Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya.
"Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri.
"Lia! Apa kau baik baik saja di sana?"
"Ya, aku baik"
Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana.
"Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci.
"Ya" jawab Lia singkat.
"Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?"
"Huruf yang tak ada?"
"Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir.
"Huruf E?"
"Bukan"
"Huruf Y?"
"Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, se
Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana."Apa yang akan kita lakukan?""Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga."Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!""Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras."Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya."Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tu
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
"Selamat pagi bibi, bagaimana kabar bibi hari ini?""Beginilah keadaan bibi Lia, bagaimana dengan pekerjaanmu?""Semuanya seperti biasa Bi. Semoga keadaan bibi lekas membaik ya. Aku harus segera berangkat kerja" Lia meninggalkan kecupan di dahi bibi nya. bibi Lauren sudah lama menghabiskan waktu di tempat tidur. Sementara keponakannya yang menjadi tulang punggung hanyalah seorang pegawai minimarket."Hati-hati Lia. Bibi sayang padamu" Lia melemparkan senyum, dia melambaikan tangan. Dan menutup Pintu rumah kecil itu.Sebuah kota di pinggir pantai. Dengan gedung pencakar langit. Mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan. Inilah kota Olio. Sebuah kota maju yang bebas. Industri yang maju pesat. Teknologi yang berkembang. Kesenjangan sosial yang tinggi. Berbeda dengan kehidupan Lia. Yang tinggal bersama bibin
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita
Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana."Apa yang akan kita lakukan?""Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga."Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!""Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras."Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya."Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tu
Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya."Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri."Lia! Apa kau baik baik saja di sana?""Ya, aku baik"Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana."Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci."Ya" jawab Lia singkat."Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?""Huruf yang tak ada?""Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir."Huruf E?""Bukan""Huruf Y?""Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, se
"Kenapa tak ada satupun yang mendengarku.." lirih Lia dengan sisa perjuangannya. Dia terduduk lemas dengan kemeja basah. Beberapa kali Lia berusaha melompat yang ada dia menimpa keran dan air keran membasahi dirinya.Lia sudah putus asa, dia mengacak ngacak rambutnya yang basah. Basah karena keringat dan air bercampur jadi satu, sudah tak jelas seperti apa penampilannya. Dia hanya ingin keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya. Tak ada yang berubah, kawat penutup ventilasi seakan tak bergerak meski Lia sudah memukul berkali kali.Klik!!Lampu menyala, membuat Lia melonjak bangun.Paaakk!! PAKK!!Lia menggedor pintu sekuat tenaga."Siapapun di sana!! Tolong buka pintunya!!" Teriak Lia lirih."TOLOOONG BUKA PINTUU INII!!" Teriak Lia lirih sekali lagi.----Max melirik jam tangan sudah pukul se