"Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas.
=== Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal nikah, tapi masih harus terus ketemuan.” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Suara itu berasal dari Martha, mahasiswi jurusan Pendidikan Taman Kanak-kanak, yang juga di bawah bimbingan Aiman. Ia termasuk salah satu mahasiswi yang sering mencari perhatian sang dosen. Hatinya jemawa mendengar proses ta’aruf keduanya yang tidak bisa diteruskan. Airin menunduk dalam. “Kak Aiman. Ini skripsi saya. Maaf kalau masih banyak yang salah.” Aiman yang sedang mengoreksi skripsi Airin menyambut lembaran kertas yang disodorkan Martha lalu meletakkannya di atas meja. “Duh, saya kaget lho, Kak, dengar kabar kak Aiman mau nikah, eh, ta’aruf maksudnya,” ujar Martha sambil menarik kursi, lalu duduk hampir menempel Aiman. Aiman menggeser kursinya sedikit menjauh. Martha melirik ke arah Airin yang menatapnya jengah. “Tapi, syukurlah, kalau tidak jadi. Berarti saya masih ada kesempatan kan, kak?” Martha mengedipkan matanya ke arah Aiman. Airin melengos. “Kalau kita berjodoh, ya. Tapi saya lebih memilih yang lebih baik buat calon ibu dari anak-anak saya,” ujar Aiman sambil membolak-balikkan kertas skripsi milik Martha. Beberapa mahasiswa yang mencuri dengar menahan tawanya. Martha cemberut. “Iya, tidak apa-apa, kak. Nanti saya akan belajar jadi lebih baik. Kak Aiman mau bimbing saya, kan, ya?” “Mungkin, Airin bisa bantu Martha ini buat dikenalkan dengan ustadzah Rohimah. Beliau biasa membimbing akhwat. Saya tidak punya kapasitas untuk itu. Kita bicara lain kali, ya, Ai. Kamu persiapkan saja pengajuan sidang skripsinya, ya!" Aiman melangkah sambil membawa tumpukan skripsi mereka. “Oh, iya. Martha. Next time tolong pakai baju yang lebih longgar, ya. Kamu calon guru, lho,” lanjut Aiman. Airin dan Mahasiswa di belakang mereka tertawa tertahan. Martha merengut kesal. “Eh, kenapa kamu tolak kak Aiman? Sok kecantikan banget.” Martha menegur Airin. Airin menarik nafas. Telinga di belakangnya sudah bersiap dengan klarifikasi darinya. “Begini..."“Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~ “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa
Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus
“Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke
Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata. “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya. “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri. Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~ Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.
“Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak
“Maafkan ayah, Ai. Ayah menolak lamaran ini!” Agus Winarko, ayah Airin menggantungkan kalimatnya."Ma-maksud Ayah?” Airin menatap lelaki di hadapannya dengan gamang.Keadaan menjadi tegang, karena aura semua yang hadir mendadak berubah. Ketika, ayah dan ibu duduk berhadapan dengan Aiman dan ibunya.Bulir bening jatuh tidak tertahankan dari mata coklat milik Airin, Rasa percaya dirinya runtuh seketika, saat mendengar penolakan dari ayahnya. Airin sangat yakin dengan pilihan hatinya, karena Airin tahu siapa yang jadi lelaki idamannya. Bahkan, Airin tidak ragu memperkenalkan pada ayahnya dengan rasa bangga.***“Namanya Aiman, Ayah. Aiman Khalid. Beliau dosen statistik di kampus Ai. Beliau juga dosen pembimbing Ai. Sejak semester empat, beliau menjadi pengajar di kelas Ai. Awalnya, beliau menggantikan dosen yang sedang melahirkan. Ai suka deh, cara beliau ngajar. Asyik banget.” Airin bercerita dengan mata yang berbinar, saat i
'Jadi, selama ini, ibu menyembunyikan diri dari keluarga bapak! Kenapa? Apakah aku bukan anak yang diinginkan?' gumam Aiman.Ia masih merenung menatap langit-langit kamar yang telah ditempatinya sepuluh tahun terakhir, saat ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Ia bergegas bangkit membukakan pintu."Masuk saja, Bu, sejak kapan pintu kamar Aiman tertutup untuk ibu," ujarnya sambil menuntun sang ibu menuju ranjang.Hera menatap putranya lekat, ketika sudah duduk di tepi ranjang. Kesedihan, penyesalan juga amarah bercampur jadi satu, terpancar dari sorot matanya yang berkaca-kaca. Aiman menciumi tangan ibunya takzim. Ia paham, perasaan bersalah dan penyesalan telah menyelimuti hati ibunya. Sesaat kemudian, ia menatap mata ibunya lembut. "Nak, Ibu minta maaf, Nak.” Hera menggenggam kedua tangan Aiman erat, "tidak seharusnya ibu menghindar. Berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain agar bapakmu kehilangan jejak kita," ujarnya sesenggukan. Tangis
Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya."Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu."Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu,
“Malam ini, saya harus ke rumah Hera. Tolong jaga Mama.” Agus merapikan penampilannya.“Oke,” jawab Vina singkat.“Jangan sampai Mama tahu saya pergi ke mana,” lanjut Agus.Vina menghela nafasnya berat. Bersandiwara menjadi pasangan romantis di hadapan ibu mertuanya, lalu mendapat perlakuan dingin saat hanya berdua, membuat batinnya tersiksa. Terlebih, ia masih tetap harus menyembunyikan kepergian suaminya yang akan menemui perempuan yang merusak kebahagiaannya.“Aku harus bilang apa, Mas?” Vina menatap punggung Agus yang masih menata rambutnya. “Ya, bilang meeting, kek, atau apalah, terserah kamu,” jawab Agus kesal.Vina menghela nafas. “Aku capek, Mas. Sudah sepekan sejak kepulangan Mama. Aku capek dengan sandiwara ini. Bersikap biasa saja, Mas. Seperti biasanya. Jangan tampakkan keromantisan di depan Mama. Hati aku sakit, Mas.” Vina menangis. Agus berbalik menatap Vina. Tatapannya lurus menatap Vina yang sedang menangis. Amarah masih menyelimutinya. Tak
Flashback “Ma, bantu Vina, Ma.” Vina tiba di rumah mertuanya dengan penuh air mata. “Ada apa, anak Mama yang cantik? Ada masalah apa?” Gita menyambut Vina dalam dekapannya. “Mas Agus, Ma. Mas Agus. Dia -dia,” Vina kembali sesenggukan. “dia menikah lagi dengan perempuan lain, Ma. Sekarang mereka sudah punya anak. Sedangkan, setelah menikah, Mas Agus belum pernah sekalipun menyentuh Vina,” lanjut Vina. Gita tersentak. Ia melepaskan pelukannya. “Ka-kamu- kamu serius? Jadi, selama ini, Mama...” ujar Gita menggantung, lalu terjatuh tak sadarkan diri. Vina terkejut. Ia berteriak memanggil pembantu di rumah mertuanya. Ia berniat segera menghubungi Agus namun ia urungkan. Akhirnya, ia memutuskan cukup menelefon dokter pribadi Gita saja. ~ ~ ~ Sudah semalaman Gita belum sadarkan diri. Agus yang tiba tak lama setelah pembantu di rumahnya menghubunginya, terus menggenggam tangan ibunya. Di seberangnya, Vina sesenggukan.
“Kak, kenalkan. Ini kak Arman, kakak Airin," ujar Airin. Aiman menyambut uluran tangan Arman saat keduanya tiba di sebuah foodcourt di mall dekat kampus mereka. “Jadi, kamu Aiman. Pantas adik kesayangan saya kesengsem sama kamu. Kamu bener-bener mirip...” Arman menggantung kalimatnya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul saat ia menyadari suatu hal. Lelaki di depannya begitu mirip dengan papanya. “Mirip siapa, Kak? Mirip ayah, ya?” Airin baru menyadari hal itu saat ia mendengar pernyataan kakak tirinya itu. “Eh, i-iya. Mirip banget ya, Dek, sama papa.” Arman menyapu pandangannya ke wajah hingga sikap duduk Aiman. Bagai pinang di belah dua. Ia heran, mengapa Airin tidak menyadari hal itu. “Kok Ai baru sadar, ya,” ujar Airin sambil tersenyum canggung. “pantas, sejak awal lihat kak Aiman, Ai rasanya punya koneksi kuat, gitu,” lanjut Airin. Aiman tersenyum kikuk. Aiman diberitahu Airin bahwa akan ada pertemuan pertama mereka bertiga sebagai ke
Agus berdiri mematung di depan rumah Hera. Ia memperhatikan sekeliling rumah sederhana itu. Cukup rapi dan bersih. Namun, tetap memberikan kesan tidak layak huni dibandingkan rumah yang ia berikan dulu. Hera menanti dengan perasaan tak karuan di dalam rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Agus ke rumahnya saat ia hendak berangkat ke pasar. Aiman sudah berangkat ke kampus sejak satu jam yang lalu, mengejar jadwal mengajar paginya. Agus beranjak mendekat ke arah pintu. Hera yang menunggu di dalam, masih dilema akan keputusannya. Hendak bertemu, atau bersikap seolah ia tidak di rumah. Agus mengetuk pintu setelah terdiam selama sepuluh menit. Ia lalu mengucap salam. Hera bergeming. Ia masih belum memutuskan. “Assalamualaikum,” ucap Agus sambil kembali mengetuk pintu. Hera akhirnya memutuskan untuk diam. Ia yakin, Agus akan berpikir bahwa ia tidak ada di rumah. “Waalaikumussalam, cari siapa, Pak? Aiman, ya?” Sebuah suara mengejutkan keduanya. Agus
“Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget. ~ ~ ~ “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya. “Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya. “Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat. “Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak. “Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wa
"Tolong temani dia sampai gosip mereda. Saya khawatir ini akan mengganggu konsentrasi perkuliahannya. Dan Airin. Tolong serahkan revisi skripsi kamu maksimal pekan depan ya,” ujar Aiman kemudian berlalu kembali ke depan kelas. === Airin masih tertunduk diam setelah sepuluh menit kedatangannya di kantin kampus. Aiman menatapnya dengan wajah bersalah. Beberapa mahasiswa yang sedang menikmati maka siangnya mencuri pandang ke arah keduanya. “Coba saya lihat skripsinya. Sudah di bab berapa?” tanya Aiman memecah kesunyian. “Eh, i-iya, kak. Sudah bab... em, em, berapa, ya?” Airin membongkar tote bagnya panik. Aiman melihat sekeliling. Mahasiswa yang mencuri pandang langsung berpura-pura mengerjakan kegiatan lain. “Mmm, bunda sehat?” tanyanya. “Eh, i-iya, kak. Alhamdulillah sehat. I-ini, kak, bab akhir ternyata.” Airin menyodorkan tumpukan kertas skripsinya. Aiman menyambutnya. “Aduh, kasihan, yah. Sudah gagal n
"Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.***"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar."Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu."Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air."Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya."Seri
"Iya, Pak. Aiman dosen statistik di kelas Airin,” jawab Aiman.“Ternyata, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, ya. Dulu, Ibumu juga pengajar. Meski di kampung, tapi dia sangat cerdas. Karena itulah, selain wajahnya yang membuat bapak tidak bisa berpaling, kecerdasannya benar-benar membuat bapak kagum,” tukas Agus. Agus menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Hera sambil menikmati hidangan yang baru dibawakan oleh pramusaji. Keduanya hanyut dalam perbincangan yang hangat. Aiman mulai belajar mengenal lelaki di hadapannya.***Suara ketukan dan salam terdengar di pintu depan membuat Hera menghentikan aktivitasnya. Hera pun menuju ke depan rumahnya dan membuka pintu.“Assalamu’alaikum, Hera,” salam Vina begitu Hera membuka pintunya.“Wa-wa’alaikumussalam.” Hera terkejut.Setelah memastikan Vina datang bukan untuk melabraknya lagi, ia mengizinkan istri pertama dari suaminya itu masuk.Vina memperhatikan se
Wajah Agus berubah sendu, "Dek, bersabarlah dalam sepekan ini. Kakak janji situasi akan menjadi lebih baik," pinta Agus saat Hera terus mendesak untuk diperkenalkan pada keluarga suami sirinya."Adek sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi saat kakak memperkenalkan adek sebagai istri kedua," ucap Hera, mencoba menyakinkan Agus yang terlihat ragu."Tidak semudah itu, Dek. Kondisi mama sedang kurang sehat. Kalau mama tahu hubungan kita sekarang, kakak khawatir semuanya akan kacau. Apalagi, beliau masih mengharapkan cucu dari kakak dan Vina," jelas Agus.Hera menatap Agus yang ada di depannya, pandangan dalam dan menusuk. Hatinya begitu gamang. Kesempatan untuk masuk ke dalam keluarga Agus mulai terbuka. Namun, suaminya malah membuat terjebak lebih dalam lagi, hingga sulit untuk bangkit.“Katakan saja pada mama, kalau kakak sudah punya anak dari adek. Apakah sulit?” Hera menepis tangan Agus kasar.“Dek, kakak mohon. Situasinya tidak semudah itu,