"Ah, sial!" Lia mencoba menyalakan scooternya dan tak bisa. Dia terlihat kesal dan melepaskan helm. Lia menepikan scooternya dan menyetop taksi.
"Uang ekstra tak terduga lagi!" kesal Lia.
Baru Hari pertama kerja tapi sepertinya Lia akan terlambat.
"Aku harus buru-buru atau pekerjaanku akan gagal!" Rok yang dikenakan Lia cukup mengganggu penampilannya. Sialan seragam ini! Belum lagi heel, oh Tuhan semua serasa menyiksa. Lia mencoba menenangkan diri
Lia tinggal di pinggiran kota dan lumayan cukup jauh, akan memakan waktu untuk menjangkau lokasi pub di pusat kota
"Bagaimanapun juga, aku harus bekerja dan aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ku! aku membutuhkan banyak uang. Aku ingin kuliah, mengobati bibi, menjenguk mama dan melakukan banyak hal!" Lia mengepalkan tangan, mengumpulkan semangatnya. Untuk pertama kali dia akan menjadi pelayan di bar malam ini, tawaran upah lumayan membuat Lia tergiur.
Triiing!
Lia menatap ponselnya. Dan itu panggilan dari Lexi.
"Halo Lexi. Kenapa kau menghubungiku Aku sedang-- Bekerja!" Lia segera berlari menuju loker sesuai nomer yang tertera di name tag nya, dia mendorong masuk tas bawaanya, mengunci loker dan berlari, bergabung dengan karyawan baru yang sedang diberi pengarahan. Kepala training menatap Lia dengan sudut matanya, gadis itu terlihat gugup, tapi dia bergabung juga di barisan belakang. Sekali lagi ponselnya berdering dan Lia segera menekan tombol menolak.
"Baiklah, malam ini ada event, pengunjung cukup ramai, tugas kalian melayani semua orang!" Ujar pembina menyudahi wejangan panjangnya. Mereka semua bersiap, segera berhambur dan bergabung di meja meja tamu.
Lia melirik layar ponselnya, lagi!
"Halo Lia. Aku memanggilmu bukan karena iseng, sebenarnya ada hal yang ingin aku bicarakan!"
"Bisakah kau menunggu saat kita di rumah, aku sedang bekerja!" Ketus Lia, dia mulai mengambil lap dan membersihkan meja. Seorang tamu menumpahkan minuman. Rok mini Lia menyingkap paha mulusnya. Membuat mata pria enggan berpaling. Lia merasa perasaanya tak enak. Gadis itu mengatur posisinya. Dia tak bisa menyamakan pekerjaan di bar dengan di mini market, seragam mereka tidak sama. Kali ini Lia mengelap dengan hati hati dan mengatur gerakan.
"Ayolah Lia, aku minta waktumu sebentar saja!" Bujuk Lexi
"Apa kau bisa menangani meja nomor dua!" Lia mengangguk mendengar permintaan kepala bagiannya.
"Aku sedang sibuk sekarang!" Dengus lia. Lexi tak menyerah.
"Aku butuh pelayan disini! Sebentar saja!" Pinta Lexi memaksa
"Kau bisa panggil pelayan lainnya!"
"Ayolah dia meminta mu!"
"Ya ampun Lexi, bisakah kau tidak menyusahkan ku sehari saja!"
"Cepatlah, tamumu sudah menunggu di ruang VIP!"
"Aku tak bisa masuk kesana! Mereka memiliki pelayan berbeda!" Sungut Lia kesal
"Tidak, dia akan menemuimu, sebentar saja!"
"Ya Ya Ya baiklah!" Lexi tak akan menyerah jadi biar Lia saja yang menyerah. Dia akhirnya mengiyakan permintaan Lexi.
Lia mencari tatap sekeliling, dia mencari meja yang dimaksud Lexi. Suasana malam ini begitu ramai dan gempita. Di mana si pria itu? Batin Lia kian kesal. Gadis itu mencoba melangkah sambil mencari cari, dia tak bisa bwrlama lama, dia harus membantu pesanan minuman tamu
DUK!!
Lia menabrak seseorang hingga bokongnya mencium lantai
Pria berkulit Tan dengan rambut tersisir rapi ke belakang. Sorot matanya tajam, bola matanya berwarna coklat kopi. Dia memakai kaos putih tak dengan model turtle neck. Dan jas abu-abu.
"ah maaf aku tidak memperhatikan jalanku" Lia membungkuk sopan. Pria itu tersenyum
Tabrakan yang cukup keras, membuat Lia merasakan pundaknya sedikit nyeri, dan dia tanpa sadar menjatuhkan ponselnya yang masih terpasang headset. Benda itu jatuh dari saku roknya.
"Maafkan aku. Aku mau minta maaf.." ulang Lia menyesal
"Aku yang harusnya minta maaf" ujar pria yang memiliki suara berat tapi terdengar renyah di telinga.
"Apa kau baik baik saja?"
"Ya aku tidak apa-apa, maaf aku tadi tidak memperhatikan jalanku, baiklah aku akan pergi. Tapi sebelumnya. Bisakah kamu membantuku berdiri?" Ujar Lia mengulurkan tangan. Pria itu tertawa kecil, dia menarik tangan Lia. Membantu gadis itu berdiri.
"Apa kau terluka?" Lia menggeleng, gadis itu menatap telapak tangannya. Pria itu menyentuh kulit telapak tangan Lia. Seperti aliran listrik menyentuh tubuh gadis itu. Sesuatu yang misterius, sesuatu yang berbeda dia rasakan. Itu adalah kesan pertama mereka. Mata mereka bertemu ketika pria itu berusaha menarik tubuh gadis itu untuk bangkit.
"aku tidak terluka dan terima kasih kau sudah membantuku berdiri" ujar Lia enggan berpisah tapi dia harus mencari sepupunya Lexi.
"Tunggu!" Suara pria itu mengejutkan diantara bingar bingar musik dan DJ.
"sepertinya aku menjatuhkan ponselmu" ujarnya sambil meraih benda di lantai.
Lia memeriksa kantongnya, dan benar saja, sepertinya benda itu memang miliknya. Pria itu memperhatikan handphone Lia, gadis itu mengulurkan tangan hendak mengambil kembali ponselnya, tapi si pria seperti menolak.
"Layarnya retak seribu" Lia membulatkan mata, dia merebut ponselnya dan terkejut.
"Kau benar sekali!" Lia terlihat kecewa.
"Ya, itu buruk sekali. Aku harusnya membelikan ponsel baru untukmu, atau setidaknya aku akan membetulkan ponselmu itu!"
"Oh tidak perlu, tidak perlu, kau tidak perlu bersusah payah melakukan itu-- itu kan tadi kesalahanku. Aku harus kembali bekerja!" Ujar Lia canggung. Tapi pria itu juga keras kepala sama seperti Lexi. Kenapa Lia dikelilingi pria seperti ini sih
"Hei aku sungguh-sungguh merasa menyesal" Dia menarik lengan Lia
Gadis itu tersenyum meski dia terhenyak, dia menoleh dan mendapati wajah pria itu begitu dekat dengan wajahnya. Tampan!
"Ah maaf" pria itu segera melepas genggamannya
"Sudahlah, tidak apa apa" lia tersenyum. Dia menyimpan kembali ponselnya. Kali ini diaeyakinkan jika kabel headset sudah rapi ikut masuk ke dalam sakunya.
Lia berjalan mundur dan membalas senyuman pria itu, dengan canggung dia melambaikan tangan, wajahnya tersipu malu.
"Apa yang sedang kau pikirkan sih. Aku harus bekerja dengan baik!" Lia membuang pikirannya tentang pria tampan tadi
pria itu masih memperhatikan gerak-gerik Lia dari kejauhan, tanpa gadis itu sadari. Lia mulai sibuk melayani tamu di depan sana. Dan pria itu sepertinya dia tertarik dengan Lia.
Lia merasa seseorang memperhatikan gerak-geriknya. Rasanya tidak enak. Dia tidak tahu pasti dimana arah mata itu, atau hanya perasaannya saja.
"Apakah pria tampan tadi?" Lia menggeleng "Ah tidak mungkin!" Ujarnya kembali bekerja.
"Lia!! Lihat disini!" Lexi melambaikan tangannya. Pria itu sedang duduk bersama dengan tiga orang teman lelakinya
"Hah gerombolan anak kurang kerjaan itu!" Dengus lia bertolak pinggang. Lia menggaris senyum dan berniat meninggalkan meja yang sudah dia bersihkan. Lia menghampiri meja Lexi.
"Apa kau yang meminta aku melayani teman-temanmu! ayolah Lexi, aku bisa kena tegur!" Gumam Lia kesal. Lexi malah tersenyum. Dan teman temannya menyapa Lia sok kenal sok dekat.
"Tenanglah Lia, bukan itu!" Balas Lexi cepat
"Sini!" Lexi membisikkan sesuatu
"Apa kau lihat ke arah dalam sana ruang VIP? kau lihat seorang pria di sana!" Liia menyipitkan matanya mempertajam siapa sih sosok yang dimaksud Lexi.
Lia terlihat berpikir
"Apa kau ingat dengan pria tempo hari, pria yang di minimarket, ah bukan maksudku pemuda tampan yang di cafe?"
Lia bercak kesal dan bertolak pinggang
"Lalu?" ujarnya ketus
"Bisakah kau memberikan minuman ini padanya?" pintar Lexi dengan sorot mata memaksa.
"Kenapa tidak kau berikan saja sendiri!" Lia kesal
"Ayolah Lia, kau kan pelayan di sini!" Apa katamu! Lia kehilangan kata kata
"Tapi aku tidak untuk melayani dirimu, kau menyebalkan sekali!"
"Ayolah!" bujuk Lexi tak menyerah
Gadis itu segera merampas gelas di tangan Lexi.
"Baiklah hanya kali ini saja dan jangan lakukan lagi! untuk teman-temanmu ini, berhentilah menatapku seperti itu. Kalian seperti lalat di atas kue!" Hardik Lia marah
"Dan kau kuenya!!"
"Seandainya kami bisa mencicipi kue itu!"
"Hai teman-teman jaga kalimat kalian!" Lexi memasang wajah tegas.
"Ya setidaknya ada kebaikan sedikit di dalam dirimu!"
Lia meninggalkan meja Lexi
kenapa dia harus terlibat dengan mereka-mereka itu sih, malas sekali rasanya
Ruang dengan pembatas kaca di lantai atas. Mereka memiliki beberapa minuman khusus, pelayan khusus dan gadis gadis ekstra, kenapa Lia harus repot repot ambil bagian disini, Lexi sungguh menyebalkan! Gadis itu masih saja mengumpat dalam hati. Lia mendorong pintu dan mendapati meja pria yang dimaksud Lexi.
"Permisi"
Lia menghampiri Max, pria itu memasang senyum lebar
"Ini untukmu dari pria di sebelah sana!" Liia menunjuk Lexi. Max mengangkat gelasnya, sedikit mencicipi minuman yang diberikan Lexi. Dia melemparkan senyum ke arah Lexi dan mengangkat tangan membalas sapaan Max. Seperti mengucapkan kata thank you atau halo
"Oh ya apa kalau ada waktu?" Max bertanya pada Lia
"Maaf sekali aku sedang bekerja, panggil aku jika kau butuh sesuatu!" Ujar Lia segera beranjak dan akan meninggalkan ruang khusus tamunya ini.
"Tunggu sebentar!" Pinta Max
"Baik sir, apa ada hal penting yang bisa aku lakukan untukmu?" Suara Lia berpura pura ramah, sama seperti senyumannya.
"Maukah kau menemaniku malam ini?" Lia mengerutkan dahi
"Ayolah. Kau pikir aku ini wanita seperti apa sih, jangan kau samakan aku dengan pria di seberang sana!" Lia menunjuk Lexi yang tersenyum.lebar seperti keledai bodoh. "Aku tak semurahan dia! Kau bisa memilih wanita lain, karena aku bukan Ani Ani!" Tegas Lia.
"Aku tidak menganggapmu seperti itu, aku juga tak memeikirkan hal itu. ayolah aku tidak terlihat seperti pria jahat kan!"
"Kau terlalu yakin!" Sungut Lia.
"Heu aku hanya mengantar bibi ku disini, aku tidak pintar menghabiskan waktu bersama wanita-wanita berisik!" Max menunjuk gerombolan wanita yang menggoda nya
"Maukah kau menemaniku malam ini? Aku akan membayarnya dan meminta managermu?"
"Apa kau yakin kau tidak akan melakukan apapun padaku, sesuatu yang--" Bola mata Lia berputar, membuat max seakan mengerti
"Ayolah, aku tidak akan melakukan itu. Aku ini pria yang baik!"
"Aku tak mendengar pria baik mengatakan dirinya baik! Tapi demi uang mu akan ku lakukan untuk malam ini!" Lia mengacungkan telunjuknya "awas kalau kau macam macam!"
"Tentu saja, kau tak akan menyesal!" Max melebarkan senyum matanya melirik sinis ke arah pria di seberang sana. Pria yang tadi menabrak Lia
Pria itu menyadari tatapan tajam max. Dia membuang wajah dan tersenyum sinis. Ada apa Antara mereka?
"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopanSebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini."Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam len
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Lexi mendorong pintu hingga dia bisa masuk menerobos tubuh Max."Lia!!" Teriak Lexi tak percaya mendapati tubuh Lia yang terbaring di ranjang. Mariah dan Max ikut bergabung masuk.Berbeda dengan wajah Max yang datar. Lexi tampak menatap wajah pria itu dengan sorot tajam begitupun bibinya Mariah."Apa, kenapa kalian melihatku seperti tertuduh!" Ujar Max tak terima. Lexi bangkit dari posisi berjongkok di bawah ranjang dan menyeka rambut panjang Lia yang terurai jatuh hingga hampir menyentuh lantai. Shit posisi apa ini!. Sebelum dia membuat perhitungan pada teman barunya, si Maxi. Terlebih dahulu Lexi membetulkan posisi Lia di ranjang. Ya ampun. Bahkan dia memakai pakaian tanpa mengancing penuh pada bagian dadanya. Dengan ragu Lexi menoleh dan membuang wajah. Lexi tak sanggup melihat bagian dada sepupunya yang terbuka itu."Aku tahu itu!" Uja
Jalanan Ohio yang kosong di pagi buta, mobil mewah dengan atap terbuka membuat angin menghembuskan rambut pirang mereka"Apa kau tahu Sekarang pukul berapa?" Mariah menoleh pada Max"Sekarang pukul empat pagi.""Bersyukur sekali kakak belum pulang, kalau tidak habislah kita!""Apa Mama mengatakan sesuatu padamu bi? kenapa dia tidak pulang akhir minggu ini?" Max melepaskan stir sebentar dan menoleh pada bibinya yang duduk santai dengan jok rendah di sebelahnya, Mariah melirik sekilas sambil memijat dahinya, nampaknya dia masih pengar karena alkohol. Wanita itu mengangkat bahu membalas tatapan penuh tanya Max"Aku pikir kau tahu kenapa kakak tidak pulang?" Selidik Mariah"Aku malah tidak tahu" Max memberi tatapan tak mengetahui apapun.Mariah m
Lexi memacu kecepatan motor matic di tangannya, Lia mengeratkan pegangan di pinggang Lexi, seperti keduanya akan terbang tertiup angin. Lexi melaju dengan kecepatan sepeda motornya semaksimal mungkin"Lexi!! Apa kau sudah gila! "Teriak Lia dibalik punggung bidang Lexi"Berpegangan yang eeeeraaattt!!"teriak Lexi semakin memacu kecepatan skuter mereka. pukulan di punggungnya tak dipedulikan, yang Lexi ingat hanyalah wajah ibunya ketika nanti dia akan kecewa karena Lia pulang terlambat malam ini, bukan terlambat! Tepatnya tidak pulang.Setelah memacu kecepatan di jalanan yang lengang akhirnya Lexi menyandarkan skuter di antara tembok sempit antara rumah, di mana mereka tinggal, keduanya mengendap-endap membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat."Lexi, pelankan suara derap kaki mu!" Lia memperingatkan sepupunya. Lexi mengangkat bahu, dia sudah be
Kediaman EdwardoMax dan Mariah cuma bisa tertunduk dan diam melihat tatapan murka di wajah Pauline yang menegang."Jadi ini yang kalian lakukan di belakangku!!" Wajah Pauline merah, menandakan dia menahan semua emosi dan Gejolak di dalam dadanya. Siapa yang tidak akan murka? Siapa yang tidak akan kecewa? Setiap hari Pauline menghabiskan waktu di pertambangan, mengelola proyek, Mengatur keuangan, itulah perjuangannya sebagai seorang nyonya besar Eduardo." Max!! Mama menyuruhmu belajar dengan baik, agar apa! Agar aku bisa duduk santai dan menikmati hari tuaku! " Pauline Setengah berteriak pada max"Aku tak menyangka kalian kompak melakukan ini di belakangku! Maria, seharusnya kau pergi ke kampung dan membantu ayah ibu, apa yang kau lakukan di sini!" Telunjuk Paulin mengarah kepada wajah cantik Mariah, gadis itu hanya bisa tertegun dan menelan ludah."Oke baiklah, tidak ada yang mengerti
Lia tidak fokus bekerja. Tangannya hanya berpura pura sibuk sementara matanya dari tadi mencuri tatap ke depan sana, menembus dinding kaca. Wajah serius Max yang membaca buku dengan telapak tangan mendarat di leher seakan dia memamerkan jam tangan mewah yang melingkar di lengannya.Gadis itu terus menerus membongkar susun stok makanan kaleng di rak. Dia sedang mencari perhatian pria di depan sana. Tapi hari ini Max terlihat begitu serius sampai dia tak menyadari keberadaan Lia di depan sana. Bahkan Lia hapal berapa Mili minuman Max berkurang.Dia tak melihatku! Dia terlalu fokus pada bukunya? Dia bahkan tak bisa melihatku dari sana! Ya ampunSedangkan aku tak bisa sejam pun melupakan ciuman panas malam tadi. Dia membuat aku bermimpi buruk. Aku tak bisa tidur nyanyak jadinya.Batin Lia menggerutu sendiri, membuat gerakannya menghentak hentak.
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita
Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana."Apa yang akan kita lakukan?""Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga."Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!""Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras."Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya."Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tu
Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya."Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri."Lia! Apa kau baik baik saja di sana?""Ya, aku baik"Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana."Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci."Ya" jawab Lia singkat."Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?""Huruf yang tak ada?""Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir."Huruf E?""Bukan""Huruf Y?""Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, se
"Kenapa tak ada satupun yang mendengarku.." lirih Lia dengan sisa perjuangannya. Dia terduduk lemas dengan kemeja basah. Beberapa kali Lia berusaha melompat yang ada dia menimpa keran dan air keran membasahi dirinya.Lia sudah putus asa, dia mengacak ngacak rambutnya yang basah. Basah karena keringat dan air bercampur jadi satu, sudah tak jelas seperti apa penampilannya. Dia hanya ingin keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya. Tak ada yang berubah, kawat penutup ventilasi seakan tak bergerak meski Lia sudah memukul berkali kali.Klik!!Lampu menyala, membuat Lia melonjak bangun.Paaakk!! PAKK!!Lia menggedor pintu sekuat tenaga."Siapapun di sana!! Tolong buka pintunya!!" Teriak Lia lirih."TOLOOONG BUKA PINTUU INII!!" Teriak Lia lirih sekali lagi.----Max melirik jam tangan sudah pukul se