapkan, agaknya aku terpaksa menginap di sana," batin Tumanggala dalam perjalanan. Hujan deras terus mengguyur sepanjang perjalanan sang prajurit. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit. Akibatnya, Tumanggala tak dapat memacu kuda kencang-kencang. Alih-alih menyuruh kudanya berlari, Tumanggala musti mengendalikan hewan tunggangannya den
SEMULA Tumanggala mengira semua itu hanyalah bunga tidur. Namun ternyata kemudian telinganya semakin jelas mendengar suara-suara jerit-pekik tersebut. Sang prajurit jadi terlonjak dari tidurnya dengan wajah tegang. "Perampokan?" desis Tumanggala, seraya tajamkan pendengaran. Sepasang matanya membeliak lebar akibat ketegangan yang seketika menyergap. Suara-suara mencekam tadi bertambah jelas terdengar di telinga sang prajurit. Menandakan peristiwa apa pun yang menyebabkan keributan tersebut, berada tak jauh dari penginapan. Tumanggala bergegas menuju ke jendela. Pandangannya dilemparkan ke sekeliling. Kening sang prajurit langsung berkerut dalam. Kepulan asap tebal tampak membubung tinggi di udara. Lalu di bawah kepulan asap itu, kobaran api terlihat jelas dalam gelapnya malam. Merah membara. Tumanggala kertakkan rahang dibuatnya. "Sial! Aku tidak boleh membiarkan ini terus terjadi!" geram sang prajurit. Kejap berikutnya Tumanggala suda
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!