Seperti hari hari lainnya, Lexi pulang sangat terlambat malam ini. Sudah hampir tengah malam. Lia bersandar pada palang pintu menahan kantuk, dan tangan terlipat di dada. Saat Lexi mendekat bau alkohol menyeruak membuat Lia mual. Tatapan gadis itu penuh kemarahan.
"Hallo cantik!" Goda Lexi seperti biasanya, dia menggamit dagu Lia dan melengos masuk. Lia memutar badannya menatap punggung Lexi yang bidang.
"Lexi, apa kau tidak lelah!" Gusar Lia kesal.
"Apa!" Lexi mengangkat bahu mendengar nada sumbang sepupunya.
"Ayolah Lexi, carilah pekerjaan dan cukup bersenang senangnya!" Suara Lia berubah lirih seperti memohon.
"Maaf sayang. Rumah ini terlalu sempit dan bau. Mama terlalu ringkih dan lelah. Papa tak kunjung pulang. Lalu bagaimana aku mau bahagia?"
Lia menggeleng
"Kau harus menikmati masa mudaku Lia! Cukuplah mencari uang dan bersenang senanglah! Kau bukan robot!" Kalimat Lexi ketus tapi ada benarnya.
"Kau bekerja di minimarket, kau mencari sambilan kesana kesini" Lexi mulai mengoceh dengan nafas bau alkohol.
"Kau pikir dengan kau pergi ke kampus akan memperbaiki nasib kita!" Tatapan Lexi berubah sendu. Lia mengambil duduk di sebelah Lexi, diatas sofa butut mereka.
"Lex, setidaknya bersenang senanglah dengan jalan yang baik." Lia menepuk paha Lexi, celana jeans kumalnya seakan menghempaskan debu jalanan.
"Eh, aku dapat banyak uang hari ini! Apa kau mau membeli sedikit kosmetik?" Lexi menatap wajah sepupunya. "Kau membutuhkan pulasan makeup" mata Lexi seakan membujuk "setidaknya belilah pencuci wajah yang cukup terkenal!" Lia menghela nafas berat.
"Kau dapat uang darimana?" Lexi hanya menjawab dengan wajah penuh misteri.
"Kalau begitu belilah obat untuk bibi, dan bawa dia kontrol ke rumah sakit!" Lia bangkit dari sofa, dia meraih buku dan meninggalkan Lexi. Pria itu mengangkat bahu.
"Baiklah Lia sayang!" Ujarnya menurut lalu merebahkan punggung. Tangannya meraba meja, mengharap ada air minum sisa dia kemarin malam. Tapi apa ini?
Lexi menangkap sebuah name tag, dan mengerutkan dahi ketika tulisannya jelas terbaca.
"Lia!" Lexi menyusul langkah Lia ke kamarnya.
"Apa?" Cemberut Lia. "Suaramu bisa membuat tetangga marah" bisik Lia mengingatkan.
"Apa ini?" Lexi mengangkat name tag milik Lia, gadis itu segera menyambar cepat.
"Hampir saja, aku lupa!" Lia menyimpan name tag nya. Lexi mendorong pelan bahu Lia.
"Apa maksudnya itu?" Mata Lexi mencari jawaban.ia melangkah tak peduli
"Kenapa?-- bukankah kau selalu memaksaku ke pub itu!" Lexi bingung harus mengangguk atau menggeleng, masalahnya tidak untuk kali ini
"Apa maksud name tag itu?" Lexi menginginkan jawaban jelas.
"Kau harusnya senang dong! Kenapa wajahmu begitu!"
"Jelaskan saja!" Potong Lexi tak sabar
"Aku bekerja disana!"
"APA!!" Lia menghela nafas lagi
"Sudah kubilang pelankan suaramu!"
"Apa maksudnya kau bekerja disana!" Lexi mendorong lagi pundak Lia.
"Kau kenapa sih!" Lia menjadi kesal.
"Kau kan anti ke pub, bagaimana mungkin kau bekerja disana!" Lia mengangkat bahu
"Aku butuh uang Lexi! Dan mereka butuh pelayan tambahan!"
"Kau--" Lexi kehabisan kata kata.
"Sudah malam, aku harus menghafal dan tidur. Kau juga!" Lexi memijat lehernya yang tidak pegal. Dia berusaha berpikir dengan bertaruh pada efek alkohol
Lia menutup pintu kamarnya. Lexi kembali ke sofa dengan wajah bingung.
"Pria yang memberiku uang pasti akan protes melihat Lia di pub!" Lexi tak habis pikir "akan gawat kalau dia meminta uangnya kembali!" Lexi menggigit ujung kuku jempolnya dan mulai berbaring dengan tatapan penuh beban.
"Bahkan aku sudah menghabiskan separuh uangnya!" Lexi mengganti posisi tapi pikirannya tetap sama.
"Ayo pikirkan sesuatu Lexi!!"
***
Sarapan mewah keluarga Edwardo, pelayan berbaris rapi dengan pakaian maid berenda. Hidangan di atas meja berukuran lebar dua meter dengan panjang tiga kali lebarnya.
Tuan Edwardo memimpin di posisi depan
Max meraih kursinya dan bergabung, Mariah melebarkan senyum melihat wajah cerah keponakannya.
"Hay Maxi, sesuatu terjadi padamu!" Goda Mariah
"Apa!" Max menaikkan alis
"Apa apaan senyum yang kau sembunyikan itu, apa kau sedang jatuh cinta?" Godaan Mariah membuat max menggeleng, dia tersenyum kecil.
"Ehm!" Edward berdem mengejutkan Mariah dan max, keduanya segera duduk tenang dan mulai menikmati santapan.
"Mariah, bagaimana dengan bisnismu?" Tanya Edward dengan suara beratnya. Mariah hanya membalas dengan senyum kecil.
"Tak begitu baik kakak ipar. Aku rasa ekonomi dunia memang sedang buruk!" Mariah mengangkat tangannya tak percaya dengan perkembangan buruk usaha yang dia jalani.
"Katakan jika kau butuh bantuan atau apapu itu!" Edward menyapu bibirnya dengan sudut jempol, tatapannya menggerayangi tubuh iparnya yang hari jni mengenakan tanktop crop top dan celana pendek dengan sayatan kasar di paha.
"Terima kasih kak, aku pasti akan mengatakan jika aku butuh bantuan. Tapi kali ini aku butuh bantuanmu!" Maria menatap max penuh harap. Ponakannya itu mengangkat bahu tak mengerti.
"Apa!" Tuding max tak mengerti arti tatapan Mariah.
"Bisa kita bicara sesaat setelah sarapan!" Max mengangguk. Mariah menunggu max menyelesaikan santapannya. Edward tak sekalipun berpaling dari wajah Mariah, hatinya terus saja berbisik dan membujuk tapi Edward hanya bisa menahan semua gejolak di dadanya.
Tiga orang pelayan keluarga melirik wajah Edward, dan merasa kesal. Tapi mereka menyimpannya.
Max akhirnya selesai juga, dia dan Mariah pergi ke ruangan lain meninggalkan Edward, mata tajam Edward terus mengikuti gerakan belakang Mariah, dia menelan ludah terus menerus, sangat menikmati pentas paginya.
Matanya beralih pada tiga orang pelayan muda yang dari tadi memperhatikannya.
"Kau, segera ke ruang kerjaku!" Edward menunjuk salah satunya. Senyumannya mengembang meninggalkan dua orang lain yang masih merengut. Edward melangkah meninggalkan meja makan. Dia bersiap untuk bekerja, ya bekerja!
Di ruangan keluarga Edwardo
Mariah mendekatkan bibirnya pada telinga max, dengan berjinjit.
"Maxi, akhir pekan kau harus menemani bibimu ini ke pub Merci ya!" Max menjauhkan kepala.
"Kenapa? Bibi bisa pergi dengan Daniel kan!"
"Ssst!!" Sergah mariah dengan wajah kesal "kecilkan suaramu!"
"Kau tahu kakakku akan pulang weekend ini! Dia mana mungkin akan mengijinkan aku kencan dengan daniel!"max mengangkat bahu.
"Kau harus putus dengan pria itu!"
"Enak saja!" Protes Mariah.
"Kau harus membantuku!"
"Caranya?" Seperti dugaan, max memang ponakan terbaik di dunia ini. Pria ini memiliki hati yang hangat dan suka membantu siapapun.
"Katakan pada ibumu, kau membutuhkan aku untuk acara kursusmu!" Max memasang senyum sinis.
"Kau tak mau!" Protes Mariah. Max melebarkan senyum
"Baiklah!" Ujarnya sedikit terpaksa. Mariah melangkah riang meninggalkan max yang bersiap ke kampus dengan setelan ala bangsawannya. Gucci man!
Max menggelengkan kepala pelan. Bibinya itu masih saja sama, berapa sih usianya! Mereka seakan teman sebaya saja.
"Tunggu, pub Merci?" Max mengingat sesuatu, dia mentautkan alis.
"Ah, dia tidak akan datang!" Gumam max dengan wajah kecewa.
"Setidaknya aku akan menemani bibi dan menikmati malam panjang disana!"
****
Di ruang kerja Edwardo
"Tuan Edward!" Suaranya lirih
"Tolong tuan, aku butuh dirimu, lakukan semuanya padaku, lakukanlah!" Rengek si pelayan dengan borgol di tangannya. Dia seakan sedang memohon di ujung kaki Edward. Pria itu menyeringai.
Lexi mondar mandir panik di depan kampus ternama kota ini. Gedung dengan arsitektur tinggi berbentuk huruf u dengan kolam dan taman pada bagian depan, sementara gerbang tinggi tertutup sempurna tak bisa dimasuki sembarang orang, termasuk.lexi, pria itu hanya bisa mondar mandir memperhatikan tiap wajah yang membuka pintu mobil untuk men tap kartu mereka di monitor gerbang. Belum juga menemukan wajah yang dia tunggu. Sudah hampir satu jam Lexi gelisah.Max menurunkan kaca jendela, dia melihat wajah Lexi di depan sana"Hey! Kau mencari siapa!" Teriak max dari dalam mobil. Lexi segera berlari menghampiri mobil sport max. Wah gila, mata Lexi melotot tak percaya dengan tunggangan mewah max, impiannya! Hanya sebatas impian saja."Emh!" Lexi menggaruk.leher belakang, dia ragu ragu."Ada apa?" Tanya max heran dengan tingkah Lexi. Pria kemaren ini, apa bu
"Ah, sial!" Lia mencoba menyalakan scooternya dan tak bisa. Dia terlihat kesal dan melepaskan helm. Lia menepikan scooternya dan menyetop taksi."Uang ekstra tak terduga lagi!" kesal Lia.Baru Hari pertama kerja tapi sepertinya Lia akan terlambat."Aku harus buru-buru atau pekerjaanku akan gagal!" Rok yang dikenakan Lia cukup mengganggu penampilannya. Sialan seragam ini! Belum lagi heel, oh Tuhan semua serasa menyiksa. Lia mencoba menenangkan diriLia tinggal di pinggiran kota dan lumayan cukup jauh, akan memakan waktu untuk menjangkau lokasi pub di pusat kota"Bagaimanapun juga, aku harus bekerja dan aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ku! aku membutuhkan banyak uang. Aku ingin kuliah, mengobati bibi, menjenguk mama dan melakukan banyak hal!" Lia mengepalkan tangan, mengumpulkan semangatnya. Untuk perta
"Kenapa juga aku harus menemani tamu ini?" Gerutu Lia kesal. Dia menghentak hentakkan kaki menaiki anak tangga. Tentu sjaa dia mengeluh, bukankah bukan tugas dia melayani kamar VVIP?Lia membawa sebotol wine mahal di tangannya. Naik ke lantai atas. Bukan lagi ruangan kaca seperti VIP sebelumnya. Ruangan ini sedikit lebih privasi. Lia menekan bel dan seseorang dari dalam membukakan pintu. Gadis itu melangkah ragu-ragu sambil menundukkan kepala sopanSebuah ruangan yang dilengkapi oleh sofa lengkap, kamar tidur berukuran king size, di atasnya menggantung lampu kristal. Meja kecil dengan lampu hias. Lukisan abstrak di dinding. Lia menyapu tatap keadaan sekitar. cahaya temaram membuat Gadis itu seakan merinding ketika kakinya menginjak pertama kali ke ruangan ini."Apakah kau yang bernama Lia?" Gadis itu mengangguk dan menyerahkan wine, dua orang staf berpakaian serba hitam len
Max membawa Lia ke pekarangan samping club'. Sebuah bangku dengan rimbun bunga warna warni dan cahaya lampu hias."Kenapa semua ini bisa terjadi sih!" Gerutu Lia kesal pada diri sendiri, max hanya tersenyum tipis dan mempersilahkan Lia duduk lebih dulu, gadis itu masih terlihat tegang dan kesal."Kau tunggu disini dulu, aku akan beli minuman" ujar max, Lia tak menoleh lagi. Dia langsung mengangguk saja. Kedua tangannya menyeka kasar pangkal rambut panjangnya yang bergelombang.Lia duduk sendirian di kursi kayu di taman, tak jauh dari hingar bingar suasana di dalam. Mengharap max cepat kembali karena tenggorokannya sangat haus.Lia berdiri dengan kesal, seakan gejolak di dada membuatnya merasa kecewa menyadari apa yang max katakan memang masuk akal. Jadi manager, supervisor, mereka biasa menjual pelayan pelayan mereka? Lia sulit percaya. Dia mera
Edward merapikan piyama sutranya dan merebahkan diri di kursi besar seperti singgasana kerajaan, pada sisi kiri kanan dua gadis dengan pakaian minim memijit pundaknya. Seorang lagi mengulurkan cerutu dan menyalakan korek pada tobacco yang dijepit bibir Edward."Maaf tuan, anak mu mengacaukan rencana"Fiuuh.. asap mengepul di antara temaram ruangan, Edward tertawa sinis."Maksudmu Maximilian?" Pria itu mengangguk"Apa mereka berhubungan?" Pria di hadapan Edward kali ini ragu harus mengangguk atau menggeleng."Kenapa kau bilang dia masih murni dan polos tapi ternyata putraku malah sudah merasakannya" tatapan tajam Edward membuat pria yang berdiri di hadapan itu menelan ludah pahit. Dia terjebak dengan rencana dan kalimatnya sendiri."Sudahlah, lupakan gadis itu jika max me
Lexi mendorong pintu hingga dia bisa masuk menerobos tubuh Max."Lia!!" Teriak Lexi tak percaya mendapati tubuh Lia yang terbaring di ranjang. Mariah dan Max ikut bergabung masuk.Berbeda dengan wajah Max yang datar. Lexi tampak menatap wajah pria itu dengan sorot tajam begitupun bibinya Mariah."Apa, kenapa kalian melihatku seperti tertuduh!" Ujar Max tak terima. Lexi bangkit dari posisi berjongkok di bawah ranjang dan menyeka rambut panjang Lia yang terurai jatuh hingga hampir menyentuh lantai. Shit posisi apa ini!. Sebelum dia membuat perhitungan pada teman barunya, si Maxi. Terlebih dahulu Lexi membetulkan posisi Lia di ranjang. Ya ampun. Bahkan dia memakai pakaian tanpa mengancing penuh pada bagian dadanya. Dengan ragu Lexi menoleh dan membuang wajah. Lexi tak sanggup melihat bagian dada sepupunya yang terbuka itu."Aku tahu itu!" Uja
Jalanan Ohio yang kosong di pagi buta, mobil mewah dengan atap terbuka membuat angin menghembuskan rambut pirang mereka"Apa kau tahu Sekarang pukul berapa?" Mariah menoleh pada Max"Sekarang pukul empat pagi.""Bersyukur sekali kakak belum pulang, kalau tidak habislah kita!""Apa Mama mengatakan sesuatu padamu bi? kenapa dia tidak pulang akhir minggu ini?" Max melepaskan stir sebentar dan menoleh pada bibinya yang duduk santai dengan jok rendah di sebelahnya, Mariah melirik sekilas sambil memijat dahinya, nampaknya dia masih pengar karena alkohol. Wanita itu mengangkat bahu membalas tatapan penuh tanya Max"Aku pikir kau tahu kenapa kakak tidak pulang?" Selidik Mariah"Aku malah tidak tahu" Max memberi tatapan tak mengetahui apapun.Mariah m
Lexi memacu kecepatan motor matic di tangannya, Lia mengeratkan pegangan di pinggang Lexi, seperti keduanya akan terbang tertiup angin. Lexi melaju dengan kecepatan sepeda motornya semaksimal mungkin"Lexi!! Apa kau sudah gila! "Teriak Lia dibalik punggung bidang Lexi"Berpegangan yang eeeeraaattt!!"teriak Lexi semakin memacu kecepatan skuter mereka. pukulan di punggungnya tak dipedulikan, yang Lexi ingat hanyalah wajah ibunya ketika nanti dia akan kecewa karena Lia pulang terlambat malam ini, bukan terlambat! Tepatnya tidak pulang.Setelah memacu kecepatan di jalanan yang lengang akhirnya Lexi menyandarkan skuter di antara tembok sempit antara rumah, di mana mereka tinggal, keduanya mengendap-endap membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat."Lexi, pelankan suara derap kaki mu!" Lia memperingatkan sepupunya. Lexi mengangkat bahu, dia sudah be