Share

Pertemuan Kedua

last update Last Updated: 2022-01-28 13:35:27

"Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.

***

"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar.

"Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu.

"Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"

Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air.

"Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.

Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya.

"Serius, Man?" tanyanya.

"Ya, saya juga syok, Pak. Sampai-sampai, saya jadi bingung bagaimana cara menghadapinya,” jawab Aiman. Wajah kuyunya menunjukkan betapa berat beban pikirannya saat ini.

"Coba ceritakan dari awal biar saya paham. Siapa tahu, saya bisa bantu,” tawar bapak satu anak itu.

Aiman menceritakan kisah hidupnya bersama sang ibu. Ibunya selalu bercerita kalau ayahnya sudah meninggal saat ia menanyakan di mana ayahnya. Ia tak pernah bertanya lagi sejak terakhir ia menangis karena diledek teman-temannya karena ia tak punya ayah.

Saat itu, Ibunya memeluknya sambil berkata, "Nak, maafkan ibu yang belum bisa melindungi kamu dari cercaan teman-temanmu. Yang kuat ya, Nak. Kamu tahu, kan, kalau Nabi Isa 'alaihis salam juga tidak punya ayah. Tapi Allah tidak menjadikannya hina karena itu,” tukas ibunya saat itu. Ibunya lalu menceritakan kisah Nabi Isa dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi w* Sallam.

Aiman merasa tertipu karena ternyata ia masih memiliki ayah. Ia sempat marah kepada ibunya karena menyembunyikan kenyataan. Namun, amarah hanya akan memperkeruh suasana dan tidak akan menyelesaikan masalah.

"Sekarang, saya lagi menata hati, Pak. Bagaimana saya harus bersikap kalau bertemu Airin. Sedangkan, skripsinya di bawah bimbingan saya. Itu artinya, saya akan lebih sering ketemu dia.” Aiman menghela nafas berat.

"Ya, usahakan sih, kalau di kampus tetap profesional saja. Toh, kalian bakal ketemu di kampus saja, kan?" tanya Jaka.

Aiman mengangguk mengiyakan. Ia juga berpikiran sama dengan apa yang diucapkan Jaka kepadanya. Biar bagaimanapun, ia harus mempertahankan profesionalitasnya sebagai dosen.

"Kemarin, Ayahnya Airin ketemu saya, Pak. Beliau minta saya buat terjun di perusahaannya,” jawab Aiman.

"Wah, bakal pensiun dini jadi dosen, nih,” seloroh Jaka.

Aiman tertawa singkat, “saya masih pikir-pikir, Pak. Banyak banget hal yang harus saya pertimbangkan. Ditambah, saya masih harus menata hati saya buat menghadapi kenyataan yang terjadi,” tukasnya.

"Apapun, Man. Selalu dekati Allah buat setiap permasalahan. Hadapi semua dengan meminta kekuatan sama Allah yang Maha Kuat. Biar kamu bisa menghadapi dengan kekuatan Allah. Tidak ada manusia yang diuji tanpa kekuatan yang mengiringi,” ujar Jaka sambil menepuk pundak Aiman pelan, “satu lagi. Saat ini, satu kenyataan sudah terungkap bahwa Airin adalah adikmu. Dekati dia sebagaimana seorang kakak kepada adiknya. Minta Allah buat terus menjaga perasaan kamu agar tidak menjadi sesuatu yang berlebih,” lanjutnya.

Aiman tersenyum, “terima kasih banyak, Pak. Mohon bantu doanya ya, Pak. Semoga Allah menguatkan saya,” ujarnya.

Perlahan, perasaan yang membebani mulai sedikit berkurang. Setelah bercerita dengan Jaka, ia merasa telah membagi beban di pundaknya kepada sahabatnya itu. Ia bersyukur dengan keberadaan Jaka di dekatnya.

“Tentu, Man. Kamu sahabat saya. Saya selalu inginkan yang terbaik buat kamu,” ujar Jaka tulus.

***

“Assalamualaikum,” ucap Aiman. Ia memasuki ruang kelas dengan perasaan yang begitu gugup. Ini jadi pertemuan pertamanya dengan Airin sejak ia datang ke rumahnya. Ia lalu mengabsen seluruh kelas.

Ketika disebutkan nama Airin, seluruh kelas terdengar kasak-kusuk. Telinganya bisa menangkap beberapa obrolan yang mencatut namanya dan Airin. Ia mendengkus, lalu berdehem keras. Kelas kembali hening.

Sepanjang mata kuliah, matanya beberapa kali menangkap wajah Airin begitu sendu menatapnya. Hatinya berdebar. Ia mengakui, keberaniannya mengambil keputusan untuk ta’aruf memang dikarenakan ia mendengar dari kawannya yang merupakan suami dari murobbiah Airin kalau Airin telah mengajukan ta’aruf.

Bak gayung bersambut. Airin ternyata juga memiliki perasaan yang sama kepadanya. Namun, ia harus berusaha sekuat tenaga menjaga nama baiknya sebagai seorang dosen karismatik di hadapan mahasiswanya. Ia tak ingin tampak patah hati, namun di sisi lain, ia juga tidak ingin menyakiti hati Airin.

“Baik, boleh saya minta tolong kumpulkan tugas kalian?” tanya Aiman, “ini ada contoh penyajian data statistik yang dibuat menjadi tabel dan grafik. Silakan kerjakan tugas yang saya berikan di halaman dua ratus lima puluh delapan. Tugas sebelumnya tolong kumpulkan kepada Jalu biar saya koreksi di sini,” pungkasnya.

Seorang mahasiswa mengangkat tangannya. Aiman mengangguk, “Pak, saya mau bertanya. Tapi masalah pribadi, boleh?” tanya sang mahasiswa lugas.

Aiman menghembuskan nafasnya berat. Matanya menangkap wajah Airin yang pias, “silakan. Sepertinya ada yang perlu saya klarifikasi, ya?” tanyanya.

“Iya, Pak. Beberapa hari ini, gosip beredar, Pak. Kami rasanya khawatir kalau apa yang kami bicarakan tentang Bapak adalah kabar burung. Tapi, kami juga penasaran, Pak. Makanya, daripada kami mengghibah di belakang Bapak. Kami mau tabayyun saja,” ujar Dina mengajukan pertanyaan.

“Baik. Ada lagi?” tanya Aiman.

Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kelas. Wajah-wajah penuh tanya menatapnya. Beberapa juga ada yang kasak-kusuk berbicara sambil menunjuk Airin yang terus tertunduk.

“Kami hanya ingin penjelasan singkat kok, Pak. Kalau Bapak berkenan,” ujar mahasiswa yang tadi mengangkat tangannya.

“Baik. Saya minta izin dulu kepada Airin, ya?” Airin tercekat. Ia sangat terkejut.

Semua mata di kelasnya menatapnya. Beberapa menatap Airin dengan pandangan meremehkan. Seolah Airin melakukan suatu kesalahan besar karena telah menolak Aiman.

“Si-silakan, Kak. Eh, Pak,” jawab Airin sambil tertunduk.

“Baik. Kalau begitu,” Aiman menghela nafasnya berat, “saya klarifikasi saja, ya. Kalau ternyata, saya dengan Airin adalah saudara seayah. Jadi, tolong, cukupkan di kelas ini saja. Karena saya menganggap kalian sebagai teman seperjuangan Airin, maka saya berani mengatakan hal ini kepada kalian. Tolong dampingi Airin menghadapi ini. Sepertinya, berat bagi Airin menghadapi omongan sumbang di luar kelas ini. Saya titip adik saya kepada kalian, ya?” tanya Aiman sambil menatap seisi kelas dengan penuh harap.

Seisi kelas tertunduk. Kemudian Dina merangkul pundak Airin, disusul kawan di depan, belakang juga di samping Airin berdiri, lalu memeluk Airin. Airin menangis sesenggukan. Ia tidak menyangka, Aiman akan mengatakan hal yang ia pikir akan menyudutkannya.

“Terima kasih, Kak Aiman. Terima kasih, teman semuanya. Terima kasih,” ujarnya diiringi isak tangis.

Aiman mendekati Airin. Menatapnya dengan penuh perasaan, “Ai, mulai sekarang, permasalahan ini tidak akan kita hadapi berdua saja. Tapi, seisi kelas, teman seperjuangan kamu, akan mendampingi,” ujarnya.

Airin tersenyum menatap wajah Aiman. Sesaat keduanya saling bertatapan. Aiman lantas mengalihkan pandangannya ke sekeliling kelas. Berusaha menaklukkan debur di dadanya. Wajah Airin memanas. Ia tak pernah menatap Aiman sedekat ini sebelumnya. Namun, ia berusaha menetralkan gemuruh jantungnya.

“Dina, titip Airin, ya...”

Related chapters

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (1)

    "Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas. === Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal n

    Last Updated : 2022-03-25
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (2)

    “Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~  “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa

    Last Updated : 2022-03-25
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (1)

    Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus

    Last Updated : 2022-03-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (2)

    “Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke

    Last Updated : 2022-03-28
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (3)

    Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata.  “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya.  “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri.  Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~  Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.

    Last Updated : 2022-04-01
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (4)

    “Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak

    Last Updated : 2022-04-09
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Sebuah Rahasia

    “Maafkan ayah, Ai. Ayah menolak lamaran ini!” Agus Winarko, ayah Airin menggantungkan kalimatnya."Ma-maksud Ayah?” Airin menatap lelaki di hadapannya dengan gamang.Keadaan menjadi tegang, karena aura semua yang hadir mendadak berubah. Ketika, ayah dan ibu duduk berhadapan dengan Aiman dan ibunya.Bulir bening jatuh tidak tertahankan dari mata coklat milik Airin, Rasa percaya dirinya runtuh seketika, saat mendengar penolakan dari ayahnya. Airin sangat yakin dengan pilihan hatinya, karena Airin tahu siapa yang jadi lelaki idamannya. Bahkan, Airin tidak ragu memperkenalkan pada ayahnya dengan rasa bangga.***“Namanya Aiman, Ayah. Aiman Khalid. Beliau dosen statistik di kampus Ai. Beliau juga dosen pembimbing Ai. Sejak semester empat, beliau menjadi pengajar di kelas Ai. Awalnya, beliau menggantikan dosen yang sedang melahirkan. Ai suka deh, cara beliau ngajar. Asyik banget.” Airin bercerita dengan mata yang berbinar, saat i

    Last Updated : 2022-01-24
  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Kebenaran

    'Jadi, selama ini, ibu menyembunyikan diri dari keluarga bapak! Kenapa? Apakah aku bukan anak yang diinginkan?' gumam Aiman.Ia masih merenung menatap langit-langit kamar yang telah ditempatinya sepuluh tahun terakhir, saat ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Ia bergegas bangkit membukakan pintu."Masuk saja, Bu, sejak kapan pintu kamar Aiman tertutup untuk ibu," ujarnya sambil menuntun sang ibu menuju ranjang.Hera menatap putranya lekat, ketika sudah duduk di tepi ranjang. Kesedihan, penyesalan juga amarah bercampur jadi satu, terpancar dari sorot matanya yang berkaca-kaca. Aiman menciumi tangan ibunya takzim. Ia paham, perasaan bersalah dan penyesalan telah menyelimuti hati ibunya. Sesaat kemudian, ia menatap mata ibunya lembut. "Nak, Ibu minta maaf, Nak.” Hera menggenggam kedua tangan Aiman erat, "tidak seharusnya ibu menghindar. Berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain agar bapakmu kehilangan jejak kita," ujarnya sesenggukan. Tangis

    Last Updated : 2022-01-24

Latest chapter

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (4)

    “Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (3)

    Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata.  “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya.  “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri.  Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~  Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (2)

    “Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Rujuk (?) (1)

    Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (2)

    “Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~  “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Setelah Keputusan (1)

    "Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas. === Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal n

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Kedua

    "Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.***"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar."Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu."Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air."Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya."Seri

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Pertemuan Pertama

    "Iya, Pak. Aiman dosen statistik di kelas Airin,” jawab Aiman.“Ternyata, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, ya. Dulu, Ibumu juga pengajar. Meski di kampung, tapi dia sangat cerdas. Karena itulah, selain wajahnya yang membuat bapak tidak bisa berpaling, kecerdasannya benar-benar membuat bapak kagum,” tukas Agus. Agus menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Hera sambil menikmati hidangan yang baru dibawakan oleh pramusaji. Keduanya hanyut dalam perbincangan yang hangat. Aiman mulai belajar mengenal lelaki di hadapannya.***Suara ketukan dan salam terdengar di pintu depan membuat Hera menghentikan aktivitasnya. Hera pun menuju ke depan rumahnya dan membuka pintu.“Assalamu’alaikum, Hera,” salam Vina begitu Hera membuka pintunya.“Wa-wa’alaikumussalam.” Hera terkejut.Setelah memastikan Vina datang bukan untuk melabraknya lagi, ia mengizinkan istri pertama dari suaminya itu masuk.Vina memperhatikan se

  • Antara Cinta dan Pertalian Darah   Serpihan Satu

    Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya."Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu."Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu,

DMCA.com Protection Status