Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur.
"Kau baru pulang?"
"Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah.
"Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.
&n
"Selamat pagi bibi, bagaimana kabar bibi hari ini?""Beginilah keadaan bibi Lia, bagaimana dengan pekerjaanmu?""Semuanya seperti biasa Bi. Semoga keadaan bibi lekas membaik ya. Aku harus segera berangkat kerja" Lia meninggalkan kecupan di dahi bibi nya. bibi Lauren sudah lama menghabiskan waktu di tempat tidur. Sementara keponakannya yang menjadi tulang punggung hanyalah seorang pegawai minimarket."Hati-hati Lia. Bibi sayang padamu" Lia melemparkan senyum, dia melambaikan tangan. Dan menutup Pintu rumah kecil itu.Sebuah kota di pinggir pantai. Dengan gedung pencakar langit. Mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan. Inilah kota Olio. Sebuah kota maju yang bebas. Industri yang maju pesat. Teknologi yang berkembang. Kesenjangan sosial yang tinggi. Berbeda dengan kehidupan Lia. Yang tinggal bersama bibin
Di sebuah kota modern dengan teknologi yang maju, jalanan yang padat dipenuhi mobil-mobil mewah di beberapa sudut kota yang terasa macet. Di tengah kota suasana begitu asri dan rapi. Patung-patung menghiasi sudut-sudut kota memberi kesan eksentrik dengan sentuhan seni tinggi, gedung gedung pencakar langit, tempat-tempat hiburan menjamur hingga seperti pertokoan saja. Olio sebuah kota yang sangat maju dengan penduduk yang cenderung individualis, Olio kota modern! Dan berawal dari sini kisah itu dimulaiSudut kota yang dipenuhi oleh ruko-ruko dengan banyak tempelan stiker dan poster, dapat dibayangkan kalau ini adalah pemukiman padat penduduk menengah ke bawah, bahkan sangat kebawah, rumah-rumah sangat rapat tanpa jarak, bau-bau got yang khas, kontrakan berjejer, di situlah seorang gadis cantik tinggal bersama bibinya yang sakit-sakitan. Lia harus bekerja setiap harinya"bag
Seperti hari hari lainnya, Lexi pulang sangat terlambat malam ini. Sudah hampir tengah malam. Lia bersandar pada palang pintu menahan kantuk, dan tangan terlipat di dada. Saat Lexi mendekat bau alkohol menyeruak membuat Lia mual. Tatapan gadis itu penuh kemarahan."Hallo cantik!" Goda Lexi seperti biasanya, dia menggamit dagu Lia dan melengos masuk. Lia memutar badannya menatap punggung Lexi yang bidang."Lexi, apa kau tidak lelah!" Gusar Lia kesal."Apa!" Lexi mengangkat bahu mendengar nada sumbang sepupunya."Ayolah Lexi, carilah pekerjaan dan cukup bersenang senangnya!" Suara Lia berubah lirih seperti memohon."Maaf sayang. Rumah ini terlalu sempit dan bau. Mama terlalu ringkih dan lelah. Papa tak kunjung pulang. Lalu bagaimana aku mau bahagia?"Lia menggeleng
Lexi mondar mandir panik di depan kampus ternama kota ini. Gedung dengan arsitektur tinggi berbentuk huruf u dengan kolam dan taman pada bagian depan, sementara gerbang tinggi tertutup sempurna tak bisa dimasuki sembarang orang, termasuk.lexi, pria itu hanya bisa mondar mandir memperhatikan tiap wajah yang membuka pintu mobil untuk men tap kartu mereka di monitor gerbang. Belum juga menemukan wajah yang dia tunggu. Sudah hampir satu jam Lexi gelisah.Max menurunkan kaca jendela, dia melihat wajah Lexi di depan sana"Hey! Kau mencari siapa!" Teriak max dari dalam mobil. Lexi segera berlari menghampiri mobil sport max. Wah gila, mata Lexi melotot tak percaya dengan tunggangan mewah max, impiannya! Hanya sebatas impian saja."Emh!" Lexi menggaruk.leher belakang, dia ragu ragu."Ada apa?" Tanya max heran dengan tingkah Lexi. Pria kemaren ini, apa bu
"Ah, sial!" Lia mencoba menyalakan scooternya dan tak bisa. Dia terlihat kesal dan melepaskan helm. Lia menepikan scooternya dan menyetop taksi."Uang ekstra tak terduga lagi!" kesal Lia.Baru Hari pertama kerja tapi sepertinya Lia akan terlambat."Aku harus buru-buru atau pekerjaanku akan gagal!" Rok yang dikenakan Lia cukup mengganggu penampilannya. Sialan seragam ini! Belum lagi heel, oh Tuhan semua serasa menyiksa. Lia mencoba menenangkan diriLia tinggal di pinggiran kota dan lumayan cukup jauh, akan memakan waktu untuk menjangkau lokasi pub di pusat kota"Bagaimanapun juga, aku harus bekerja dan aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ku! aku membutuhkan banyak uang. Aku ingin kuliah, mengobati bibi, menjenguk mama dan melakukan banyak hal!" Lia mengepalkan tangan, mengumpulkan semangatnya. Untuk perta
"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopanSebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini."Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam len
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita
Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana."Apa yang akan kita lakukan?""Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga."Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!""Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras."Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya."Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tu
Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya."Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri."Lia! Apa kau baik baik saja di sana?""Ya, aku baik"Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana."Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci."Ya" jawab Lia singkat."Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?""Huruf yang tak ada?""Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir."Huruf E?""Bukan""Huruf Y?""Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, se
"Kenapa tak ada satupun yang mendengarku.." lirih Lia dengan sisa perjuangannya. Dia terduduk lemas dengan kemeja basah. Beberapa kali Lia berusaha melompat yang ada dia menimpa keran dan air keran membasahi dirinya.Lia sudah putus asa, dia mengacak ngacak rambutnya yang basah. Basah karena keringat dan air bercampur jadi satu, sudah tak jelas seperti apa penampilannya. Dia hanya ingin keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya. Tak ada yang berubah, kawat penutup ventilasi seakan tak bergerak meski Lia sudah memukul berkali kali.Klik!!Lampu menyala, membuat Lia melonjak bangun.Paaakk!! PAKK!!Lia menggedor pintu sekuat tenaga."Siapapun di sana!! Tolong buka pintunya!!" Teriak Lia lirih."TOLOOONG BUKA PINTUU INII!!" Teriak Lia lirih sekali lagi.----Max melirik jam tangan sudah pukul se