TUMANGGALA tersentak. Jeritan pilu itu membuatnya teringat pada sang isteri. Lebih tepatnya pada peristiwa keji yang dialami perempuan muda itu di Gua Lawendra. Gerahamnya seketika keluarkan suara bergemeletuk keras.
"Rudapaksa! Itu pasti rudapaksa," desis sang prajurit dengan wajah mengelam.
Bergegas Tumanggala mencari arah asal suara. Saat melewati sebuah rumah yang belum terbakar, kembali jeritan perempuan itu terdengar. Kali ini disertai gelak tawa beberapa lelaki.
Sepasang mata Tumanggala nyalang mencari-cari. Setelah berjalan ke bagian samping rumah, pemandangan menjijikkan itu pun terlihat. Hanya beberapa langkah dari tempatnya berhenti.
Seorang perempuan muda, dalam keadaan hanya terbalut kain yang sudah koyak-moyak tak karuan, melejang-lejangkan sepasang kakinya dalam tindihan seorang lelaki. Satu lelaki lagi tampak memegangi kedua tangan si perempuan sambil tertawa-tawa.
"Jahanam!" bentak Tumanggala. Suaranya keras menggelegar.
Ber
UNTUK kesekian kali suara berdentrangan keras terdengar. Kali ini diikuti seruan si perampok karena sekali lagi golok besar di tangannya mencelat lepas dari dalam genggaman.Belum habis rasa kejutnya, Tumanggala sudah datang dengan satu tendangan cepat."Bangsat!"Si perampok hanya dapat memaki kesal. Ia berusaha menghindari serangan, tapi gerakannya sudah sangat terlambat.Bukkk!Tanpa ampun dada lelaki tersebut terhantam telapak kaki Tumanggala. Rasanya seperti ditimpa balok kayu raksasa. Lenguhan keras keluar dari mulutnya. Tubuh besarnya terjengkang ke belakang, lalu jatuh tergeletak di tanah.Tumanggala ganda tertawa. Sebelum lawan kembali bangkit, pedang di tangannya dilemparkan ke arah perampok tersebut. Sebuah serangan yang didasarkan pada satu perhitungan cepat.Dugaan sang prajurit tepat. Setelah diam sesaat mengumpulkan tenaga, si perampok memang segera bangun. Tepat pada saat itulah pedang Tumanggala datang dan ....
SUARA berdentrangan keras terdengar saat pedang Tumanggala ditangkis golok besar si perampok. Tanpa diduga-duga oleh sang prajurit, rupanya dalam kejap berikutnya perampok itu kembali mengirim serangan. Kali ini berupa jotosan ke arah muka.Tumanggala mendengus. Namun tinjuan lawan dengan mudah dapat ditangkis. Pada saat bersamaan sang prajurit balas menyerang dengan cara sama, menggunakan sebelah tangan lainnya.Gerakan Tumanggala jauh lebih cepat. Membuat si perampok tak dapat mengelak.Buuukk!Bogem mentah Tumanggala mendarat di mata kanan si perampok bercambang bauk. Kulit di sekitar bola matanya seketika menjadi lebam membiru. Mulutnya menyerukan jeritan keras."Aaaaa!"Belum lagi hilang kejut lelaki itu, sang prajurit kembali mengirim serangan. Sebuah tendangan yang mengarah lurus ke dada.Tumanggala benar-benar memanfaatkan pertemuannya dengan gerombolan perampok ini. Dijadikannya sebagai kesempatan untuk menerapkan kemampuan b
BERBARENGAN dengan serbuan warga desa Katang Katang pada si gembong rampok, Tumanggala melesat pergi. Tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam sekejap saja tubuh sang prajurit sudah menghilang. Tumanggala tak ingin berlama-lama di tempat tersebut. Hari sudah lewat tengah malam, sedangkan dirinya belum beristirahat. Padahal besok pagi-pagi sang prajurit harus ke Kotaraja untuk menemui Wyara. Tapi prajurit Panjalu itu tidak bergeser terlalu jauh. Sejarak lima ribu depa (sekitar 9 km) dari Katang Katang ia berhenti. Sebuah bangunan penginapan di dekat pertigaan jalan menjadi tempat pemberhentian. "Selamat malam, Kisanak. Selamat datang di penginapan kami," sambut seorang pekatik begitu Tumanggala memasuki halaman penginapan. Sang prajurit hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Pekatik tadi sedianya bertugas membawa kuda tunggangan para tetamu ke istal. Namun karena Tumanggala tak membawa kuda, si pekatik tak perlu melakukan apa-apa. "Apa nama pengi
TUMANGGALA kerutkan kening sembari tajamkan pendengaran. Berusaha mencari tahu dari mana asal suara-suara tersebut. Saat jeritan dan bentakan itu kembali terdengar, tahulah ia keributan itu berasal dari ruangan di sebelah.Rasa penasaran mengantar Tumanggala ke tempat tersebut. Begitu melihat apa yang tengah terjadi di sana, darah sang prajurit seketika mendidih. Wajahnya berubah kelam memerah.Di dalam ruangan, dua lelaki berbadan kekar tampak tengah berusaha menyeret seorang perempuan muda. Yang diseret terus meronta-ronta, sesekali berpegangan pada apa saja yang dapat diraih agar tubuhnya tak terangkut.Beberapa perempuan lain yang juga ada di dalam ruangan itu terlihat tak ambil peduli. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang terjadi dari tempat duduk masing-masing."Hentikan!" seru Tumanggala geram.Dua lelaki yang tengah memegangi si perempuan sontak hentikan gerakan, lalu palingkan wajah. Melihat siapa yang barusan berteriak, keduanya saling
DUA lelaki kekar yang terkapar di lantai ruangan segera meloncat bangkit. Sejenak mereka saling pandang. Setelah sama-sama anggukkan kepala, keduanya cabut golok besar yang sedari tadi tergantung di pinggang. Sret! Sret! Diiringi seruan menggeram kedua lelaki tersebut menyerbu Tumanggala. Dua golok besar terayun deras, mengeluarkan suara berdesing. Mengincar batang leher dan bagian ulu hati sang prajurit. Melihat itu, para perempuan muda yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan kembali menjerit keras. Lalu berhamburan dan berebut keluar melalui satu-satunya pintu yang ada. "Huh, mereka rupanya tidak main-main," batin Tumanggala berdecak. Alih-alih menunggu serangan tiba, sang prajurit malah bergerak menyongsong ke depan. Kedua tangannya digerakkan sebat, menelusup masuk di antara sabetan golok. Menghantam pergelangan tangan kedua lawan. Des! Des! Dua lelaki kekar kembali menjerit keras. Pergelangan tangan mereka seolah dihanta
TAK dapat dielakkan lagi, pertempuran pun kembali pecah di ruangan tersebut. Kali ini lawan yang dihadapi Tumanggala berjumlah empat orang. Seluruhnya bersenjatakan golok besar nan tajam.Namun sang prajurit tidak merasa gentar sama sekali. Jika kemampuan empat pemuda bersenjata golok ini sama seperti dua lelaki yang dikalahkannya tadi, maka mereka bukanlah lawan berat baginya.Satu-satunya yang dirasa berat oleh si prajurit adalah perutnya yang semakin berkeroncongan minta segera diisi. Belum lagi kelopak mata yang memberat karena serangan kantuk."Pemuda lancang, rasakan ini!" seru salah satu dari keempat lelaki bergolok besar.Empat bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Tumanggala. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Tumanggala pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk sedemikian rupa, direndahkan hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua
SEWAKTU Tumanggala menyarungkan pedang tadi, pandangan Ki Juru Jalir memang menangkap ukiran di gagang senjata tersebut. Ketika diamat-amatinya dengan lebih teliti, lelaki paruh baya itu yakin dirinya tidak salah lihat.Pada ujung gagang pedang Tumanggala terdapat ukiran Narasingha. Ini sebutan bagi makhluk setengah manusia setengah singa. Lambang kebesaran Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya.Lelaki paruh baya itu pun segera maklum jika ia sebaiknya mengalah saja untuk saat ini. Lagi pula dirinya adalah seorang mangilala drawya haji, abdi kerajaan juga. Maka bergegas kakinya melangkah mendekati Tumanggala."Anak Muda, mohon maafkan kami karena telah bersikap kurang ajar terhadapmu," ujar Ki Juru Jalir begitu tiba di hadapan Tumanggala.Seraya berkata begitu, lelaki paruh baya tersebut mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Sebuah sikap menghormat yang biasa ditunjukkan kepada orang dengan kedudukan lebih tinggi.Empat lelaki berbadan tega
SELEPAS menuntaskan rasa lapar, Tumanggala langsung kembali ke kamarnya di lantai paling atas. Hari sudah jauh melewati pertengahan malam, menjelang dini hari. Hawa udara sudah semakin dingin mencucuk tulang.Begitu memasuki kamar, Tumanggala langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Tumanggala terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk yang tadi menghilang agar kembali datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Tumanggala langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."S-saya, Gusti Prajurit." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Tumanggala kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya