Lexi mondar mandir panik di depan kampus ternama kota ini. Gedung dengan arsitektur tinggi berbentuk huruf u dengan kolam dan taman pada bagian depan, sementara gerbang tinggi tertutup sempurna tak bisa dimasuki sembarang orang, termasuk.lexi, pria itu hanya bisa mondar mandir memperhatikan tiap wajah yang membuka pintu mobil untuk men tap kartu mereka di monitor gerbang. Belum juga menemukan wajah yang dia tunggu. Sudah hampir satu jam Lexi gelisah.
Max menurunkan kaca jendela, dia melihat wajah Lexi di depan sana
"Hey! Kau mencari siapa!" Teriak max dari dalam mobil. Lexi segera berlari menghampiri mobil sport max. Wah gila, mata Lexi melotot tak percaya dengan tunggangan mewah max, impiannya! Hanya sebatas impian saja.
"Emh!" Lexi menggaruk.leher belakang, dia ragu ragu.
"Ada apa?" Tanya max heran dengan tingkah Lexi. Pria kemaren ini, apa butuh uang lagi sampai sepagi ini mencari dirinya di kampus. Benarkan? Lexi jelas mencari max. Pria itu turun dari mobil dan membetulkan pakaiannya. Matanya sedikit menyipit entah karena wajah Lexi yang membuatnya heran atau karena silau matahari pagi.
"Sorry, apa kau ada waktu?"
"Katakan saja ada apa?" Max sudah under estimate dengan wajah bingung Lexi.
"Apa kau akan meminta uangmu lagi?" Max mengerutkan dahi.
"Katakan. Aku tidak mempunyai uang lagi untuk mengembalikannya. Aku akan memakai sisa uang untuk ke rumah sakit dan membeli obat!" Max bingung dengan ucapan Lexi.
"Apa kau mabuk?" Lexi bengong mendengar pertanyaan max.
"Ah kau tak mengerti! Aku sedang membicarakan Lia!" Wajah max semakin bingung, dia meraih handle mobil dan bersiap meninggalkan Lexi, waktunya terbuang sia sia.
"Hey, maksudku gadis di mini market!" Max menoleh sekali lagi. Gadis itu?
"Dia ke pub bukan karena suka berpesta,, dia terpaksa datang kesana, jadi kuharap kau sportif ya!"
"Dia bukan wanita yang seperti itu! Kau bisa memegang omonganku!" Max menggeleng tak mengerti. Dia tak bisa memahami tingkah aneh Lexi. Dia masuk ke mobil bersiap meninggalkan Lexi.
"Hey, aku belum selesai!" Teriak Lexi melihat kaca mobil max terus naik.
"Hey, dia hanya bekerja di Merci pub! Dia bukan---"
Bruumm..
Max mengangkat bahu, tapi dia menyimak kalimat terakhir Lexi. Oh, kabar baik. Sampai jumpa di pub. Max tak sadar mengembangkan senyumannya.
"Aku merasa tidak jadi diri sendiri!" Ujar max pada dirinya, dia mentap kartu aksesnya,, dan memutar kemudi.
"Akan menyenangkan malam nanti. Aku jadi tidak sabar!"
"Apa dia akan menjadi seorang hostes? Apa pelayan?" Max tertawa kecil. Dia turun dari mobil
"Hay!" Suara lexa mengejutkan max.
"Kau tersenyum di pagi hari? Apa ada hal baik?" Max mencibir saja
"Katakanlah. Oiya apa kau sudah terima undangan merci?" Max mengangkat bahu
"Ayolah, kita bersenang senang!" Ujar lexa mengacungkan undangan dan max menyimpannya.
"Kita bertemu nanti malam!" Lexa mengangkat telapak tangannya meminta balasan dari tangan max, keduanya berjalan santai dengan senyuman di wajah, sesekali membalas sapaan rekan sejawat mereka.
***
Lexi memperhatikan Lia yang berdandan. Dia sangat percaya jika sepupunya itu terlahir cantik paripurna. Tapi siapa sangka hanya dengan gelungan rapi ponytail dan kaos ketat membuat Lia seribu kali lebih mempesona.
"Aku akan memacarimu jika kau bukan saudaraku!" Ujar Lexi membuat wajah Lia mendengus kesal.
"Bagaimana hasil pemeriksaan bibi?" Tanya Risa mengalihkan topik.
"Seperti biasa, tak stabil. Kau tahu komplikasi akut" Lia menarik nafas dalam
"Kuharap kau lebih perhatian. Apa kau sudah memberikan obat. Sudah waktunya bibi minum obat!" Lexi mengangkat bahu dengan ajah cuek
"Bukankah itu tugasmu!" Lia melirik jam dinding, dia mengangguk mengalah.
"Aku juga harus berpamitan dengan bibi"
"Apa dia tahu kau bekerja di pub?"
"Kau harus merahasiakannya!" Ujar Lia memainkan alisnya.
"Baiklah. Oiya, apa kau akan memakai sepatu itu?" Lia melirik alas kakinya, lalu melempar senyuman pada Lexi.
"Ayolah sayang!" Lexi mengambil sebuah kantong plastik
"Apa itu?"
"Hadiah! Aku membelikan heel untukmu!"
"Yang benar saja!" Lia tak percaya, dia segera melepas sepatu kets kumalnya. Lia mengenakan heel dengan tali di pergelangan kaki hadiah dari Lexi.
"Ini cantik sekali!" Puji Lia
"Tentu saja!" Lexi bangga "setidaknya aku harus membagi sedikit denganmu!" Lia mengerutkan dahi tak mengerti.
"Baiklah, aku harus ke kamar bibi!" Lexi mengangguk. Dia membuka kaosnya dan memamerkan otot kekarnya.
"Wah, kau tambah keren saja!" Puji rllia menggamit kasar otot bisep Lexi.
"Apa kau tertarik?" Goda Lexi. Lia tersenyum dan mengedipkan mata.
"Tidak sama sekali!" Lia terkekeh dan meninggalkan Lexi. Begitu pula dengan pria itu. Dia segera masuk ke kamar mandi.
"Mari kita berpesta!" Ujar Lexi bersemangat.
**
Kediaman mewah Edwardo
Mariah sudah mengenakan dress seksi dengan resleting gold melintasi tubuhnya, ya, dari pangkal paha hingga ke tengah dada. Gadis itu menggunakan dress sequin dan Stiletto pelengkap penampilan.
Max mengetuk pintu, Mariah membukakan pintu. Keponakannya bersandar pada daun pintu meneliti penampilan totalitas Mariah. Max mengangkat kedua tangannya dan memamerkan deretan gigi.
"Apa bibi akan pentas disana?" Mariah mencibir.
"Kau akan mengenakan dress mini ini dari sini?" Tanya max tak percaya
"Apa bagus?" Mariah berputar putar. Max mengangguk saja tak banyak komentar.
"Saranku sebaiknya bibi tambahkan long Coat atau jaket, kau akan masuk angin bi!"
"Konyol!" Protes Mariah mencibir lagi.
"Aku serius!"
"Ayolah max! Tidak ada yang masuk angin ketika menikmati gelas alkohol mereka!" Max hanya mengangkat bahu terserah
"Aku tak menyangka ibumu tak pulang!" Max mengangguk setuju.
"Apa dia terlalu sibuk di pertambangan?"
"Aku rasa seperti itu!"
"Kenapa wanita harus bekerja keras dan membiarkan suaminya di rumah. Harusnya kakak bersenang senang seperti kita!" Keluh Mariah dengan wajah kecewa.
"Kau tahu mana sangat mencintai harta dan pekerjaanya"
"Tentu saja, dia sudah berjuang sejak kecil. Dia tak akan siap meninggalkan semuanya!" Max mengangguk setuju.
"Kalian akan kemana?" Suara berat Edward mengejutkan. Max dan Mariah kompak menoleh.
"Eh, kau mengejutkan saja kakak ipar!" Ujar Mariah menyentuh pundak Edward, pria itu memasang tatapan tajam dan membuat Mariah menarik tangannya.
"Kami akan ke pub!" Ujar max, Edward mengangguk saja. Matanya menyoroti undangan di tangan Mariah. Mercj! Baiklah. Edward melebarkan senyum
"Selamat bersenang senang untuk kalian!" Ujar Edward mengangkat tangan mengucapkan selamat malam.
"Papa tidak apa sendiri di rumah?" Max sedikit khawatir
"Tentu saja, papa sudah biasa!"
"Baiklah kalau begitu, kami pergi dulu!" Max mencium papanya diikuti Mariah. Edward berusaha menahan tangannya agar tak memukul gemas bokong Mariah. Ah dia sangat seksi dan menghoda. Tapi Edward memasang wajah cool dan tenang.
Max dan Mariah saling bergandengan, keduanya melangkah santai meninggalkan rumah. Edward menatap punggung kedua anggota keluarganya dengan sorot tajam. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku.
"Hallo, Edwardo disini. Sebuah ruang VVIP di pub Merci dan semua butterfly terbaikmu!" Ucap Edward tegas. Dia menjentikkan jari. Seorang pelayan memakaikan jas dan menyerahkan kontak mobil.
"Ah tunggu, kita masih ada waktu!" Edward meraih pergelangan tangan pelayannya, mendesak mundur wanita itu hingga merapat ke tembok.
"Apa kau siap lembur?" Tatapan tajam Edward membuat pelayan itu ragu harus mengangguk atau menggeleng. Dia memilih mengangguk dan patuh.
"Sayang sekali!" Dia melempar pelayan itu hingga terduduk di lantai.
"Aku sedang tak berminat denganmu!" Edward menyapu bahu jasnya seakan membuang sisa sentuhan pelayannya yang meringis di lantai. Pria itu melangkah dengan gagah, meninggalkan rumah menyusul dua orang tadi.
"Siapkan pemandian dan hiasi kamarku malam ini! Siapa tahu aku menemukan pelayan terbaik esok hari!"
"Ah, sial!" Lia mencoba menyalakan scooternya dan tak bisa. Dia terlihat kesal dan melepaskan helm. Lia menepikan scooternya dan menyetop taksi."Uang ekstra tak terduga lagi!" kesal Lia.Baru Hari pertama kerja tapi sepertinya Lia akan terlambat."Aku harus buru-buru atau pekerjaanku akan gagal!" Rok yang dikenakan Lia cukup mengganggu penampilannya. Sialan seragam ini! Belum lagi heel, oh Tuhan semua serasa menyiksa. Lia mencoba menenangkan diriLia tinggal di pinggiran kota dan lumayan cukup jauh, akan memakan waktu untuk menjangkau lokasi pub di pusat kota"Bagaimanapun juga, aku harus bekerja dan aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ku! aku membutuhkan banyak uang. Aku ingin kuliah, mengobati bibi, menjenguk mama dan melakukan banyak hal!" Lia mengepalkan tangan, mengumpulkan semangatnya. Untuk perta
"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopanSebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini."Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam len
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Lexi mendorong pintu hingga dia bisa masuk menerobos tubuh Max."Lia!!" Teriak Lexi tak percaya mendapati tubuh Lia yang terbaring di ranjang. Mariah dan Max ikut bergabung masuk.Berbeda dengan wajah Max yang datar. Lexi tampak menatap wajah pria itu dengan sorot tajam begitupun bibinya Mariah."Apa, kenapa kalian melihatku seperti tertuduh!" Ujar Max tak terima. Lexi bangkit dari posisi berjongkok di bawah ranjang dan menyeka rambut panjang Lia yang terurai jatuh hingga hampir menyentuh lantai. Shit posisi apa ini!. Sebelum dia membuat perhitungan pada teman barunya, si Maxi. Terlebih dahulu Lexi membetulkan posisi Lia di ranjang. Ya ampun. Bahkan dia memakai pakaian tanpa mengancing penuh pada bagian dadanya. Dengan ragu Lexi menoleh dan membuang wajah. Lexi tak sanggup melihat bagian dada sepupunya yang terbuka itu."Aku tahu itu!" Uja
Jalanan Ohio yang kosong di pagi buta, mobil mewah dengan atap terbuka membuat angin menghembuskan rambut pirang mereka"Apa kau tahu Sekarang pukul berapa?" Mariah menoleh pada Max"Sekarang pukul empat pagi.""Bersyukur sekali kakak belum pulang, kalau tidak habislah kita!""Apa Mama mengatakan sesuatu padamu bi? kenapa dia tidak pulang akhir minggu ini?" Max melepaskan stir sebentar dan menoleh pada bibinya yang duduk santai dengan jok rendah di sebelahnya, Mariah melirik sekilas sambil memijat dahinya, nampaknya dia masih pengar karena alkohol. Wanita itu mengangkat bahu membalas tatapan penuh tanya Max"Aku pikir kau tahu kenapa kakak tidak pulang?" Selidik Mariah"Aku malah tidak tahu" Max memberi tatapan tak mengetahui apapun.Mariah m
Lexi memacu kecepatan motor matic di tangannya, Lia mengeratkan pegangan di pinggang Lexi, seperti keduanya akan terbang tertiup angin. Lexi melaju dengan kecepatan sepeda motornya semaksimal mungkin"Lexi!! Apa kau sudah gila! "Teriak Lia dibalik punggung bidang Lexi"Berpegangan yang eeeeraaattt!!"teriak Lexi semakin memacu kecepatan skuter mereka. pukulan di punggungnya tak dipedulikan, yang Lexi ingat hanyalah wajah ibunya ketika nanti dia akan kecewa karena Lia pulang terlambat malam ini, bukan terlambat! Tepatnya tidak pulang.Setelah memacu kecepatan di jalanan yang lengang akhirnya Lexi menyandarkan skuter di antara tembok sempit antara rumah, di mana mereka tinggal, keduanya mengendap-endap membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat."Lexi, pelankan suara derap kaki mu!" Lia memperingatkan sepupunya. Lexi mengangkat bahu, dia sudah be
Kediaman EdwardoMax dan Mariah cuma bisa tertunduk dan diam melihat tatapan murka di wajah Pauline yang menegang."Jadi ini yang kalian lakukan di belakangku!!" Wajah Pauline merah, menandakan dia menahan semua emosi dan Gejolak di dalam dadanya. Siapa yang tidak akan murka? Siapa yang tidak akan kecewa? Setiap hari Pauline menghabiskan waktu di pertambangan, mengelola proyek, Mengatur keuangan, itulah perjuangannya sebagai seorang nyonya besar Eduardo." Max!! Mama menyuruhmu belajar dengan baik, agar apa! Agar aku bisa duduk santai dan menikmati hari tuaku! " Pauline Setengah berteriak pada max"Aku tak menyangka kalian kompak melakukan ini di belakangku! Maria, seharusnya kau pergi ke kampung dan membantu ayah ibu, apa yang kau lakukan di sini!" Telunjuk Paulin mengarah kepada wajah cantik Mariah, gadis itu hanya bisa tertegun dan menelan ludah."Oke baiklah, tidak ada yang mengerti
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita
Kedua pemuda mengendap endap dengan mata berjaga. Mereka membuka ruang instalasi kelistrikan di belakang gedung, sebuah kamar dengan pintu baja. Keduanya cukup kesulitan sampai akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan ada banyak benda asing di dalam sana."Apa yang akan kita lakukan?""Sssrtt.. kecilkan suaramu, ini adalah hal paling bagus untuk pertunjukan kita!" Keduanya terdengar berunding dengan wajah siaga."Kau tahu, anak seni akan menggelar pagelaran, dan mereka menghabiskan waktu di ruang praktek. Tugas tak akan selesai jika listrik mati!""Kau gila ya! Bagaimana mungkin kita menyabotase listrik!" Temannya menepis tangan yang satu lagi, jelas mereka punya ekspresi wajah kontras."Kau ingin lihat mantanmu menceritakan!" Dia mengangguk pasrah dengan kalimat rekannya."Ya, tapi--" bukan hanya ragu dengan perbuatan mereka, dia juga ragu dengan banyak tu
Sudah pukul sebelas malam. Max masih berkutat dengan kunci di tangannya."Kenapa Bellen menyimpan semua kunci menjadi satu seperti ini!" Kesal Max mendumal dengan diri sendiri."Lia! Apa kau baik baik saja di sana?""Ya, aku baik"Suara Lia sudah terdengar tenang. Max cukup mencekam keadaan Lia. Dia saja sudah tak sabar lagi, apalagi Lia di dalam sana."Lia, apa kau ingin mendengar tebak tebakan?" Max mencari topik pembicaraan, sambil menyelesaikan sisa anak kunci."Ya" jawab Lia singkat."Dari a, b, c, d sampai z huruf apa yang tak ada?""Huruf yang tak ada?""Iya" Lia diam sejenak. Mungkin sedang berpikir, atau sedang malas berpikir."Huruf E?""Bukan""Huruf Y?""Tidak.." hening lagi. Max menanti jawaban Lia, se
"Kenapa tak ada satupun yang mendengarku.." lirih Lia dengan sisa perjuangannya. Dia terduduk lemas dengan kemeja basah. Beberapa kali Lia berusaha melompat yang ada dia menimpa keran dan air keran membasahi dirinya.Lia sudah putus asa, dia mengacak ngacak rambutnya yang basah. Basah karena keringat dan air bercampur jadi satu, sudah tak jelas seperti apa penampilannya. Dia hanya ingin keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya. Tak ada yang berubah, kawat penutup ventilasi seakan tak bergerak meski Lia sudah memukul berkali kali.Klik!!Lampu menyala, membuat Lia melonjak bangun.Paaakk!! PAKK!!Lia menggedor pintu sekuat tenaga."Siapapun di sana!! Tolong buka pintunya!!" Teriak Lia lirih."TOLOOONG BUKA PINTUU INII!!" Teriak Lia lirih sekali lagi.----Max melirik jam tangan sudah pukul se