"Selamat pagi bibi, bagaimana kabar bibi hari ini?"
"Beginilah keadaan bibi Lia, bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Semuanya seperti biasa Bi. Semoga keadaan bibi lekas membaik ya. Aku harus segera berangkat kerja" Lia meninggalkan kecupan di dahi bibi nya. bibi Lauren sudah lama menghabiskan waktu di tempat tidur. Sementara keponakannya yang menjadi tulang punggung hanyalah seorang pegawai minimarket.
"Hati-hati Lia. Bibi sayang padamu" Lia melemparkan senyum, dia melambaikan tangan. Dan menutup Pintu rumah kecil itu.
Sebuah kota di pinggir pantai. Dengan gedung pencakar langit. Mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan. Inilah kota Olio. Sebuah kota maju yang bebas. Industri yang maju pesat. Teknologi yang berkembang. Kesenjangan sosial yang tinggi. Berbeda dengan kehidupan Lia. Yang tinggal bersama bibinya dan sudah sakit-sakitan. Dia harus bekerja setiap hari di minimarket. Sementara..
Kediaman keluarga besar Edward
Sebuah rumah megah dengan kolam renang di depannya. Yang dilengkapi air mancur sebagai penghias taman. Seorang wanita muda bersama pria nya, mereka berkecupan hangat di belakang kemudi mobil. Permainan lidah yang lihai dan penuh gairah. Rasanya enggan untuk melepaskan tautan kedua bibir yang sangat haus itu. Pada akhirnya Mariah harus turun dari mobil dan membiarkan kekasihnya pergi.
Tanpa mereka sadari di kejauhan sana ada dua bola mata yang memperhatikan. Pria itu tersenyum sinis.
"Daniel. Kau tidak turun terlebih dahulu?"
"Tentu saja tidak, bagaimana kalau kakakmu melihatku. Dia pasti akan sangat murka."
"Oke baiklah. Kalau begitu sampai jumpa lagi sayang."
Mariah sekali lagi mengecup bibir kekasihnya. Dengan enggan dia menuruni mobil. Daniel melambaikan tangan. Meninggalkan kediaman Edward
Tuan Edward menyambut Mariah di depan pintu. Dia mengeluarkan senyum, lebih tepatnya sebuah seringai.
"Kau dari mana saja ipar?"
Tanya Edward dengan mengelus bibir tipisnya. bola matanya yang coklat menyapu dari ujung rambut hingga ujung kaki Mariah. Lihatlah pakaian yang ketat itu. Sangat indah membalut tubuh adik iparnya. Dia sangat cantik dan sensual. Tatapan Edward memiliki makna dalam.
"Hanya menghabiskan waktu"
Jawab Mariah sedikit malas. Edward selalu saja ingin tahu urusannya.
"Di mana kakak? Apa dia belum pulang bekerja?"
Tanya Mariah sambil ngeloyor pergi meninggalkan Edward. Pria itu mengangkat kedua tangannya. Wow, adik ipar yang sangat menggemaskan. Lihatlah bokong itu, bentuknya sangat menggemaskan. Edward mengayunkan tangan seolah memukul bokong Mariah. Wajah yang jelas sekali sudah tak tahan.
Rumah keluarga Edward, salah satu kediaman orang termasyhur di kota Olio. Pria paruh baya dengan kumis itu adalah seorang pengusaha pertambangan. Tapi kini dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Di mana dia bisa menikmati hari, menikmati pelayan pelayan cantiknya, adik iparnya yang masih muda yang berbeda dengan nyonya Edward, nyonya rumah itu masih sibuk mengejar harta. Masih ada Max, Dia adalah anak tunggal keluarga Edward. Max adalah calon pewaris tunggal keluarga besar itu. Pemuda itu terkenal tampan, memiliki tubuh yang atletis, sering muncul di majalah, yah dia cukup populer atau tidak, Dia sangat populer! Maximilian Edwardo!
Nampaknya hari ini Max tidak ada di rumah. Maria sudah mencari ke kamarnya dan ternyata kosong.
"Kemana ponakan tante yang paling tampan itu. Harusnya masih ada di rumah jam segini? Jangan bilang dia sudah ke kampus!" Maria bertolak pinggang. Baru saja dia akan memanfaatkan Max. Keponakannya itu sudah pergi duluan. Mariah mengacungkan undangan di tangannya.
"Harusnya dia menemani aku ke pesta nanti malam. Agar aku bisa keluar. Aku juga ingin menikmati malam panjang bersama Daniel. Aku butuh Max sebagai alasan!" Maria meraut wajah kecewa. Nampaknya rencananya tidak akan berjalan lancar.
***
Seperti dugaan Maria, Max memang sudah di kampus. Bukan, dia bukan sedang menikmati jam pelajaran, pria tampan itu sedang merebahkan diri di kursi cafe. Dia membuka tangannya di sandaran kursi. Max membuka kaca mata hitamnya. Memamerkan bola mata yang berkilau berwarna coklat terang. Ayolah, dia tahu selalu menarik perhatian wanita. Tapi tetap saja wajah itu cuek. Max sedikit sulit memilih wanita.
Bruuuk!!
Lia mengurut dahi. Lagi lagi, dia menjatuhkan isi kontainer di dalam genggamannya. kontainer berukuran kurang lebih setengah meter itu cukup berat untuk seorang wanita angkat. Lia segera menaruh kotak itu dan berjongkok, memunguti isinya yang berserakan di lantai. Untunglah buah ini belum matang, kalau tidak dia bisa merusaknya! Bagaimana cara dia menggantinya! bahkan gajinya pun sudah pas-pasan untuk biaya hidup.
Seseorang ikut berjongkok di hadapan Lia. Tangan kekar yang memamerkan guratan otot nyata. Max membantu Lia memunguti buah yang berserakan di lantai.
"Oh, terima kasih. Tapi kau tak perlu repot-repot" tolak Lia
Gadis itu mempercepat gerakannya. Dia memang tak membutuhkan bantuan Max. Dengan cepat ia menyelesaikan pekerjaannya. Lia kembali mengangkat kotak kontainer itu. Dia melanjutkan pekerjaan. Max berdiri mematung di belakang punggung Lia. Wanita yang cukup ketus dan kuat. Max mengangguk dengan isi pikirannya sendiri.
"Ada apa? Gadis itu mengacuhkanmu! Wah luar biasa!" Suara Leon membuat Max tersadar. Ya, sepertinya begitu. Max mengangkat bahu.
"Gadis seperti itu memang seharusnya tak acuh. Mereka tak bisa menjangkau posisi kita!" Haduh, kau sombong sekali Leon. Tapi ya, memang begitulah kenyataan. Leon dan Max kembali ke kursi mereka. Menikmati kopi hangat dan tatapan ngiler para gadis.
"Pilihlah seseorang yang kau suka. Si pirang, si rambut hitam berkulit eksotis, si bola mata biru dengan senyum dan lesung pipi, atau.." telapak tangan Max membuat Leon seketika diam.
"Apa kau sudah menentukan pilihan!" Wow, Leon takjub. Secepat itu Max, ternyata pangeran kampus memang sudah dewasa.
Max menatap ke parkiran samping. Dia mendapati gadis itu lagi. Kenapa sekarang dia terlibat perdebatan dengan pria berambut cokelat keriting. Sepertinya cukup serius. Max bangkit dari kursinya.
"Hey, kau mau kemana, gadis itu ada disebelah sana!" Tuding Leon ke kursi perkumpulan para gadis dengan wajah heran. Max mengambil arah lain.
"Max kau sulit sekali dimengerti!" Kesal Leon.
Max tak langsung ikut campur. Dia menyimak sesaat perdebatan gadis tadi dan pemuda ikal itu.
"Sudah kubilang Lexi, jangan libatkan aku dalam pestamu!"
"Aku tidak akan datang!" Lia menyeka kasar rambut panjangnya yang terikat asal.
"Ayolah Lia, kau harus pergi denganku!" Lexi mulai memaksa.
"Tidak. Aku banyak pekerjaan!"
"Lia. Kau harus pergi denganku!" Ketus Lexi dia menangkap pergelangan tangan Lia. Dia memang pemaksa. Membuat Max berdecak tertawa kecil. Tangannya terlipat di dada, dia bersender pada pintu mini market.
"Lepaskan aku!"
"Tidak!"
"Lepas!!" Geram Lia
"Tidak, sampai kau katakan iya!"
"Lepaskan!"
"Tidak!" Lia semakin kesal.
"Katakan kau akan ikut ke pub denganku!" Paksa Lexi.
"Sudah kubilang tidak mau!"
"Ayolah!"
"Lexi, kau membuatku marah!" Lexi malah mengejek
"Ayolah sekali saja" pria ini sungguh sungguh.
Lia menarik tangannya,, membuat tubuh Lexi malah kalah. Pria itu terjatuh karena hentakan tenaga Lia. Dia terlihat geram, Lexi bangkit, menepuk nepuk celana belakang nya yang kotor.
Wah sepertinya semakin gawat. Max membuka dekapan tangannya. Dia mulai menuruni anak tangga. Dan semakin ikut campur.
"Ayolah Lia, aku meminta baik baik tapi kau--" wajah dekat Lexi segera di blokade Max. Pria itu tiba tiba muncul diantara mereka. Membuat Lia dan Lexi mundur beberapa langkah. Siapa dia!
"Gadis ini tidak akan pergi denganmu" ujar Max menatap Lexi. Pria ikal itu mengangkat bahu, alisnya naik, dia seakan bertanya siapa orang ini kepada Lia.
Lia menggeleng. Entahlah.
"Siapa kau!" Sinis Lexi
"Dia tak akan pergi ke pub dengan pria sepertimu! Karena dia akan pergi hanya dengan pria seperti ku!" Ketus Max menarik pergelangan tangan Lia. Gadis itu terkejut dan pasrah saja saat tarikan kasar telapak kekar Max menarik tubuhnya. Tenaga pria ini bukan main main.
"Hah! Kau ini--" Lexi tertawa sinis. Bagaimana mungkin pria dengan jaket kampus terkenal ini dan Lia, yang benar saja!
"Siapa kau!" Tuding Lexi curiga
Max menarik lebih dekat Lia. Hingga gadis itu masuk ke dalam dekapannya. Dada yang bidang dengan bahu yang kokoh. Membuat seketika dada Lia bergetar. Shit, debar apa ini? Tunggu. Bukankah dia pria yang sama! Dia pria tadi.
"Karena dia adalah kekasihku!" Ujar Max mendorong tubuh Lia Ke dinding kaca mini market. Pria tampan itu memejamkan mata. Melumat habis bibir tipis Lia, dia menikmati gadis yang hanya bisa terkejut menatap betapa tampan rupanya.
Bukan hanya Lia. Seisi minimarket kompak berdiri dan menutup mulut yang menganga. Apa yang Max lakukan. Dia sedang menggadaikan harga diri?
Ternyata seperti ini rasanya ciuman. Max merasakan sensasi lain. Untuk pertama kalinya. Dia enggan melepaskan kesempatan. Pria itu mulai berani mengecup lebih dan mendorong masuk Indra pengecapnya, menikmati dinding dinding mulut gadis di hadapannya. Hayolah Max, ada banyak gadis yang menginginkan kecupan itu dari dulu, kenapa kau memilih pegawai minimarket yang lusuh! Kau gila ya!
"Oh my God!" Lexi tak percaya. Dia mencoba menarik kaos belakang max, berusaha menjeda ciuman panas mereka.
"Berani sekali kau!" Lexi mengacungkan tinju
"Aaakhhh!!" Max memegang buah juniornya yang baru saja di tendang Lia. Gadis itu membuang ludah. Mendengus dan meninggalkan Lexi yang bengong. Sementara Max meringis kesakitan.
"Are you oke bro?" Tanya Lexi cemas. Leon ikut bergabung.
"Sial wanita lusuh itu!" Gerutu Leon.
"Kau bilang apa tentang sepupuku!" Gertak Lexi. Max dan Leon bengong. Apa!
****
Di sebuah kota modern dengan teknologi yang maju, jalanan yang padat dipenuhi mobil-mobil mewah di beberapa sudut kota yang terasa macet. Di tengah kota suasana begitu asri dan rapi. Patung-patung menghiasi sudut-sudut kota memberi kesan eksentrik dengan sentuhan seni tinggi, gedung gedung pencakar langit, tempat-tempat hiburan menjamur hingga seperti pertokoan saja. Olio sebuah kota yang sangat maju dengan penduduk yang cenderung individualis, Olio kota modern! Dan berawal dari sini kisah itu dimulaiSudut kota yang dipenuhi oleh ruko-ruko dengan banyak tempelan stiker dan poster, dapat dibayangkan kalau ini adalah pemukiman padat penduduk menengah ke bawah, bahkan sangat kebawah, rumah-rumah sangat rapat tanpa jarak, bau-bau got yang khas, kontrakan berjejer, di situlah seorang gadis cantik tinggal bersama bibinya yang sakit-sakitan. Lia harus bekerja setiap harinya"bag
Seperti hari hari lainnya, Lexi pulang sangat terlambat malam ini. Sudah hampir tengah malam. Lia bersandar pada palang pintu menahan kantuk, dan tangan terlipat di dada. Saat Lexi mendekat bau alkohol menyeruak membuat Lia mual. Tatapan gadis itu penuh kemarahan."Hallo cantik!" Goda Lexi seperti biasanya, dia menggamit dagu Lia dan melengos masuk. Lia memutar badannya menatap punggung Lexi yang bidang."Lexi, apa kau tidak lelah!" Gusar Lia kesal."Apa!" Lexi mengangkat bahu mendengar nada sumbang sepupunya."Ayolah Lexi, carilah pekerjaan dan cukup bersenang senangnya!" Suara Lia berubah lirih seperti memohon."Maaf sayang. Rumah ini terlalu sempit dan bau. Mama terlalu ringkih dan lelah. Papa tak kunjung pulang. Lalu bagaimana aku mau bahagia?"Lia menggeleng
Lexi mondar mandir panik di depan kampus ternama kota ini. Gedung dengan arsitektur tinggi berbentuk huruf u dengan kolam dan taman pada bagian depan, sementara gerbang tinggi tertutup sempurna tak bisa dimasuki sembarang orang, termasuk.lexi, pria itu hanya bisa mondar mandir memperhatikan tiap wajah yang membuka pintu mobil untuk men tap kartu mereka di monitor gerbang. Belum juga menemukan wajah yang dia tunggu. Sudah hampir satu jam Lexi gelisah.Max menurunkan kaca jendela, dia melihat wajah Lexi di depan sana"Hey! Kau mencari siapa!" Teriak max dari dalam mobil. Lexi segera berlari menghampiri mobil sport max. Wah gila, mata Lexi melotot tak percaya dengan tunggangan mewah max, impiannya! Hanya sebatas impian saja."Emh!" Lexi menggaruk.leher belakang, dia ragu ragu."Ada apa?" Tanya max heran dengan tingkah Lexi. Pria kemaren ini, apa bu
"Ah, sial!" Lia mencoba menyalakan scooternya dan tak bisa. Dia terlihat kesal dan melepaskan helm. Lia menepikan scooternya dan menyetop taksi."Uang ekstra tak terduga lagi!" kesal Lia.Baru Hari pertama kerja tapi sepertinya Lia akan terlambat."Aku harus buru-buru atau pekerjaanku akan gagal!" Rok yang dikenakan Lia cukup mengganggu penampilannya. Sialan seragam ini! Belum lagi heel, oh Tuhan semua serasa menyiksa. Lia mencoba menenangkan diriLia tinggal di pinggiran kota dan lumayan cukup jauh, akan memakan waktu untuk menjangkau lokasi pub di pusat kota"Bagaimanapun juga, aku harus bekerja dan aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ku! aku membutuhkan banyak uang. Aku ingin kuliah, mengobati bibi, menjenguk mama dan melakukan banyak hal!" Lia mengepalkan tangan, mengumpulkan semangatnya. Untuk perta
"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopanSebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini."Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam len
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Lexi mendorong pintu hingga dia bisa masuk menerobos tubuh Max."Lia!!" Teriak Lexi tak percaya mendapati tubuh Lia yang terbaring di ranjang. Mariah dan Max ikut bergabung masuk.Berbeda dengan wajah Max yang datar. Lexi tampak menatap wajah pria itu dengan sorot tajam begitupun bibinya Mariah."Apa, kenapa kalian melihatku seperti tertuduh!" Ujar Max tak terima. Lexi bangkit dari posisi berjongkok di bawah ranjang dan menyeka rambut panjang Lia yang terurai jatuh hingga hampir menyentuh lantai. Shit posisi apa ini!. Sebelum dia membuat perhitungan pada teman barunya, si Maxi. Terlebih dahulu Lexi membetulkan posisi Lia di ranjang. Ya ampun. Bahkan dia memakai pakaian tanpa mengancing penuh pada bagian dadanya. Dengan ragu Lexi menoleh dan membuang wajah. Lexi tak sanggup melihat bagian dada sepupunya yang terbuka itu."Aku tahu itu!" Uja