"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?
Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopan
Sebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini.
"Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam lengkap dengan earphone menerima botol minuman.
Di antara staf dengan pakaian lengkap itu, sekilas Lia bisa melihat ada pria yang terbaring di kasur, entahlah dia sedikit ragu karena tak begitu jelas karena dijaga bodyguard berbadan besar tak jauh dari tempat tidurnya. Sepertinya pria itu ditemani beberapa orang wanita seksi. Mungkin seorang pria paruh baya
Gadis itu menggeleng, kenapa.dia harus peduli, dia segera undur diri dan meninggalkan ruang temaram itu. Lia merasa ada pasang mata yang menatap dirinya lekat, tapi dia tidak bisa melihat jelas, kalah karena cahaya lampu yang temaram. Dan suara musik yang mengganggu pendengaran. Lia segera undur diri. Pria di dalam kamar itu tersenyum. Seorang staf membawakan telepon untuknya,
"Jadi Gadis itu yang kau maksud, Aku menyukai tubuhnya! Apakah dia masih murni? Hahahaaa!!" Suara beratnya memecah kebisingan di kamar itu
"Kau memang yang terbaik!!" Suara serak dan berat milik Edward membuat siapa saja yang mendengarnya merinding, entah takut, takjub atau entah lah pokoknya perasaan yang tidak menyenangkan. Suara berat itu seakan penuh dengan keserakahan.
Di lantai bawah, pria dengan jas abu-abu, melonggarkan sedikit kerah leher nya, sepertinya dia cukup tercekik dengan kaos ketat turtleneck yang dia kenakan. Dia mengakhiri panggilan telepon sambil tersenyum, senyuman sinis. Tangannya seakan menggenggam sesuatu sekuat tenaga. Dia memiliki wajah antagonis yang merasa menang.
***
Supervisor menghampiri Lia
"Apa kau sudah mengantar minumannya?" Lia tersenyum sambil mengangguk
"Kau kenakan ini!" Supervisor itu melempar sebuah dress mini, dan Lia sigap menangkapnya.
"Apa ini?" Gadis itu tak mengerti
"Seragammu, kenakanlah!" Lia semakin tak paham. Tapi percuma, tatapan tajam supervisor membuat Lia harus pasrah, Lia melirik sekitar, dan beberapa rekannya.
"Tapi yang lain tidak menggunakannya?" Protes Lia.
"Karena kau akan melayani tamu VVIP kita!" Tegas supervisor tak bisa lagi di bantah.
Lia menghela nafas pasrah, Dia menuju ke kamar mandi. Dan sial sekali ternyata penuh. Gadis itu mendongak, berharap tidak ada seorang pria yang memperhatikan kalau dia berganti pakaian di lorong ini. Sekat antara kamar mandi pria dan wanita. Sialnya setelah dia memakai dress itu, terlalu ketat mungkin, dah dia kesulitan menarik resleting di belakang punggung. Lia sudah berusaha menariknya ke atas namun sia-sia.
"Akkh, Kenapa semuanya menjengkelkan sih malam ini!" Gusar Lia kehabisan kesabaran, dia berusaha sekali lagi. Sepertinya memang kancing belakang itu mengajak perang. Membuat Lia semakin kesal
Tepat saat Lia akan menyerah, sebuah tangan dengan lembut menelusuri punggungnya dan menarik resleting yang macet itu.
"Kau!!" Lia setengah berteriak dan membalik badannya seketika
"Untunglah itu aku. Kalau tidak kau akan membutuhkan banyak waktu untuk menarik kancing pakaian ini" Lia tak merasa senang mendapat bantuan dari sukarelawan tampan di hadapannya.
"Aku bisa melakukannya tanpa mu. Kau seharusnya tidak melakukan itu kepada wanita, bukankah itu bentuk dari pelecehan!" Hardik Lia tak mau menyerah. Dia merasa tak membutuhkan bantuan kecil Max
Max tertawa.
"Ayolah Kau pikir dimana kita sekarang, kalau bukan karena tubuhku memblok posisimu, pasti pria-pria di depan sana sudah menikmati tubuhmu!" Lia menggabungkan alisnya. Menyorot kesal wajah max yang tertawa. Tapi sepertinya max tidak sedang membual.
Lia menyapu pemandangan sekitar, benar saja, beberapa pasang mata segera berpaling ketika Lia bertemu tatap dengan mereka. Jadi banyak yang menatap kearahnya saat tadi mengganti pakaian? Lia seakan mati kutu dengan ucapan max.
"Baiklah kalau begitu aku ucapkan terima kasih" Lia sepertinya terpaksa mengucapkan terima kasih, atau dia hanya terlanjur malu saja.
Maxi mendekat dan berbisik dengan suara seksi di telinga Lia.
"Kenapa kau mengganti pakaian mu, bukankah itu terlalu kecil untuk mu?" Lia sedikit menghindar memberi sedikit jarak di antara tubuh mereka.
"Ya aku setuju dengan ucapanmu kali ini. Tapi supervisor ku menyuruh memakai pakaian ini dan menemani tamu spesial mereka, entahlah!" Jawab Lia bingung.
Max berdecak kesal. Dia sepertinya mengerti siasat apa yang sedang direncanakan pada gadis polos ini.
"Sudahlah lupakan itu!" Ujar max m mbuat Lia tak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"Kau akan dijual oleh bosmu!"
"Apa!!"
"Pakaian itu hanya untuk hostes, untuk yang melayani tamu-tamu penting di sini. Masa kau tidak tahu?" Kesekian kalinya Lia melongo dan terkejut
Lia tak bisa berkata-kata mulutnya menganga besar, matanya melotot. Sekali lagi dia menatap pakaian yang dia kenakan. Benar saja pakaian ketat ini membuat dadanya terangkat dan hampir menyembul. bawahnya berkibar pendek l, memamerkan pahanya yang mulus.
"Lalu apa yang harus aku lakukan. Kau tahu aku bekerja di sini!" Suara Lia terdengar putus asa. Ternyata memang sulit bekerja di bar, pantas saja mereka berani bayar cukup mahal.
"Kau ikuti saja permainan ku!" Pinta max dengan kedipan mata. Lia hanya memasang wajah melongo tak mengerti.
Max menggoda tulang belikat Lia dengan ciuman lembut
"Hei apa yang kau lakukan!" Suara Lia setengah berteriak
"Sudah kukatakan kau ikuti saja permainan ku. Kalau kau ingin selamat!" Max meletakkan jarinya di bibir Lia dan berbisik dengan suara serak menggoda
"Kau sangat cantik dan dirimu sangat menggoda.." bisikan itu membuat Lia melotot marah, hentakan tangan gadis itu jelas protes, dan Max sadar betul itu.
"Aku mengatakannya hanya untuk membantumu!" bisik Max di daun telinga Lia yang seketika merah
'Oh jadi dia melakukan ini hanya untuk membantuku. Apa ini hanya pura-pura? Baiklah. tapi kenapa jantung ini ikut ambil andil, kenapa aku berdebar debar dan semakin kencang saat pria ini semakin mendekat?' batin Lia protes
"Aku mohon jangan terlalu dekat.." sekarang suara Lia terdengar lirih dan memohon, hingga wajahnya terlihat merah dan semakin sensual. Max menelan ludah. Ah, sialan! Max mencoba menguatkan diri
"Kita harus melakukannya agar cara ini akan berhasil, sudah lah Kau pasrah saja!" Pinta max berbisik sekali lagi
"Kau sedang mengerjai ku ya!" Geram Lia tak tahan dengan tatapan tajam nan sensual dari mata gelap max. Max menggeleng
"Tidak, aku serius!" Suara beratnya membuat jantung Lia kian berdebar kencang
Max membelai rambut Lia dengan penuh perasaan. Pria itu membalik tubuh Lia, hingga Gadis itu mepet ke dinding. Mex berdiri tepat di belakang Lia dan mencium belakang leher gadis itu. Benar dugaan Max, pria berjas abu itu tak sedetikpun memalingkan perhatiannya dari Lia
Max dengan lembut menyentuh leher dan rambut Lia, pria itu terus menggoda.
Oh shit! Sentuhan apa ini? Darah Lia seakan mendidih. Membuat dia pasrah, apakah dia sudah mulai menikmati permainan Max. Ah rasanya dia kesulitan menahan nafas dan desahan. Begini saja membuat suhu tubuh Lia naik drastis.
Max membalikkan Lia sekali lagi hingga mereka saling berhadapan. Pria itu mengangkat Lia dalam pelukannya
"Sepertinya kita butuh tempat yang lebih privacy" bisik Max di telinga Lia. Pria itu menarik lengan gadis itu masih dengan tatapan penuh gairah. Mereka keluar dari ruang hingar bingar itu. Tapi sebelumnya, Max melirik sinis ke arah pria yang terus memperhatikan Lia. Dia menang malam ini.
Jelas saja pria itu terlihat kesal dan marah
"SIAAL!!"
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Lexi mendorong pintu hingga dia bisa masuk menerobos tubuh Max."Lia!!" Teriak Lexi tak percaya mendapati tubuh Lia yang terbaring di ranjang. Mariah dan Max ikut bergabung masuk.Berbeda dengan wajah Max yang datar. Lexi tampak menatap wajah pria itu dengan sorot tajam begitupun bibinya Mariah."Apa, kenapa kalian melihatku seperti tertuduh!" Ujar Max tak terima. Lexi bangkit dari posisi berjongkok di bawah ranjang dan menyeka rambut panjang Lia yang terurai jatuh hingga hampir menyentuh lantai. Shit posisi apa ini!. Sebelum dia membuat perhitungan pada teman barunya, si Maxi. Terlebih dahulu Lexi membetulkan posisi Lia di ranjang. Ya ampun. Bahkan dia memakai pakaian tanpa mengancing penuh pada bagian dadanya. Dengan ragu Lexi menoleh dan membuang wajah. Lexi tak sanggup melihat bagian dada sepupunya yang terbuka itu."Aku tahu itu!" Uja
Jalanan Ohio yang kosong di pagi buta, mobil mewah dengan atap terbuka membuat angin menghembuskan rambut pirang mereka"Apa kau tahu Sekarang pukul berapa?" Mariah menoleh pada Max"Sekarang pukul empat pagi.""Bersyukur sekali kakak belum pulang, kalau tidak habislah kita!""Apa Mama mengatakan sesuatu padamu bi? kenapa dia tidak pulang akhir minggu ini?" Max melepaskan stir sebentar dan menoleh pada bibinya yang duduk santai dengan jok rendah di sebelahnya, Mariah melirik sekilas sambil memijat dahinya, nampaknya dia masih pengar karena alkohol. Wanita itu mengangkat bahu membalas tatapan penuh tanya Max"Aku pikir kau tahu kenapa kakak tidak pulang?" Selidik Mariah"Aku malah tidak tahu" Max memberi tatapan tak mengetahui apapun.Mariah m
Lexi memacu kecepatan motor matic di tangannya, Lia mengeratkan pegangan di pinggang Lexi, seperti keduanya akan terbang tertiup angin. Lexi melaju dengan kecepatan sepeda motornya semaksimal mungkin"Lexi!! Apa kau sudah gila! "Teriak Lia dibalik punggung bidang Lexi"Berpegangan yang eeeeraaattt!!"teriak Lexi semakin memacu kecepatan skuter mereka. pukulan di punggungnya tak dipedulikan, yang Lexi ingat hanyalah wajah ibunya ketika nanti dia akan kecewa karena Lia pulang terlambat malam ini, bukan terlambat! Tepatnya tidak pulang.Setelah memacu kecepatan di jalanan yang lengang akhirnya Lexi menyandarkan skuter di antara tembok sempit antara rumah, di mana mereka tinggal, keduanya mengendap-endap membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat."Lexi, pelankan suara derap kaki mu!" Lia memperingatkan sepupunya. Lexi mengangkat bahu, dia sudah be
Kediaman EdwardoMax dan Mariah cuma bisa tertunduk dan diam melihat tatapan murka di wajah Pauline yang menegang."Jadi ini yang kalian lakukan di belakangku!!" Wajah Pauline merah, menandakan dia menahan semua emosi dan Gejolak di dalam dadanya. Siapa yang tidak akan murka? Siapa yang tidak akan kecewa? Setiap hari Pauline menghabiskan waktu di pertambangan, mengelola proyek, Mengatur keuangan, itulah perjuangannya sebagai seorang nyonya besar Eduardo." Max!! Mama menyuruhmu belajar dengan baik, agar apa! Agar aku bisa duduk santai dan menikmati hari tuaku! " Pauline Setengah berteriak pada max"Aku tak menyangka kalian kompak melakukan ini di belakangku! Maria, seharusnya kau pergi ke kampung dan membantu ayah ibu, apa yang kau lakukan di sini!" Telunjuk Paulin mengarah kepada wajah cantik Mariah, gadis itu hanya bisa tertegun dan menelan ludah."Oke baiklah, tidak ada yang mengerti
Lia tidak fokus bekerja. Tangannya hanya berpura pura sibuk sementara matanya dari tadi mencuri tatap ke depan sana, menembus dinding kaca. Wajah serius Max yang membaca buku dengan telapak tangan mendarat di leher seakan dia memamerkan jam tangan mewah yang melingkar di lengannya.Gadis itu terus menerus membongkar susun stok makanan kaleng di rak. Dia sedang mencari perhatian pria di depan sana. Tapi hari ini Max terlihat begitu serius sampai dia tak menyadari keberadaan Lia di depan sana. Bahkan Lia hapal berapa Mili minuman Max berkurang.Dia tak melihatku! Dia terlalu fokus pada bukunya? Dia bahkan tak bisa melihatku dari sana! Ya ampunSedangkan aku tak bisa sejam pun melupakan ciuman panas malam tadi. Dia membuat aku bermimpi buruk. Aku tak bisa tidur nyanyak jadinya.Batin Lia menggerutu sendiri, membuat gerakannya menghentak hentak.
Lia mencoba memaksa menarik handle pintu semampunya, dia sudah mencoba beberapa kali tapi tak berhasil."Siapapun pun di luar sana! Tolong aku!!" lia mencoba berteriak."Bos Bellen!! Boosss!!" lia menaikkan nada suaranya. Dia hampir putus asa menunggu seseorang untuk membuka pintu kamar mandi. Masa tak ada yang menyadari kamar mandi ini terkunci. Kenapa semua orang seakan menghilang. Lia tak habis pikir.Dia bertumpu dengan sebuah kaki, sementara kaki lain mencoba menopang tubuhnya di tembok, kali ini lia akan mengerahkan semua sisa teganya, dia menarik handle pintu dengan mengatup rapat giginya."AAAAKKK!!!" Lia menarik sekuat tenaga hingga mengulang beberapa kali. Tetap tak berhasil. Hingga dia merasa tenaganya sudah habis. Lia bertolak pinggang dan menahan nafasnya yang ngos ngosan."Siapa yang melakuk